Mengapa Orang Sunda Cenderung Damai dari Abad ke Abad
Sejarah panjang masyarakat Sunda memperlihatkan satu pola yang konsisten: kecenderungan untuk hidup damai, menjaga harmoni, dan menghindari pergolakan besar. Dari masa kerajaan awal seperti Tarumanagara hingga era kolonial dan Indonesia modern, wilayah Sunda relatif jarang menjadi pusat pemberontakan atau konflik besar. Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan hasil akumulasi faktor geografis, budaya, sosial, dan politik yang membentuk karakter kolektif orang Sunda selama hampir dua ribu tahun.
Kondisi geografis Priangan sejak awal menjadi pagar alami yang membentuk pola hidup masyarakatnya. Pegunungan yang mengelilingi wilayah ini membuatnya terpisah dari jalur perebutan kekuasaan besar di Nusantara, terutama jalur rempah di pesisir utara Jawa dan timur Indonesia. Berabad-abad lamanya, masyarakat Sunda hidup dalam lingkungan yang relatif stabil dan subur, sehingga budaya yang tumbuh pun tidak menjadi agresif atau ekspansionis. Tradisi agraris yang kuat membentuk pola pikir bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang tenteram, selaras dengan alam, dan tidak menggoyang keseimbangan sosial.
Nilai-nilai budaya Sunda memperkuat karakter damai ini. Prinsip “silih asah, silih asih, silih asuh” telah menjadi fondasi hubungan sosial sejak zaman kerajaan. Nilai ini menumbuhkan sikap saling menghargai, menghindari konfrontasi, dan menghormati batas-batas sosial secara halus. Dalam komunikasi sehari-hari, orang Sunda dikenal berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Konsep “teu enakeun” membuat mereka cenderung memilih jalan tengah, menghindari konflik terbuka, dan memilih solusi yang menjaga wajah semua pihak. Pola komunikasi seperti ini membentuk struktur sosial rendah konflik yang bertahan hingga sekarang.
Kerajaan-kerajaan Sunda juga tidak dikenal sebagai kekuatan militer ekspansionis. Berbeda dengan Majapahit atau Sriwijaya yang berebut dominasi regional, kerajaan Sunda lebih berkonsentrasi pada stabilitas internal, perdagangan lokal, dan pengelolaan wilayahnya sendiri. Politik stabil tanpa ambisi penaklukan membuat masyarakatnya tidak terbiasa dengan mobilisasi perang atau konflik besar. Tradisi birokrasi Sunda juga lebih egaliter; tidak ada stratifikasi sosial setegas konsep priyayi–wong cilik seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hubungan yang lebih cair antara elite dan rakyat membatasi munculnya ketegangan horizontal.
Pada masa kolonial, Priangan diperlakukan sebagai wilayah perkebunan strategis namun stabil. Administrasi kolonial justru mempertahankan para bupati lokal dan menghargai struktur sosial yang telah ada. Meskipun eksploitasi tetap terjadi, tekanan politik tidak sebesar di Aceh, Minangkabau, atau Jawa Tengah yang menjadi pusat pemberontakan. Kombinasi ekonomi perkebunan dan pemerintahan lokal yang relatif diberi ruang menjadikan Priangan tetap aman dan produktif. Masyarakat Sunda tidak mengalami kekerasan struktural yang cukup besar untuk memicu gerakan perlawanan besar-besaran.
Konflik memang pernah terjadi—misalnya DI/TII di Jawa Barat—tetapi sifatnya lebih berakar pada ideologi dan dinamika nasional, bukan pada karakter budaya Sunda. Bahkan dalam situasi-situasi tersebut, masyarakat Sunda pada umumnya memilih bertahan, menenangkan diri, dan menata kembali kehidupan tanpa memperpanjang ketegangan. Ini memperlihatkan bahwa meski konflik dapat muncul karena faktor eksternal, karakter dasar masyarakat tetap condong pada stabilitas dan kedamaian.
Identitas Sunda juga lebih bersifat kultural daripada ideologis. Ia diikat oleh bahasa, seni, adat, dan hubungan dengan tanah, bukan oleh ambisi politik atau militansi. Identitas kultural seperti ini cenderung menguatkan pola hidup yang damai, stabil, dan selaras. Akhirnya, gabungan kondisi geografis yang melindungi, budaya yang halus, struktur sosial egaliter, dan sejarah politik yang tidak agresif menciptakan masyarakat yang secara kolektif lebih memilih harmoni daripada konfrontasi. Inilah yang membuat masyarakat Sunda, dari abad pertama hingga kini, dikenal sebagai salah satu komunitas paling adem ayem di Nusantara.
