Potret Buram Pendidikan Nasional kita
Lampu merah besar baru saja menyala di wajah pendidikan Indonesia. Data rekapitulasi Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 yang dirilis Kemendikdasmen bukan sekadar angka statistik; itu adalah "sertifikat kegagalan" kolektif yang sangat memprihatinkan.
Bayangkan, dari skor maksimal 100,00, rata-rata nasional siswa SMA/sederajat untuk mata pelajaran Matematika hanya menyentuh angka 36,10. Dengan melibatkan hampir 3,5 juta siswa, angka ini bukan lagi sekadar sampling error, melainkan cermin retak dari sistem drainase intelektual kita yang tersumbat.
Menormalisasi Kebodohan Berkedok Kurikulum
Angka 36 dari 100 adalah nilai yang, dalam standar perusahaan mana pun, akan dianggap sebagai rapor merah yang tidak bisa ditoleransi. Namun, di negeri ini, kita sering terjebak dalam retorika "proses" dan "karakter", sembari menutup mata pada kenyataan bahwa anak didik kita kehilangan kemampuan logika dasar.
- Matematika bukan sekadar angka: Rendahnya nilai matematika mencerminkan rendahnya kemampuan bernalar kritis (logical reasoning) dan penyelesaian masalah (problem solving).
- Kesenjangan yang Menganga: Jika rata-rata nasional saja 36, bisa kita bayangkan betapa tragisnya nilai di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) yang mungkin jauh di bawah angka tersebut.
Apa yang Salah?
Mengapa dengan anggaran pendidikan 20% dari APBN, kita masih memanen hasil yang semenjana?
- Kurikulum yang Terlalu Luas tapi Dangkal: Kita memaksa siswa menghafal rumus tanpa mengerti esensi, sehingga saat dihadapkan pada soal standar TKA yang menuntut analisis, mereka lumpuh.
- Kualitas Pengajaran: Kita harus jujur mempertanyakan kompetensi pedagogik guru di kelas. Apakah mereka mengajar agar siswa paham, atau sekadar menyelesaikan administrasi kurikulum?
- Krisis Literasi Numerasi: Tanpa kemampuan membaca yang kuat, siswa tidak akan bisa memahami soal cerita matematika yang kompleks.
Langkah Darurat: Apa yang Harus Dilakukan?
Kita tidak butuh lagi seminar atau jargon baru. Kita butuh langkah radikal:
- Audit Total Kompetensi Guru: Kemendikdasmen harus melakukan pemetaan ulang kemampuan guru matematika secara nasional. Jika guru tidak mampu mencapai nilai standar, bagaimana mereka bisa mengajar siswa?
- Reformasi Pengajaran Matematika: Ubah pendekatan dari hafalan rumus menjadi pendekatan kontekstual. Matematika harus diajarkan sebagai alat berpikir, bukan sebagai momok yang harus dihindari.
- Intervensi Wilayah Tertinggal: Distribusikan talenta pengajar terbaik dan fasilitas teknologi ke daerah dengan nilai di bawah rata-rata nasional secara agresif.
- Evaluasi Standar Kelulusan: Kembalikan standar akademik yang ketat. Menghilangkan standar hanya akan menciptakan generasi yang merasa "pintar" padahal tidak kompeten di skala global.
Angka 36,10 adalah tamparan keras bagi Kemendikdasmen dan seluruh pemangku kepentingan. Jika kita terus membiarkan rata-rata kemampuan akademik anak bangsa berada di bawah standar kelayakan, maka visi "Indonesia Emas 2045" hanyalah pepesan kosong. Kita tidak sedang mencetak pemimpin masa depan; kita sedang membiarkan generasi mendatang kalah sebelum bertanding di kancah global.
