Sunyinya Rak Buku dan Rendahnya Minat Baca di Kabupaten Garut
Fenomena rendahnya minat baca di sebuah daerah bukan sekadar persoalan kebiasaan; ia adalah cermin yang memantulkan kondisi pendidikan, ekonomi, dan kapasitas sumber daya manusia yang lebih luas. Di Kabupaten Garut, fenomena ini menyeruak sebagai paradoks: di tengah perkembangan zaman yang serba digital dan derasnya arus informasi, antusiasme masyarakat terhadap kegiatan membaca justru menurun, seakan rak-rak buku dibiarkan berbicara sendiri dalam kesunyian. Padahal, di balik lembar-lembar bacaan itulah terletak fondasi peradaban dan kunci pembentukan kualitas manusia yang unggul.
Statistik daerah menunjukkan gambaran yang belum menggembirakan. Indeks kegemaran membaca masyarakat Garut pada tahun 2024 berada pada kisaran nilai 68 dari skala 100, tergolong kategori sedang menuju rendah. Angka ini memang menunjukkan adanya aktivitas membaca, namun belum cukup untuk mengubah perilaku menjadi budaya. Di banyak kecamatan, perpustakaan desa atau taman baca masyarakat belum dimanfaatkan secara optimal. Buku-buku yang tersedia sering kali hanya berdebu, sementara pengunjung datang bukan untuk membaca, melainkan untuk sekadar mengakses internet gratis. Di sisi lain, distribusi bahan bacaan yang relevan dan menarik masih terbatas, terutama di wilayah pedesaan yang jauh dari pusat kota.
Kondisi ini berkelindan erat dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Kabupaten Garut. Meski Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, posisinya masih berada di bawah rata-rata provinsi Jawa Barat. Angka partisipasi sekolah telah membaik, namun tingkat literasi fungsional masyarakat masih rendah. Banyak warga yang secara formal lulus dari jenjang pendidikan, namun tidak memiliki kebiasaan membaca dan kemampuan memahami informasi kompleks. Hal ini berdampak langsung pada rendahnya daya saing tenaga kerja, terbatasnya inovasi di sektor produktif, serta lambatnya adaptasi terhadap teknologi baru.
Rendahnya minat baca tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil interaksi panjang antara kondisi sosial ekonomi, sistem pendidikan, kebijakan publik, dan kebiasaan keluarga. Dalam banyak rumah tangga di Garut, budaya membaca belum menjadi tradisi. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang minim teladan literasi. Orang tua lebih sering mengandalkan gawai sebagai hiburan ketimbang membacakan buku. Sementara di sekolah, pendekatan pembelajaran masih berfokus pada hafalan dan pencapaian nilai ujian, bukan pada eksplorasi pengetahuan melalui bacaan. Kurangnya ruang dialog dan kegiatan membaca kritis membuat siswa cenderung melihat membaca sebagai tugas, bukan kebutuhan.
Faktor ekonomi turut memperparah keadaan. Sebagian besar masyarakat Garut bekerja di sektor pertanian, perdagangan kecil, dan industri rumah tangga. Aktivitas ekonomi harian yang padat sering kali membuat membaca dianggap sebagai kegiatan mewah—suatu hal yang bisa dilakukan hanya ketika waktu luang datang. Ketika prioritas hidup masih berkisar pada pemenuhan kebutuhan dasar, membangun kebiasaan literasi memerlukan intervensi yang lebih cermat dan berbasis konteks sosial.
Dampak jangka panjang dari rendahnya minat baca terlihat pada rendahnya kualitas SDM produktif. Dalam era ekonomi berbasis pengetahuan, kemampuan memahami, menganalisis, dan mencipta informasi menjadi keterampilan utama. Namun, masyarakat yang jarang membaca cenderung kesulitan mengikuti dinamika dunia kerja modern. Mereka lebih lambat dalam mempelajari hal baru, kurang percaya diri dalam komunikasi tertulis, dan rentan terhadap misinformasi. Kesenjangan digital yang terjadi bukan hanya persoalan akses internet, melainkan juga kemampuan literasi untuk memilah dan memaknai informasi yang didapatkan.
Dalam penelitian sosial terbaru di tingkat provinsi, ditemukan bahwa kebiasaan membaca berbanding lurus dengan kemampuan berpikir kritis dan prestasi belajar anak. Siswa dengan kebiasaan membaca minimal 30 menit per hari memiliki kemampuan pemahaman bacaan yang 40 persen lebih baik dibanding mereka yang jarang membaca. Efeknya berlanjut ke masa dewasa: mereka yang memiliki kebiasaan membaca cenderung lebih adaptif, kreatif, dan berani mengambil keputusan rasional dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, membaca adalah jembatan menuju peningkatan kualitas manusia secara menyeluruh.
