Sejarah Kabupaten Garut Dari Limbangan hingga Kota Intan

Daftar Isi


Sejarah Kabupaten Garut merupakan kisah panjang yang berakar dari perubahan politik dan administrasi pada masa kolonial Belanda, yang kemudian bertransformasi menjadi salah satu wilayah penting di Jawa Barat. Perjalanan ini dimulai dari sebuah kabupaten lama, yaitu Kabupaten Limbangan, yang pada awalnya menjadi cikal bakal terbentuknya Garut.

I. Pembubaran dan Pembentukan Kembali Kabupaten Limbangan

Awal mula sejarah Kabupaten Garut ditandai dengan pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Herman Willem Daendels. Alasan utama pembubaran ini adalah penurunan drastis produksi komoditas kopi dari wilayah Limbangan, bahkan mencapai titik nol. Selain itu, bupati Limbangan saat itu dianggap tidak kooperatif karena menolak perintah untuk menanam nila (indigo), sebuah komoditas yang sangat dibutuhkan oleh Belanda.

Namun, pembubaran ini hanya berlangsung singkat. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Februari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia, Sir Thomas Stamford Raffles, mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan. Pusat pemerintahan yang baru ditetapkan di daerah Suci.

II. Pencarian Ibu Kota Baru dan Asal Nama "Garut"

Keberadaan Suci sebagai ibu kota kabupaten dinilai tidak memenuhi persyaratan yang ideal. Kawasannya yang sempit menyulitkan pengembangan administrasi dan pembangunan kota. Bupati Limbangan saat itu, Adipati Adiwijaya (1813-1831), kemudian membentuk sebuah panitia khusus dengan tugas mencari lokasi baru yang lebih strategis dan representatif sebagai ibu kota kabupaten.

Pencarian lokasi ini awalnya mengarah ke timur Suci, dan panitia menemukan sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Cimurah (sekitar 3 Km sebelah Timur Suci, atau kini dikenal sebagai Kampung Pidayeuheun). Sayangnya, lokasi ini dibatalkan karena kesulitan memperoleh sumber air bersih yang memadai.

Panitia kemudian melanjutkan pencarian ke arah barat Suci, sekitar 5 Km, hingga menemukan dataran yang dianggap sangat ideal. Lokasi ini menawarkan banyak keunggulan: tanah yang subur, memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk, dan dikelilingi oleh pemandangan indah gugusan gunung-gunung besar, di antaranya Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas, dan Gunung Karacak.

Saat menjelajahi lokasi baru tersebut, salah satu anggota panitia menemukan sebuah mata air berupa telaga kecil yang tertutup oleh semak belukar berduri yang dikenal dengan nama lokal Marantha. Ketika mencoba membersihkan semak belukar tersebut, tangan salah seorang panitia "kakarut" atau tergores hingga mengeluarkan darah.

Dalam rombongan panitia tersebut, terdapat seorang Eropa (Belanda) yang ikut serta dalam proses "ngabaladah" (membersihkan atau membuka lahan) tempat itu. Ketika melihat tangan panitia berdarah, ia bertanya: "Mengapa berdarah?" Orang yang terluka menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa/Belanda tersebut, dengan kesulitan melafalkan kata Sunda, menirukan kata kakarut menjadi "gagarut".

Sejak kejadian tersebut, para pekerja dan panitia mulai menamai tanaman berduri itu dengan sebutan "Ki Garut" dan telaganya dinamai "Ci Garut" (Telaga Garut). Lokasi telaga ini kemudian menjadi pusat kota, yang saat ini ditempati oleh kompleks bangunan sekolah (seperti SLTP I, SLTP II, dan SLTP IV Garut). Kata "Garut" yang tercipta secara spontan ini pun direstui oleh Bupati Adipati Adiwijaya untuk dijadikan nama bagi Ibu Kota Kabupaten Limbangan yang baru.

III. Pembangunan Ibu Kota dan Penggantian Nama

Setelah lokasi ditetapkan, pada tanggal bersejarah 15 September 1813, dilakukan peletakan batu pertama pembangunan berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan untuk sebuah ibu kota kabupaten. Pembangunan meliputi tempat tinggal bupati (pendopo), kantor asisten residen, masjid agung, dan alun-alun. Di depan pendopo, didirikan pula sebuah Babancong, yaitu panggung kecil tempat bupati dan pejabat menyampaikan pidato atau pengumuman kepada publik.

