Garut yang kehilangan arah
Garut pernah dikenal sebagai wilayah yang tenang, tempat desa bukan sekadar lokasi tinggal, tetapi ruang hidup yang utuh. Sawah bukan hanya penghasil beras, sungai bukan sekadar aliran air, dan halaman rumah bukan sekadar sisa tanah. Semuanya saling terhubung dalam ritme hidup yang pelan, terukur, dan penuh makna. Namun dalam dua dekade terakhir, perubahan datang terlalu cepat, sering kali tanpa arah yang jelas. Kota membesar, desa mengecil, dan di antara keduanya lahir kekosongan identitas.
Pembangunan di Garut hari ini bergerak dengan logika yang mirip di banyak daerah lain: memperluas kawasan permukiman, membuka jalan, mendirikan ruko, dan menamai semuanya sebagai kemajuan. Masalahnya, kemajuan ini sering kali tidak bertanya pada ruang yang ia injak. Sawah produktif berubah menjadi perumahan, kebun menjadi kavling, dan lahan resapan air menghilang pelan-pelan. Desa tidak lagi menjadi desa, tapi juga tidak benar-benar menjadi kota. Ia menjadi wilayah transisi yang kehilangan ciri.
Anak-anak desa tumbuh dengan pemandangan beton, bukan lumpur sawah. Mereka akrab dengan motor, tetapi asing dengan cangkul. Mereka tahu jalan ke pusat perbelanjaan, tetapi tidak tahu lagi ke mana air hujan seharusnya mengalir. Ini bukan semata perubahan selera generasi, melainkan hasil dari keputusan pembangunan yang tidak pernah benar-benar memikirkan keberlanjutan ruang hidup.
Yang paling terasa adalah hilangnya fungsi desa sebagai penyangga kehidupan. Desa dulu menyediakan pangan, air, dan ketenangan. Kini banyak desa justru menjadi konsumen pasif: membeli beras, membeli sayur, membeli air galon, dan membeli ketenangan lewat hiburan digital. Ketika desa kehilangan fungsi dasarnya, masyarakatnya menjadi rapuh. Sedikit kenaikan harga, sedikit gangguan ekonomi, langsung terasa berat.
Ironinya, semua ini sering dibungkus dengan narasi kesejahteraan. Nilai tanah naik, kata orang. Rumah bertambah, kata data. Tapi kesejahteraan tidak selalu sejalan dengan angka. Banyak keluarga yang menjual sawah karena tergiur harga, lalu beberapa tahun kemudian hidup dari pekerjaan serabutan tanpa kepastian. Tanah habis, keterampilan bertani ditinggalkan, dan generasi berikutnya tidak punya apa-apa untuk diwarisi selain kenangan.
Garut juga menghadapi masalah klasik yang muncul akibat hilangnya ruang hidup alami: banjir, kekeringan, dan konflik tata ruang. Air yang dulu meresap kini mengalir deras ke hilir. Sungai dipaksa menampung beban yang bukan haknya. Ketika banjir datang, kita menyalahkan hujan, padahal yang berubah bukan hujannya, melainkan tanahnya.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap kita yang perlahan menganggap semua ini biasa. Banjir menjadi rutinitas, alih fungsi lahan dianggap wajar, dan desa yang kehilangan sawah dianggap bagian dari modernisasi. Padahal yang sedang terjadi bukan modernisasi, melainkan pemutusan hubungan manusia dengan ruang hidupnya sendiri.
Pembangunan seharusnya membuat manusia lebih berdaulat atas hidupnya, bukan sebaliknya. Desa tidak perlu menolak perubahan, tetapi perubahan harus menghormati desa. Kota tidak salah tumbuh, tetapi ia tidak boleh tumbuh dengan cara menelan ruang hidup orang lain. Garut membutuhkan pembangunan yang berpikir jauh ke depan, bukan sekadar cepat terlihat.
Jika hari ini kita kehilangan desa, besok kita akan kehilangan lebih banyak hal: ketahanan pangan, kearifan lokal, bahkan rasa memiliki terhadap tanah sendiri. Kota boleh datang, tapi desa jangan dipaksa pergi. Karena ketika desa benar-benar hilang, yang tersisa hanyalah bangunan—tanpa kehidupan.
