Nyaring di Dunia Maya, Mandek di Dunia Nyata
Anak muda Garut hari ini tidak kekurangan kreativitas. Media sosial menjadi panggung tempat ide, humor, musik, dan visual diproduksi tanpa henti. Banyak yang piawai mengedit video, merangkai kata, dan membangun persona digital. Dalam hitungan jam, sebuah konten bisa menjangkau ribuan orang. Namun di luar layar, realitas sering kali tidak sejalan dengan gemerlap dunia maya itu sendiri.
Kreativitas yang subur di ruang digital belum sepenuhnya menjelma menjadi kekuatan nyata di lingkungan sekitar. Desa tetap ditinggalkan, sawah tetap berkurang, dan persoalan sosial berjalan seperti biasa. Anak muda hadir sebagai penonton, bukan penggerak. Mereka tahu isu global, tapi asing dengan masalah kampungnya sendiri. Bukan karena tidak peduli, melainkan karena tidak melihat ruang untuk terlibat secara bermakna.
Ada jurang antara ekspresi dan kontribusi. Banyak yang berani bersuara di media sosial, tetapi ragu terlibat langsung dalam kerja komunitas, pertanian, pendidikan lokal, atau pelestarian budaya. Kritik mengalir deras di kolom komentar, tetapi berhenti ketika harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang menuntut waktu dan konsistensi.
Fenomena ini bukan sepenuhnya kesalahan generasi muda. Lingkungan sosial dan kebijakan sering kali tidak menyediakan ekosistem yang ramah bagi inisiatif anak muda. Ide dianggap angin lalu, ruang berkarya terbatas, dan kegagalan cepat diberi stigma. Akibatnya, dunia digital menjadi pelarian paling aman: bebas berekspresi, minim risiko, dan cepat mendapat pengakuan.
Identitas Sunda pun kerap hadir dalam bentuk yang dangkal. Bahasa, simbol, dan budaya dijadikan ornamen konten, bukan nilai yang dihidupi. Sunda menjadi gaya, bukan tanggung jawab. Padahal nilai-nilai seperti silih asih, silih asah, dan silih asuh seharusnya relevan untuk menjawab persoalan hari ini, bukan sekadar hiasan nostalgia.
Di sisi lain, banyak potensi besar yang sebenarnya bisa tumbuh jika dunia maya dan dunia nyata bertemu. Kreativitas digital bisa mendorong ekonomi lokal, mengangkat isu lingkungan, memperkuat literasi, dan membangun jejaring komunitas. Namun ini membutuhkan arah, pendampingan, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman.
Garut tidak kekurangan anak muda cerdas dan kreatif. Yang kurang adalah jembatan antara ide dan aksi. Tanpa jembatan itu, kreativitas hanya akan berputar di ruang maya, sementara dunia nyata berjalan tanpa perubahan berarti.
Jika generasi Sunda baru ingin benar-benar menjadi agen perubahan, maka kreativitas harus turun ke tanah, menyentuh masalah konkret, dan bersedia berproses panjang. Dunia maya bisa menjadi alat, tetapi bukan tujuan. Karena perubahan sosial tidak lahir dari viralitas, melainkan dari kerja nyata yang sering kali sunyi dan tidak terlihat kamera.