Pembangunan ini memakan waktu yang cukup lama. Ibu Kota Kabupaten Limbangan secara resmi dipindahkan dari Suci ke Garut sekitar Tahun 1821.

Perubahan penting berikutnya terjadi beberapa dekade kemudian. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan secara resmi diganti menjadi Kabupaten Garut, dan secara administratif beribu kota di Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada masa penting ini, bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915), yang merupakan bupati dengan masa jabatan terlama dalam sejarah Garut. Saat itu, Kota Garut meliputi tiga desa: Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut sendiri membawahi distrik-distrik besar, antara lain Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang, dan Pameungpeuk.

IV. Garut Masa Kolonial: Swiss van Java

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Garut mengalami masa keemasan, terutama sebagai pusat perkebunan dan pariwisata. Lokasi Garut yang dikelilingi pegunungan berhawa sejuk dan pemandangan yang menawan menarik perhatian banyak orang Eropa. Garut pun mendapat julukan bergengsi: "Swiss van Java" atau "Mooi Garut" (Garut yang permai), karena keindahan alamnya yang menyerupai pegunungan di Swiss.

Perekonomian Garut berkembang pesat dengan dibukanya banyak lahan perkebunan (teh, kina, karet) oleh pengusaha swasta dari Belanda, Inggris, Italia, Jerman, dan Cina. Perkembangan ini diikuti dengan pembangunan infrastruktur pendukung, seperti jalan, jalur kereta api, dan hotel-hotel mewah. Hotel-hotel seperti Hotel Van Hengel dan Hotel Papandayan dibangun untuk menampung para pengusaha perkebunan dan wisatawan mancanegara.

Pada masa kepemimpinan Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929), yang menggantikan pamannya RAA Wiratanudatar, Garut semakin maju. Puncak perkembangan administrasi terjadi pada tanggal 14 Agustus 1925. Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang otonom ini mencakup berbagai urusan penting, seperti pemeliharaan jalan, jembatan, kebersihan kota, dan poliklinik, menunjukkan status penting Garut dalam administrasi kolonial.

Periode berikutnya, di bawah kepemimpinan Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa (1929-1944), pembangunan fisik kota terus berlanjut. Fasilitas kota seperti stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, dan pertokoan kian melengkapi wajah tata kota Garut, yang berkembang secara konsentris.

V. Masa Pendudukan Jepang dan Perjuangan Kemerdekaan

Masa keemasan Garut mulai meredup seiring dengan masuknya Tentara Jepang pada tahun 1942. Pendudukan Jepang membawa perubahan drastis dalam segala aspek kehidupan, termasuk pemerintahan. Bupati Moh. Musa Suria Kartalegawa yang dianggap "menentang" beberapa kebijakan Pemerintah Tentara Jepang, akhirnya dicopot dari jabatan Kenco (Bupati) pada tahun 1944 dan menjadi tahanan rumah. Posisinya digantikan oleh patihnya, R.T. Endung Suriaputra (1944-1945).

Meskipun singkat, masa ini adalah periode perjuangan dan penderitaan bagi rakyat Garut. Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada Agustus 1945, semangat perjuangan di Garut berkobar untuk melepaskan diri dari cengkeraman Jepang dan Belanda yang mencoba kembali.

Pada masa Revolusi Fisik (1945-1949), Garut menjadi medan pertempuran penting. Wilayah ini menjadi basis pertahanan para pejuang dan ulama. Nama-nama seperti KH Mustofa Kamil, seorang ulama pejuang dari Garut, memainkan peran besar dalam membangkitkan semangat jihad melawan penjajah. Garut juga menjadi saksi bisu Agresi Militer Belanda II (1948), di mana banyak pejuang gugur mempertahankan kedaulatan, termasuk tiga tentara Jepang yang membelot dan bergabung dengan pejuang Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Umar, Usman, dan Ali.

VI. Perkembangan Garut Setelah Kemerdekaan

Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia, Garut memulai babak baru sebagai bagian integral dari Provinsi Jawa Barat. Struktur pemerintahan daerah mulai beradaptasi dengan sistem Republik.

