Keindahan alam dan wisata Garut anugrah atau musibah
Garut kerap dipromosikan sebagai surga wisata alam. Gunung, pantai, air panas, dan danau disusun rapi dalam brosur, spanduk, dan unggahan media sosial. Julukan “kota seribu wisata” terdengar membanggakan, seolah Garut telah menemukan jalan cepat menuju kemajuan. Namun di balik narasi itu, ada kenyataan yang jarang dibicarakan: pariwisata yang tumbuh cepat, tetapi lingkungan yang tertinggal jauh di belakang.
Banyak kawasan wisata di Garut berkembang tanpa perencanaan yang matang. Akses jalan dibuka, tiket dijual, pengunjung datang, tapi pengelolaan sampah sering kali berhenti pada niat baik. Tempat sampah ada, pengangkutan tidak rutin. Sungai dan jurang menjadi tempat pembuangan paling praktis. Alam yang dijual sebagai daya tarik justru diperlakukan sebagai tempat menampung sisa aktivitas manusia.
Pariwisata juga mendorong perubahan ruang yang tidak selalu sehat. Kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air dipadatkan dengan bangunan. Lahan hijau dikorbankan demi parkiran dan warung dadakan. Semua tampak hidup saat musim liburan, tapi menyisakan beban ekologis yang harus ditanggung sepanjang tahun oleh warga sekitar.
Masalah lain yang sering luput adalah relasi yang timpang antara wisata dan masyarakat lokal. Banyak warga hanya menjadi penonton atau pekerja kasar, sementara keuntungan utama mengalir ke segelintir pihak. Ketika terjadi kerusakan lingkungan atau konflik lahan, masyarakat lokal justru berada di garis depan dampak, bukan di meja pengambil keputusan.
Promosi wisata Garut sering menampilkan keindahan tanpa konteks. Alam dipotret seolah tak punya batas daya dukung. Semakin viral, semakin ramai, semakin dianggap sukses. Padahal alam tidak mengenal kata viral. Ia hanya mengenal ambang batas. Ketika batas itu terlewati, yang muncul adalah longsor, banjir, sampah menumpuk, dan konflik sosial.
Ironisnya, kritik terhadap pariwisata kerap dianggap anti-kemajuan. Seolah mempertanyakan dampak lingkungan berarti menolak rezeki. Padahal yang dipertanyakan bukan wisatanya, melainkan cara mengelolanya. Pariwisata yang sehat seharusnya memperpanjang umur alam, bukan mempercepat kerusakannya.
Garut sebenarnya punya modal besar untuk pariwisata berkelanjutan: alam yang masih relatif utuh, budaya lokal yang kuat, dan masyarakat yang terbiasa hidup berdampingan dengan lingkungan. Sayangnya, modal ini sering dikorbankan demi keuntungan jangka pendek. Ketika alam rusak, wisatawan akan pergi. Yang tertinggal hanyalah masalah.
Jika Garut ingin benar-benar menjadi kota wisata, maka ukuran keberhasilannya bukan jumlah pengunjung atau banyaknya destinasi baru, melainkan kemampuan menjaga lingkungan tetap layak hidup. Wisata bukan soal ramai, tapi soal berkelanjutan. Bukan soal cepat terkenal, tapi soal bertahan lama.
Tanpa perubahan cara pandang, julukan kota seribu wisata hanya akan menjadi ironi. Banyak tempat indah yang kehilangan keindahannya sendiri. Garut tidak kekurangan alam, yang kurang adalah keberanian untuk mengelola dengan bijak. Karena pariwisata yang merusak lingkungan bukan kemajuan, melainkan utang yang diwariskan ke generasi berikutnya.
