Mengapa Indonesia Terlalu Lambat dalam Mengadopsi Kemajuan Digital
Indonesia sering dipuji sebagai salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia, namun pujian itu seringkali menutupi kenyataan pahit: sekalipun jutaan orang terhubung ke dunia digital, kualitas pemanfaatannya masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain. Infrastruktur digital memang berkembang, tetapi adopsi teknologi tidak hanya soal kabel optik dan sinyal 5G; ia juga soal kesiapan mental, budaya birokrasi, ekosistem industri, hingga keberanian untuk mengubah pola pikir. Dalam banyak aspek, Indonesia bukan tidak mampu bergerak cepat, melainkan tersandera oleh sifat dasar sistemnya yang lamban bertransformasi.
Salah satu faktor utama lambatnya adopsi digital adalah mentalitas reaktif, bukan proaktif. Banyak kebijakan digital lahir setelah masalah muncul, bukan dirancang untuk mengantisipasi masa depan. Alih-alih menjadi negara pembentuk tren, Indonesia lebih sering menjadi pengikut yang sibuk menyusun regulasi setelah inovasi terjadi di lapangan. Contohnya terlihat dalam perkembangan fintech, ride-hailing, hingga aset digital; teknologi muncul lebih dulu, baru pemerintah bereaksi. Keterlambatan ini tidak selalu karena niat buruk, melainkan karena struktur birokrasi yang terlalu hierarkis sehingga proses pengambilan keputusan berjalan lambat. Ketika regulasi baru selesai disusun, sering kali teknologi yang ingin diatur sudah melompat lagi ke tahap berikutnya, membuat kebijakan tersebut kembali tertinggal.
Digitalisasi juga menghadapi tantangan ketimpangan akses yang ekstrem. Indonesia bukan hanya Jakarta dan kota-kota besar; sebagian wilayah masih berjuang mendapatkan sinyal yang layak untuk sekadar mengirim pesan. Meskipun pemerintah telah membangun ribuan menara BTS dan jaringan serat optik, penyediaan akses tidak otomatis melahirkan pemanfaatan digital yang produktif. Banyak sekolah sudah memiliki perangkat teknologi tetapi tidak digunakan karena guru tidak terlatih; banyak pelaku UMKM mengenal media sosial tetapi tidak memahami strategi pemasaran digital secara mendalam; banyak masyarakat menggunakan internet sepanjang hari tetapi hanya untuk hiburan, bukan pengembangan kapasitas. Digitalisasi yang hanya berhenti pada tingkat konsumsi tanpa menciptakan kemampuan menghasilkan akan selalu melahirkan jurang produktivitas.
Di sektor industri, lambatnya adopsi teknologi modern juga disebabkan oleh budaya bisnis yang cenderung defensif. Banyak perusahaan masih menganggap otomatisasi dan sistem digital sebagai ancaman bagi tenaga kerja, bukan alat untuk meningkatkan efisiensi. Ketakutan terhadap perubahan membuat sebagian pelaku usaha memilih bertahan dengan cara lama karena merasa lebih aman, meskipun cara lama itu sebenarnya membuat biaya produksi lebih mahal dan daya saing melemah. Akibatnya, alih-alih mendorong transformasi digital secara menyeluruh, sebagian besar pelaku industri bergerak secara parsial dan setengah hati.
Faktor budaya juga memainkan peran besar. Dalam masyarakat yang memiliki tradisi komunal kuat seperti Indonesia, adopsi teknologi sering dihadapkan pada resistensi sosial. Ketika sistem digital menggantikan proses tatap muka, muncul kekhawatiran bahwa teknologi akan menggerus nilai kebersamaan. Ini membuat sebagian komunitas bersikap ambigu: mereka menikmati kemudahan teknologi, namun menolak kedisiplinan dan transparansi yang datang bersama sistem digital. Digitalisasi pemerintahan misalnya, sering terhambat bukan karena kurangnya perangkat, tetapi karena resistensi dari individu yang merasa kenyamanannya diganggu oleh sistem yang lebih transparan dan tidak bisa disusupi kepentingan pribadi.
Masalah lainnya adalah rendahnya literasi digital kritis. Masyarakat Indonesia dikenal adaptif dalam mengikuti tren teknologi, tetapi belum cukup dewasa dalam memahami implikasinya. Akibatnya, teknologi lebih sering digunakan untuk konsumsi dangkal dan penyebaran informasi tidak akurat daripada sebagai alat produksi pengetahuan. Ketika teknologi hadir tanpa kecakapan berpikir kritis, digitalisasi justru memperluas kesenjangan intelektual.
Secara keseluruhan, kelambatan Indonesia dalam mengadopsi kemajuan digital bukan karena kurangnya potensi, melainkan karena absennya keberanian untuk memakai teknologi sebagai alat transformasi menyeluruh. Infrastruktur telah dibangun, tetapi mentalitas masih bertahan di masa lalu. Pemerintah sering ragu mengambil keputusan besar karena takut salah langkah; sektor swasta lebih memilih aman daripada unggul; masyarakat menikmati kenyamanan digital tetapi enggan menerima konsekuensi dari sistem yang lebih terukur, transparan, dan disiplin.
Jika Indonesia ingin bergerak lebih cepat, maka digitalisasi tidak boleh hanya dilihat sebagai proyek pembangunan perangkat keras, tetapi harus dianggap sebagai revolusi budaya dan tata kelola. Birokrasi harus lebih adaptif, pendidikan harus melatih keberanian berpikir, industri harus menghargai efisiensi, dan masyarakat harus berani keluar dari pola konsumsi semata. Teknologi sudah berada di tangan kita; yang belum hadir sepenuhnya adalah kesungguhan untuk menggunakannya sebagai alat transformasi, bukan sekadar hiburan.
Masa depan digital Indonesia sebenarnya tidak ditentukan oleh seberapa cepat jaringan internet kita, tetapi oleh seberapa cepat kita melepaskan kebiasaan lama dan berani melompat ke masa depan. Selama kita masih lebih nyaman menunggu daripada menciptakan, lambatnya adopsi digital akan terus menjadi cermin dari ketidaksiapan mental kolektif kita. Namun jika keberanian itu tumbuh, Indonesia bukan hanya akan sejajar dengan negara lain, tetapi berpotensi melampauinya. Digitalisasi bukan perlombaan teknologi, melainkan perlombaan keberanian untuk berubah.
