Serba serbi harga cabai di kabupaten Garut

Daftar Isi

 


Di banyak rumah di Garut, harga cabai bukan sekadar angka di pasar. Ia bisa menentukan suasana dapur, nada bicara, bahkan emosi satu keluarga. Cabai naik, belanja terasa berat. Cabai turun, petani mengeluh. Di antara dua keadaan itu, masyarakat kecil selalu berada di posisi yang serba salah.

Garut adalah daerah agraris. Ladang ada, petani banyak, hasil bumi melimpah. Tapi anehnya, urusan makan sehari-hari justru terasa makin rapuh. Sedikit saja harga cabai, bawang, atau minyak goreng bergerak, seluruh perhitungan rumah tangga ikut goyah. Bukan karena masyarakat boros, tapi karena penghasilan memang pas-pasan dan tidak punya bantalan.

Banyak keluarga hidup dari satu atau dua sumber penghasilan yang sangat bergantung pada musim. Saat panen bagus, ada napas. Saat gagal panen atau harga jatuh, hidup langsung terasa sempit. Tidak ada tabungan yang cukup, tidak ada jaminan. Yang ada hanya harapan agar besok harga membaik.

Ironinya, ketergantungan ini dibiarkan berlangsung lama. Seolah wajar jika ekonomi rumah tangga rakyat kecil bergantung pada fluktuasi komoditas. Tidak ada upaya serius untuk memperkuat pengolahan hasil, memperluas jenis usaha, atau menciptakan sumber pendapatan yang lebih stabil. Petani terus disuruh sabar, konsumen disuruh maklum.

Di pasar, cabai bisa melonjak tanpa peringatan. Di dapur, ibu rumah tangga harus memutar otak. Porsi dikurangi, menu disederhanakan, keinginan ditunda. Hal-hal kecil, tapi jika terjadi terus-menerus, ia menggerogoti rasa aman. Hidup menjadi soal bertahan, bukan berkembang.

Yang lebih menyedihkan, saat harga cabai mahal, petani tidak selalu menikmati keuntungan. Rantai distribusi terlalu panjang. Tengkulak lebih cepat menyesuaikan harga daripada petani. Ketika harga anjlok, petani paling dulu terpukul. Ketika harga naik, konsumen yang disalahkan. Sistemnya sendiri jarang disentuh.

Masalah ini bukan soal cabai semata. Cabai hanya simbol dari ekonomi rumah tangga Garut yang rapuh. Ketika satu komoditas bisa mengacaukan banyak hal, itu tanda bahwa fondasi ekonominya lemah. Terlalu bergantung, terlalu sempit, dan minim perlindungan.

Garut sebenarnya punya banyak potensi. Bukan hanya menjual hasil mentah, tapi mengolah, menyimpan, dan mengatur ritme ekonomi sendiri. Tapi selama kebijakan lebih sibuk meredam gejolak sesaat daripada membangun kekuatan jangka panjang, cerita ini akan terus berulang.

Selama harga cabai masih bisa mengatur emosi satu keluarga, berarti kita belum benar-benar membangun ekonomi yang manusiawi. Ekonomi yang sehat seharusnya memberi rasa tenang, bukan cemas setiap kali masuk pasar. Dan rasa tenang itu, sampai hari ini, masih menjadi barang mahal bagi banyak rumah tangga di Garut.