Mengurai Carut-Marut Pengelolaan Wisata di Kabupaten Garut yang berantakan
Garut secara alamiah adalah permata. Dikelilingi pegunungan yang megah, sumber air panas alami, hingga bentang pantai selatan yang eksotis, kabupaten ini menyandang predikat bergengsi sebagai Swiss van Java. Namun, bagi siapa pun yang baru-baru ini berkunjung, julukan itu terasa kian pudar, berganti dengan rasa frustrasi akibat tata kelola yang terkesan "jalan di tempat" atau bahkan mundur.
Potensi besar Garut kini tersandera oleh masalah klasik yang tak kunjung usai: aksesibilitas, premanisme berkedok calo, dan minimnya visi keberlanjutan.
1. Labirin Kemacetan dan Akses yang Tertinggal
Masalah pertama yang menyambut wisatawan adalah akses. Jalur utama menuju Garut, baik dari arah Bandung (Kadungora/Leles) maupun jalur alternatif, kerap menjadi jebakan macet yang melelahkan. Proyek perbaikan jalan yang seringkali tidak tepat momentum dan kurangnya jalur lingkar yang efektif membuat waktu tempuh membengkak dua kali lipat.
Selain itu, infrastruktur jalan menuju objek wisata spesifik—seperti ke arah wilayah Garut Selatan atau kaki Gunung Papandayan—masih banyak yang sempit dan rusak di beberapa titik. Tanpa konektivitas yang mumpuni, keindahan alam Garut hanya akan menjadi "harta karun yang terpendam" karena orang malas untuk mencapainya.
2. Cengkeraman Calo dan "Pungli" Terstruktur
Ini adalah keluhan paling nyaring di media sosial: maraknya calo dan pungutan liar. Mulai dari tarif parkir yang tidak masuk akal, pemaksaan jasa pemandu di area pendakian, hingga oknum yang meminta uang di pos-pos tidak resmi.
Kehadiran para calo ini menciptakan rasa tidak aman dan tidak nyaman. Wisatawan merasa dijadikan "sapi perah" alih-alih tamu yang dihormati. Jika praktik premanisme berkedok jasa ini terus dibiarkan tanpa penindakan tegas dari pemerintah daerah dan aparat penegak hukum, citra Garut sebagai kota wisata yang ramah akan hancur sepenuhnya.
3. Fasilitas Publik yang "Sekadarnya"
Banyak objek wisata di Garut yang dikelola dengan mentalitas "yang penting ada". Fasilitas dasar seperti toilet bersih, tempat sampah yang memadai, dan pusat informasi seringkali dalam kondisi memprihatinkan.
Kurangnya standarisasi harga di warung-warung sekitar tempat wisata juga menjadi rapor merah. Kasus "nuthuk" harga (menaikkan harga berkali lipat secara tidak wajar) masih sering terdengar, mencerminkan lemahnya pembinaan terhadap pelaku UMKM lokal oleh dinas terkait.
4. Krisis Identitas dan Estetika
Pembangunan di area wisata Garut seringkali tidak memperhatikan estetika lingkungan. Alih-alih mempertahankan suasana asri dan sejuk, banyak muncul bangunan beton yang tidak serasi dengan alam sekitarnya. Garut mulai kehilangan "jiwanya" karena pembangunan yang sporadis dan tidak memiliki cetak biru (blueprint) yang jelas mengenai gaya arsitektur dan pelestarian lingkungan.
Kesimpulan: Butuh "Tangan Besi" dan Inovasi
Pemerintah Kabupaten Garut tidak bisa lagi hanya duduk manis dan mengandalkan keindahan alam pemberian Tuhan. Pariwisata modern adalah soal pengalaman pengguna (user experience).
Diperlukan langkah konkret:
- Digitalisasi dan Transparansi: Sistem tiket satu pintu secara digital untuk memangkas ruang gerak calo.
- Ketegasan Hukum: Membersihkan premanisme di jalur wisata tanpa kompromi.
- Perbaikan Infrastruktur Strategis: Mempercepat akses jalan dan memperbaiki transportasi publik menuju destinasi wisata.
Jika carut-marut ini dibiarkan, Garut bukan lagi akan menjadi Swiss van Java, melainkan sekadar kota transit yang dihindari para pelancong