Di Kabupaten Garut, tantangan terbesar bukan pada minimnya fasilitas, melainkan pada lemahnya penggerak kebiasaan. Banyak program literasi berhenti di tataran simbolik—peresmian taman baca, lomba menulis, atau kegiatan membaca massal yang hanya berlangsung sesaat. Padahal, perubahan perilaku membutuhkan kesinambungan. Literasi seharusnya menjadi gerakan kultural, bukan sekadar agenda seremonial. Diperlukan keterlibatan lintas sektor—pemerintah, sekolah, tokoh agama, komunitas, hingga pelaku usaha—untuk menanamkan nilai membaca sebagai bagian dari kehidupan.
Upaya membangkitkan minat baca di Garut seharusnya dimulai dari level keluarga. Membaca bersama anak, menyediakan waktu tenang di rumah, dan menukar cerita dari buku yang dibaca dapat menjadi langkah sederhana namun berpengaruh. Sekolah perlu mengubah paradigma pembelajaran dari instruksional menjadi eksploratif. Guru dapat berperan sebagai fasilitator literasi yang memberi ruang bagi siswa untuk berdiskusi, menulis refleksi, dan menghubungkan bacaan dengan realitas lokal. Di sisi lain, pemerintah daerah dapat memperkuat peran perpustakaan desa sebagai pusat aktivitas warga—bukan hanya tempat penyimpanan buku, tetapi juga ruang belajar, berdiskusi, dan berbagi pengetahuan.
Penting pula mengaitkan literasi dengan kepentingan ekonomi. Petani, misalnya, dapat dilibatkan dalam program literasi berbasis kebutuhan, seperti membaca panduan pertanian organik, mempelajari teknik pengolahan hasil tani, atau membaca informasi pasar. Pelaku UMKM dapat didorong untuk membaca bahan-bahan tentang inovasi produk, branding, atau manajemen keuangan sederhana. Ketika membaca membawa manfaat langsung terhadap penghasilan, motivasi untuk melakukannya akan meningkat.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah literasi digital. Di tengah maraknya media sosial dan banjir informasi, kemampuan membaca secara kritis menjadi benteng utama dari disinformasi dan hoaks. Ironisnya, rendahnya literasi membaca justru memperburuk situasi ini—masyarakat mudah percaya tanpa memverifikasi. Dengan memperkuat kemampuan membaca dan berpikir kritis, masyarakat Garut dapat menjadi pengguna teknologi yang cerdas dan produktif, bukan sekadar konsumen pasif dari arus informasi global.
Meski tantangan yang dihadapi cukup kompleks, peluang untuk berubah selalu terbuka. Garut memiliki potensi sosial yang kuat: komunitas yang guyub, budaya lokal yang kaya, dan semangat kolektif yang mudah digerakkan. Jika energi sosial ini diarahkan untuk membangun budaya literasi, maka perubahan bisa terjadi secara bertahap. Program membaca berbasis komunitas, festival literasi desa, atau kolaborasi antara pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi di wilayah sekitar dapat menjadi langkah awal.
Membaca bukan sekadar aktivitas intelektual; ia adalah latihan empati, cara memahami dunia, dan proses menumbuhkan kesadaran diri. Masyarakat yang gemar membaca cenderung lebih toleran, terbuka terhadap gagasan baru, dan memiliki pandangan hidup yang luas. Dalam konteks pembangunan daerah, literasi menjadi fondasi bagi kemajuan berkelanjutan—karena manusia yang terbiasa membaca akan lebih mudah belajar, berinovasi, dan beradaptasi terhadap perubahan zaman.
Pada akhirnya, rendahnya minat baca di Garut adalah panggilan moral bagi seluruh elemen masyarakat. Sebab, kualitas SDM tidak akan pernah bisa ditingkatkan hanya melalui pembangunan fisik, pelatihan teknis, atau bantuan ekonomi semata. Ia harus dimulai dari dalam diri manusia itu sendiri—dari kemampuan untuk membaca, memahami, dan berpikir. Buku, majalah, bahkan artikel daring, adalah jendela yang membawa masyarakat Garut pada cakrawala baru. Jika kebiasaan membaca mampu tumbuh di setiap rumah, sekolah, dan ruang publik, maka masa depan Garut akan ditopang oleh SDM yang cerdas, mandiri, dan berdaya saing.
Mungkin kini rak buku masih sunyi, perpustakaan masih sepi, dan minat baca belum menjadi kebanggaan. Namun, setiap halaman yang terbuka adalah langkah kecil menuju kebangkitan intelektual. Di sanalah masa depan Garut menunggu—di antara baris-baris kata yang sabar menanti untuk dibaca, dipahami, dan dihidupkan kembali oleh generasi yang percaya bahwa pengetahuan adalah cahaya yang tak pernah padam.