Rentang waktu setelah 1945 hingga 1965 merupakan masa transisi yang penuh gejolak politik, di mana bupati-bupati silih berganti dalam periode singkat, seperti:

  • R. Kalih Wiraatmadja (1945-1948)
  • R. Tumenggung Agus Padmanagara (1948-1949)
  • R. Tumenggung Kartahudaya (1949-1950)

Selanjutnya, Garut dipimpin oleh R. Moh. Sabri Kartasomantri (1950-1956), R. Moh. Noh Kartanegara (1956-1960), dan R. Gahara Widjaja Suria (1960-1966). Masa ini adalah periode konsolidasi daerah dan pembangunan kembali pasca-revolusi.

Pada era Orde Baru hingga Reformasi, Garut terus berkembang dalam berbagai sektor. Di bidang politik, kepemimpinan bupati mulai stabil dalam periode lima tahunan. Garut dipimpin oleh tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang, termasuk militer dan sipil, seperti:

  1. Letkol Akil Ahyar Mansyur (1966-1967)
  2. R.M. Bob Yacob Ishak (1967-1972)
  3. Ir. Hasan Wirahadikusumah (1973-1978)
  4. Letkol Iman Sulaeman (1978-1983)
  5. Momon Gandasasmita (1988-1993)
  6. Drs. H. Toharudin Gani (1993-1998)
  7. Drs. H. Dede Satibi (1999-2004)

Di bidang ekonomi, Garut kini dikenal sebagai daerah penghasil pertanian, perkebunan (terutama dodol Garut dan komoditas pertanian lainnya), dan pariwisata. Julukan "Kota Intan" disematkan pada Garut untuk menggambarkan keindahan dan potensi sumber daya alamnya.

Pada abad ke-21, Garut menghadapi tantangan dan dinamika politik modern, termasuk pemilihan kepala daerah secara langsung. Periode ini diwarnai oleh beberapa kasus politik kontroversial yang menarik perhatian publik nasional, seperti kasus yang menimpa Bupati Agus Supriadi (2004-2009) yang terjerat kasus korupsi, hingga bupati H. Aceng HM Fikri (2009-2013) yang dimakzulkan.

Terlepas dari dinamika tersebut, Kabupaten Garut terus berupaya memajukan diri di bawah kepemimpinan berikutnya, seperti Rudy Gunawan (2014-2024). Sektor pariwisata kembali menjadi trade mark Garut, dengan fokus pada pengembangan potensi lokal dan pelestarian seni budaya daerah.

VII. Warisan Budaya dan Tokoh Lokal

Sejarah Garut tidak lepas dari warisan budaya dan peran tokoh-tokoh penting:

R.H. Moehamad Moesa (1822-1896): Seorang Hoofdpanghulu (Penghulu Kepala) Garut dan pelopor sastra Sunda. Karya-karyanya, termasuk Wawacan Panji Wulung, banyak dicetak dan menjadi referensi pendidikan.

Raden Ayu Lasminingrat (1843-1886): Putri dari R.H. Moehamad Moesa, seorang tokoh pendidikan yang mendirikan "Sakola Istri" pada tahun 1912, yang berperan penting dalam memajukan pendidikan bagi kaum perempuan Sunda.

Candi Cangkuang: Sebagai situs peninggalan Hindu-Budha yang terletak di Kampung Pulo, yang menunjukkan harmoni sejarah dan budaya Garut sejak masa pra-Islam.

Penutup

Dari pembubaran yang didorong oleh komoditas kopi dan penolakan menanam nila, hingga penemuan nama yang unik dari sebuah goresan berduri, sejarah Kabupaten Garut adalah mozaik kompleks antara geografi, politik kolonial, semangat lokal, dan perjuangan bangsa. Sebagai Swiss van Java di masa lalu dan Kota Intan di masa kini, Garut terus mempertahankan pesona alamnya sambil beradaptasi dengan tantangan zaman modern, menjadikannya salah satu daerah dengan sejarah yang kaya dan dinamis di Jawa Barat.


