Nasib peternak kecil domba garut yang terpingirkan

Daftar Isi


 Garut sering dibanggakan sebagai daerah penghasil domba. Nama domba Garut dikenal luas, bahkan sampai ke luar daerah. Kontes ada, citra ada, ceritanya pun sering diulang. Tapi di balik kebanggaan itu, ada kenyataan yang jarang disorot: banyak peternaknya hidup biasa saja, bahkan cenderung pas-pasan.

Bagi sebagian peternak, memelihara domba bukan soal bisnis besar. Ini soal bertahan hidup. Pagi mencari rumput, siang memberi pakan, sore membersihkan kandang. Semua dikerjakan sendiri, dengan peralatan seadanya. Harga pakan naik, obat mahal, sementara harga jual domba tidak selalu sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan.

Domba Garut sering tampil gagah di arena kontes, tapi di kandang peternak kecil, ceritanya berbeda. Banyak yang memelihara hanya beberapa ekor. Kalau ada yang sakit, bisa langsung mengacaukan keuangan rumah tangga. Tidak ada asuransi, tidak ada jaminan. Risiko ditanggung sendiri.

Masalah lain adalah akses. Akses ke modal, ke pakan berkualitas, ke pengetahuan beternak yang lebih baik. Banyak peternak belajar dari pengalaman turun-temurun. Tidak salah, tapi sering kali kalah cepat dengan perubahan zaman. Penyakit baru, cuaca berubah, harga tidak stabil. Peternak dituntut bertahan, tapi jarang dibekali.

Rantai jual beli juga panjang. Peternak jarang berhadapan langsung dengan pasar besar. Mereka bergantung pada pengepul. Saat butuh uang cepat, posisi tawar lemah. Harga ditentukan sepihak. Peternak menerima, karena tidak punya pilihan lain. Domba dijual, uang habis untuk kebutuhan, lalu kembali ke kandang dengan kondisi yang sama.

Ironinya, domba Garut sering dijadikan simbol, tapi peternaknya jarang dijadikan pusat perhatian. Yang sering dipamerkan adalah produknya, bukan manusianya. Padahal tanpa peternak kecil, tidak akan ada domba unggulan, tidak akan ada cerita kebanggaan itu.

Garut seharusnya tidak berhenti pada label “pusat domba”. Yang lebih penting adalah memastikan orang-orang yang merawat domba itu hidup layak. Bukan kaya raya, tapi cukup, tenang, dan punya masa depan. Punya tabungan, punya akses kesehatan, dan tidak selalu khawatir jika satu ekor domba mati.

Selama peternak masih hidup dari hari ke hari, selama itu pula kebanggaan kita kosong makna. Domba boleh jadi ikon, tapi manusianya jangan dilupakan. Karena daerah yang besar bukan diukur dari citranya, melainkan dari seberapa manusiawi ia memperlakukan orang-orang yang menopangnya.