Malam Panjang di Dyatlov Pass
Angin menggigit dari lereng utara Kholat Syakhl—“Gunung Kematian”, begitu suku Mansi menyebutnya.Di tengah badai, sembilan pendaki muda dari Institut Politeknik Ural mendirikan tenda di lereng miring, tertutup salju hingga setinggi lutut. Mereka kelelahan, tapi semangat. Esok hari mereka akan menembus jalur yang belum dijelajahi siapa pun sebelumnya.
Tenda berdiri kokoh, ditopang ski dan tiang baja. Di dalam, senter kecil menyala, memberi cahaya kuning samar. Mereka makan cepat, bercanda, mencatat rute di buku log.Lalu angin mulai berubah.
Suara yang Tak Biasa
Di luar, badai semakin keras. Suara desis panjang seperti sesuatu yang bergerak di bawah salju terdengar samar.Salah satu pendaki—Doroshchenko—mengangkat kepala. “Kalian dengar itu?” katanya.
Belum sempat ada yang menjawab, salju di sisi atas tenda mulai bergerak.Bukan longsor besar—hanya lapisan tipis, tapi cukup untuk menekan sisi tenda dan menimbulkan suara bergemuruh singkat. Dalam sepersekian detik, semua bangun panik.
“Ia longsor! Cepat keluar!”
Tanpa sempat membuka ritsleting tenda, pisau menggores kain dari dalam. Mereka merangkak keluar ke dalam badai gelap, berpikir gunung akan menelan mereka.
Lari ke Kegelapan
Suhu -30°C, angin menembus kulit seperti jarum es.Beberapa tanpa sepatu, sebagian hanya memakai pakaian dalam.Mereka berlari menuruni lereng, menjauh dari tenda yang dianggap berbahaya.Setelah beberapa ratus meter, mereka berhenti. Tidak ada longsor lanjutan. Tapi mereka tidak bisa melihat tenda lagi. Hanya gelap, salju, dan suara angin.
Mereka mencoba bertahan di bawah pohon pinus besar.Dua orang—Krivonishenko dan Doroshchenko—menyalakan api dengan sisa ranting basah. Api kecil menyala, tapi tidak cukup menghangatkan tubuh yang mulai kehilangan kesadaran.
Dingin yang Memakan Akal
Hipotermia mulai mengambil alih.Tubuh merasa panas walau sebenarnya membeku — fenomena “paradoxical undressing”.Satu demi satu, mereka mulai menanggalkan pakaian, tanpa sadar bahwa itu mempercepat kematian mereka sendiri.
Tiga orang lain mencoba kembali ke tenda — jejak kaki mereka ditemukan menuju arah yang benar, tapi berhenti di tengah salju.Mereka tak pernah sampai.
Tempat Berlindung yang Terlalu Berat
Empat sisanya menemukan jurang kecil yang terlindung dari angin. Mereka mencoba menggali gua salju untuk berteduh.Namun salju yang digali justru runtuh ke atas mereka, menimbun sebagian tubuh.Tekanan berat itu menyebabkan cedera fatal di dada dan tengkorak—mirip kecelakaan mobil, tapi tanpa luka luar.
Pagi yang Beku
Saat matahari terbit, badai reda.Gunung kembali sunyi.Tenda masih berdiri sebagian, terbenam sebagian.Di dalamnya, perlengkapan, sepatu, dan buku catatan masih rapi.Di luar sana, sembilan jiwa muda telah hilang selamanya, berserakan di salju putih, hanya beberapa ratus meter dari rumah terakhir mereka di gunung itu.
Enam dekade kemudian, para peneliti Swiss memodelkan kondisi malam itu dengan data cuaca dan topografi sebenarnya.Hasil simulasi menunjukkan: longsor mikro dengan tekanan yang cukup untuk menakuti para pendaki memang mungkin terjadi.Semua luka, pola jejak, dan sisa tenda—semuanya cocok.
Misteri yang selama puluhan tahun diselimuti teori makhluk asing dan eksperimen rahasia, akhirnya perlahan terurai.Bukan karena konspirasi.Tapi karena gabungan dari ketakutan, badai, dan kekuatan alam yang dingin tanpa ampun.
“Gunung tidak membunuh dengan niat — ia hanya diam, dan menunggu manusia yang meremehkan sunyinya.”