Perkembangan Fisik Kota Garut: Transformasi dari Pusat Pemerintahan Kolonial Menuju Kota Intan

Perkembangan fisik Kota Garut adalah sebuah narasi tentang bagaimana sebuah ibu kota kabupaten yang baru lahir bertransformasi menjadi salah satu permata pariwisata di Hindia Belanda, dan kemudian berlanjut menjadi kota otonom di masa kemerdekaan. Evolusi tata ruang ini tidak terlepas dari kepentingan politik, ekonomi kolonial (terutama perkebunan), dan potensi alamnya yang luar biasa. Secara umum, perkembangan fisik Kota Garut hingga tahun 1960-an dapat dibagi menjadi tiga periode utama yang mencerminkan perubahan pola pertumbuhan kota.

I. Periode Pertama (1813–1920): Perkembangan Linear dan Fondasi Kolonial

Periode awal pembangunan Kota Garut, yang dimulai sejak peletakan batu pertama pada 15 September 1813 dan pindahnya ibu kota dari Suci sekitar tahun 1821, ditandai dengan pola pertumbuhan yang linear atau memanjang.

A. Pola Tata Ruang Tradisional-Kolonial

Inti dari pembangunan kota pada periode ini adalah konsep pusat pemerintahan yang mengadopsi pola tradisional-kolonial. Pusat ini dibentuk berdasarkan sumbu utama yang menghubungkan elemen-elemen penting:
Alun-alun: Sebagai ruang publik utama.
Pendopo (Kantor Bupati) dan Babancong: Simbol kekuasaan administratif.
Masjid Agung: Simbol kekuasaan spiritual (Islam).
Pembangunan awal ini sepenuhnya didukung oleh Pemerintah Kolonial Belanda, bukan hanya untuk kepentingan administrasi lokal, tetapi juga sebagai upaya meletakkan dasar bagi investasi ekonomi. Area permukiman penduduk pribumi dan Eropa mulai terbentuk di sekitar alun-alun dan meluas ke arah Timur, mengikuti jalur yang kemudian dikenal sebagai Jalan Societeit Straat. Jalur ini merupakan cikal bakal arteri utama kota yang menghubungkan pusat kota dengan kawasan strategis lainnya.

B. Infrastruktur Awal dan Perkebunan

Fokus utama pembangunan fisik pada masa ini adalah memfasilitasi eksploitasi kekayaan alam, yaitu usaha perkebunan (kopi, teh, kina) dan penggalian sumber mineral. Jalan-jalan baru mulai dibuka, menghubungkan pusat kota dengan sentra-sentra produksi di kaki gunung. Meskipun pembangunan kota masih sederhana, fondasi tata ruang yang kokoh telah diletakkan, yang kelak menjadi basis pengembangan kota di periode berikutnya.

II. Periode Kedua (1920–1940): Perkembangan Konsentris dan "Swiss van Java"

Periode kedua adalah masa keemasan Garut, di mana kota ini bertransformasi menjadi pusat pariwisata internasional dan perkebunan. Pola pertumbuhan kota berubah menjadi konsentris atau melingkar, menyebar dari pusat kota ke segala arah. Perubahan pola ini didorong oleh dua faktor utama: meningkatnya proyek pelayanan publik dan arus investasi asing yang masif.

A. Transformasi Wajah Kota dan Infrastruktur Modern

Wajah tata kota Garut mengalami perubahan signifikan dengan munculnya fasilitas modern yang merupakan dampak dari investasi pada periode sebelumnya:
Stasiun Kereta Api: Pembangunan jalur kereta api menghubungkan Garut dengan Bandung dan Batavia (Jakarta), membuka akses bagi komoditas ekspor dan wisatawan. Kehadiran stasiun menjadi node pertumbuhan baru.
Fasilitas Publik: Didirikan kantor pos, apotek, bank, dan sekolah-sekolah yang didirikan Belanda (seperti HIS dan ELS), meningkatkan kualitas pelayanan dan pendidikan.
Pusat Perdagangan: Kawasan pertokoan, yang banyak dimiliki oleh komunitas pendatang (Cina, Jepang, India, dan Eropa), serta pasar tradisional, mulai memenuhi kebutuhan masyarakat yang heterogen.

