Sungai Cimanuk nasibmu kini
Sungai Cimanuk pernah menjadi nadi kehidupan Garut. Ia mengairi sawah, menjadi tempat anak-anak belajar berenang, dan menjadi batas alami yang dihormati, bukan dilanggar. Sungai bukan sekadar bentang alam, melainkan bagian dari keseharian, dari ingatan kolektif, dan dari cara hidup masyarakatnya. Namun hari ini, Cimanuk lebih sering dibicarakan sebagai sumber bencana daripada sumber kehidupan.
Perubahan itu tidak terjadi dalam semalam. Ia berlangsung perlahan, hampir tak terasa. Sampah rumah tangga yang dibuang sedikit demi sedikit, limbah industri rumahan yang dianggap sepele, bangunan yang semakin mendekat ke bantaran sungai, dan hutan di hulu yang ditebang tanpa perhitungan. Semua berjalan sendiri-sendiri, tapi dampaknya saling menguatkan. Sungai menanggung beban dari hulu hingga hilir, sementara manusia terus mengambil tanpa memberi ruang untuk bernapas.
Cimanuk kini lebih sering dilihat dari kejauhan, bukan didekati. Airnya keruh, baunya asing, dan bantaran sungainya dipenuhi bangunan yang seolah lupa bahwa air bisa naik kapan saja. Anak-anak tidak lagi bermain di tepinya. Orang tua tidak lagi menaruh harapan pada sungai. Hubungan emosional antara manusia dan air perlahan putus.
Ironinya, kerusakan sungai sering kali disederhanakan sebagai masalah kebiasaan masyarakat kecil. Seolah-olah akar persoalan hanya soal warga membuang sampah sembarangan. Padahal masalahnya jauh lebih besar. Ada pembiaran tata ruang, lemahnya pengawasan, dan ketidakseriusan dalam menjaga kawasan hulu. Sungai rusak bukan karena satu tangan, tetapi karena banyak tangan yang saling melepas tanggung jawab.
Ketika hujan deras turun dan air meluap, kita kembali terkejut, kembali panik, lalu kembali lupa. Banjir menjadi rutinitas musiman, bukan peringatan struktural. Bantuan datang, berita ramai sesaat, lalu sungai kembali ditinggalkan dalam kondisi yang sama. Tidak ada refleksi kolektif tentang mengapa bencana terus berulang di tempat yang sama.
Padahal sungai yang sehat bukan hanya soal air yang mengalir, tetapi soal sistem kehidupan yang berjalan seimbang. Sungai membutuhkan hutan di hulunya, ruang terbuka di bantaran, dan masyarakat yang sadar bahwa air bukan tempat sampah terakhir. Tanpa itu, sungai hanya menjadi saluran air darurat, bukan ekosistem.
Cimanuk hari ini mencerminkan cara kita memperlakukan alam: dekat tapi tak peduli, bergantung tapi abai. Kita masih menyebutnya sungai, tapi tidak lagi memperlakukannya sebagai sumber hidup. Ia dipaksa bekerja keras menampung semua sisa aktivitas manusia, tanpa pernah diberi kesempatan pulih.
Jika sungai terus kita perlakukan seperti ini, maka yang rusak bukan hanya airnya, tetapi juga cara kita hidup. Kehilangan sungai berarti kehilangan kemampuan untuk hidup selaras dengan alam. Garut bukan hanya terancam banjir dan kekeringan, tetapi juga kehilangan satu elemen penting dari jati dirinya.
Cimanuk tidak pernah meminta banyak. Ia hanya butuh ruang untuk mengalir, hutan untuk menyaring airnya, dan manusia yang mau kembali menghormatinya. Jika sungai ini mati secara perlahan, itu bukan karena alam gagal menjaga dirinya, melainkan karena manusia berhenti menjaganya
