Garut Kotor Bukan Karena Sampah, Tetapi Karena Pikiran yang Tidak Terdidik
Permasalahan sampah bukan sekadar tumpukan plastik yang mengotori jalanan atau bau busuk dari tempat pembuangan akhir. Ia adalah cermin yang memantulkan kualitas sumber daya manusia, menunjukkan sejauh mana masyarakat mampu merencanakan, mengelola, dan menjaga lingkungan yang mereka tinggali. Di Kabupaten Garut, persoalan ini bukan hal baru, tetapi semakin terasa menekan seiring meningkatnya jumlah penduduk, urbanisasi, dan konsumsi barang sekali pakai. Di balik gunungan sampah yang kian menggunung, terselip persoalan mendasar: rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik dari sisi pengetahuan, kesadaran, maupun kemampuan teknis dalam pengelolaan lingkungan.
Kabupaten Garut adalah wilayah dengan populasi besar dan tingkat kepadatan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ini memang menjadi tanda dinamika sosial ekonomi, tetapi juga menimbulkan konsekuensi ekologis yang tidak kecil. Data terakhir menunjukkan volume sampah di Garut mencapai ratusan ton per hari. Sebagian besar berasal dari rumah tangga, pasar tradisional, dan kegiatan usaha kecil. Namun, hanya sebagian kecil yang terangkut dan dikelola dengan baik, sementara sisanya menumpuk di pinggiran sungai, selokan, atau bahkan dibakar di halaman rumah. Fenomena ini tidak semata karena kurangnya armada atau fasilitas pengangkutan, melainkan karena lemahnya kesadaran dan manajemen dari hulu ke hilir.
Sampah di Garut mencerminkan struktur sosial yang belum siap menghadapi tantangan modernitas. Banyak warga belum memahami konsep pengelolaan sampah berkelanjutan. Pemilahan di sumber masih sangat jarang dilakukan, padahal lebih dari separuh sampah dihasilkan dari bahan organik yang bisa diolah kembali menjadi kompos. Sebaliknya, sebagian masyarakat memilih cara instan—dibakar atau dibuang ke sungai—tanpa menyadari dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan dan lingkungan. Kebiasaan ini lahir dari keterbatasan pengetahuan, minimnya edukasi publik, dan rendahnya efektivitas program pemerintah dalam menanamkan nilai-nilai lingkungan sejak dini.
Kualitas SDM yang rendah menjadi akar dari banyak persoalan lingkungan di daerah ini. Tingkat pendidikan yang masih timpang, keterbatasan akses informasi, serta kurangnya pelatihan teknis bagi aparatur dan masyarakat membuat kebijakan pengelolaan sampah sulit diimplementasikan secara menyeluruh. Pendidikan formal di Garut masih banyak didominasi oleh jenjang dasar, dengan angka melanjutkan ke sekolah menengah dan perguruan tinggi yang belum tinggi. Kondisi ini berdampak langsung pada rendahnya kemampuan analitis dan perencanaan di tingkat lokal. Dalam konteks pengelolaan sampah, SDM yang kurang terlatih akan cenderung mengandalkan pola lama: buang dan angkut, bukan kelola dan daur ulang.
Masalahnya tidak berhenti di masyarakat. Kapasitas birokrasi lokal juga masih terbatas. Banyak dinas teknis yang menangani kebersihan menghadapi kendala sumber daya manusia—baik dalam jumlah maupun kompetensi. Perencanaan sering bersifat reaktif, hanya berfokus pada pengangkutan dan pembuangan akhir, tanpa pendekatan menyeluruh yang mencakup pengurangan dari sumber, edukasi, dan pemanfaatan ekonomi dari limbah. Padahal, di era kini, pengelolaan sampah bukan sekadar tanggung jawab kebersihan, tetapi bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan yang melibatkan ekonomi sirkular dan pemberdayaan masyarakat.
Dampak dari kegagalan mengelola sampah tidak hanya terlihat pada lingkungan, tetapi juga pada kualitas hidup dan produktivitas masyarakat. Tumpukan sampah menjadi sumber penyakit, menurunkan kualitas air tanah, dan mengganggu kenyamanan permukiman. Dalam jangka panjang, hal ini memperburuk kesehatan masyarakat, menurunkan produktivitas kerja, dan meningkatkan beban biaya pengobatan. Di sisi lain, lingkungan yang kumuh dan tidak terurus juga mengurangi potensi pariwisata dan investasi. Padahal, Garut memiliki kekayaan alam luar biasa—gunung, sungai, dan sumber air panas—yang dapat menjadi daya tarik ekonomi jika dikelola bersih dan berkelanjutan.