B. Puncak Pariwisata: Hotel-hotel Legendaris

Arus urbanisasi dan keanekaragaman masyarakat yang terjadi pada awal abad ke-20 sangat erat kaitannya dengan usaha perkebunan dan objek wisata. Berita tentang keindahan Garut menyebar ke seluruh dunia, menjuluki Garut sebagai "Swiss van Java" atau Mooi Garut (Garut yang permai). Untuk melayani para wisatawan dan pengusaha perkebunan, banyak hotel mewah didirikan mulai sekitar tahun 1917, menandai Garut sebagai destinasi utama pariwisata di Hindia Belanda:
Di Kota Garut: Hotel Papandayan, Hotel Villa Dolce, Hotel Belvedere, dan Hotel Van Hengel. Hotel-hotel ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat menginap, tetapi juga sebagai pusat hiburan sosial bagi kalangan elit Eropa.
Di Luar Kota: Pembangunan hotel juga merambah ke kawasan wisata alam, seperti Hotel Ngamplang (Cilawu), Hotel Cisurupan (Cisurupan, dekat Papandayan), Hotel Bagendit (Banyuresmi), Hotel Kamojang (Samarang), dan Hotel Cilauteureun (Pameungpeuk, di pantai selatan).

C. Peran K.F. Holle

Tokoh penting dalam perkembangan Garut, khususnya dalam sektor perkebunan dan pertanian, adalah Karel Frederik Holle (1829–1896), seorang Belanda pemilik perkebunan yang juga diangkat sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda. Holle berjasa besar dalam mengembangkan kualitas komoditas, pertanian, dan bahkan pariwisata Garut. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya, Pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan namanya menjadi nama jalan di Kota Garut, yaitu Jalan Holle (kini Jl. Mandalagiri), dan mendirikan patung setengah dada Holle di Alun-alun Garut. Peran tokoh seperti Holle menunjukkan sinergi antara administrasi, investasi swasta, dan tokoh kolonial dalam membentuk wajah fisik dan ekonomi Garut.

III. Periode Ketiga (1940–1960-an): Perubahan Pola dan Konsolidasi Pasca-Kolonial

Periode ketiga mencakup masa-masa sulit pendudukan Jepang (1942–1945), Revolusi Fisik (1945–1949), dan awal masa kemerdekaan. Perkembangan fisik Kota Garut pada masa ini cenderung melambat dan mengalami pergeseran fungsi, mengikuti teori inti berganda (multiple nuclei theory).

A. Inti Berganda dan Pergeseran Fungsi

Perkembangan kota tidak lagi hanya terpusat pada alun-alun (inti tunggal) tetapi mulai muncul zona-zona perkembangan baru:
Zona Perdagangan: Kawasan pertokoan lama (di sekitar stasiun dan alun-alun) masih berfungsi, namun muncul pusat-pusat perbelanjaan baru di sepanjang jalan utama, terutama pasca-kemerdekaan.
Zona Pendidikan: Sekolah-sekolah yang didirikan kolonial mulai diambil alih dan dikembangkan oleh pemerintah Republik, menjadi pusat-pusat pendidikan yang menarik arus penduduk dari daerah pedalaman.
Zona Pemukiman: Area permukiman berkembang lebih luas, tidak hanya memanjang ke timur, tetapi juga mengisi ruang kosong di antara inti-inti pertumbuhan yang ada.

B. Dampak Politik terhadap Fisik Kota

Meskipun laju pembangunan fisik sempat terhenti dan beberapa infrastruktur mengalami kerusakan akibat pertempuran dan kebijakan Jepang, fondasi yang sudah diletakkan pada masa kolonial memungkinkan Garut untuk bangkit relatif cepat pasca-kemerdekaan. Hotel-hotel mewah peninggalan Belanda banyak yang beralih fungsi atau direvitalisasi. Keanekaragaman masyarakat yang telah terbentuk (pribumi, Tionghoa, Arab, dan lain-lain) menjadi modal sosial dalam memulihkan dan melanjutkan pertumbuhan kota.
Secara keseluruhan, perkembangan fisik Kota Garut dari tahun 1813 hingga 1960-an adalah studi kasus yang menarik tentang adaptasi dan evolusi tata ruang. Dimulai dari pola linear yang kaku mengikuti hierarki kolonial, bertransformasi menjadi pola konsentris yang dinamis dan pariwisata, hingga akhirnya mengadopsi pola inti berganda yang lebih kompleks sebagai kota yang matang di era kemerdekaan. Transformasi ini menjadikan Garut bukan hanya pusat administrasi, tetapi juga pusat perdagangan, pendidikan, dan pariwisata regional yang terus diwariskan hingga kini.