Korelasi antara sampah dan rendahnya SDM ini dapat dilihat sebagai lingkaran setan. SDM yang rendah menyebabkan buruknya pengelolaan lingkungan, sementara lingkungan yang rusak memperparah kualitas hidup dan menurunkan kesempatan masyarakat untuk berkembang. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan kotor dan tercemar cenderung memiliki risiko kesehatan lebih tinggi dan motivasi belajar lebih rendah. Ketika pendidikan terganggu, kemampuan mereka untuk meningkatkan taraf hidup di masa depan juga ikut terhambat. Akibatnya, siklus kemiskinan dan ketidakpedulian terhadap lingkungan terus berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Namun, masalah ini bukan tanpa solusi. Beberapa inisiatif lokal menunjukkan harapan. Di beberapa kecamatan, masyarakat mulai mendirikan bank sampah, memanfaatkan sampah organik menjadi pupuk, dan menjual kembali plastik daur ulang sebagai bahan baku industri. Meski masih terbatas, inisiatif ini membuktikan bahwa dengan pengetahuan yang tepat dan dukungan kebijakan, masyarakat Garut mampu beradaptasi dan berinovasi. Tantangannya kini adalah bagaimana memperluas model semacam ini menjadi gerakan bersama, bukan sekadar proyek kecil yang bergantung pada bantuan luar.
Pendidikan menjadi kunci utama dalam memutus rantai ini. Pendidikan lingkungan harus diperkenalkan sejak tingkat dasar dengan cara yang kontekstual dan menyenangkan. Anak-anak perlu diajak memahami bahwa sampah bukan sekadar masalah kebersihan, tetapi bagian dari tanggung jawab sosial. Di tingkat masyarakat, pelatihan dan pendampingan bagi kelompok ibu rumah tangga, pemuda, dan pelaku usaha kecil bisa menjadi strategi efektif. Mereka dapat diajarkan cara mengolah limbah organik, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, dan memanfaatkan sampah menjadi produk bernilai ekonomi.
Di sisi lain, pemerintah daerah perlu memperkuat kapasitas kelembagaan dan teknisnya. Pengelolaan sampah harus dipandang sebagai sistem terpadu yang melibatkan perencanaan tata ruang, transportasi, kesehatan, dan ekonomi. Dinas-dinas terkait harus dilengkapi dengan tenaga profesional di bidang lingkungan, statistik, dan manajemen data agar kebijakan yang dibuat benar-benar berbasis bukti dan kebutuhan lapangan. Transparansi dalam alokasi anggaran dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan juga penting untuk memastikan kepercayaan publik.
Garut juga dapat memanfaatkan potensi generasi mudanya yang kreatif untuk menciptakan inovasi berbasis teknologi dalam pengelolaan sampah. Aplikasi pelaporan sampah ilegal, platform digital untuk bank sampah, atau kompetisi daur ulang kreatif dapat menjadi cara menarik meningkatkan partisipasi publik. Dengan pendekatan yang tepat, isu sampah bisa diubah dari masalah menjadi peluang ekonomi hijau yang membuka lapangan kerja baru.
Pada akhirnya, hubungan antara permasalahan sampah dan rendahnya SDM di Kabupaten Garut bukanlah hubungan sebab-akibat tunggal, melainkan jalinan kompleks yang saling memengaruhi. Rendahnya SDM melahirkan perilaku abai terhadap lingkungan, sementara kondisi lingkungan yang buruk menahan peningkatan kualitas manusia itu sendiri. Oleh karena itu, solusi tidak bisa dilakukan secara terpisah. Upaya memperbaiki pengelolaan sampah harus disertai dengan program peningkatan pendidikan, pelatihan vokasional, dan pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan.
Meningkatkan kualitas manusia berarti meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memahami dan mengelola lingkungan mereka dengan bijak. Ketika masyarakat memiliki pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan, maka mereka bukan hanya menjadi penerima kebijakan, tetapi pelaku perubahan itu sendiri. Garut memiliki modal sosial yang kuat—gotong royong, keagamaan, dan rasa kebersamaan—yang dapat dijadikan fondasi membangun budaya baru dalam pengelolaan sampah. Budaya yang menempatkan kebersihan bukan sebagai kewajiban pemerintah, tetapi sebagai cerminan martabat masyarakat.
Jika arah kebijakan ke depan mampu menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan, dan lingkungan sebagai ruang hidup yang harus dijaga bersama, maka permasalahan sampah di Garut bukan lagi sekadar beban, melainkan awal kebangkitan. Dari sampah yang berserakan, bisa lahir kesadaran kolektif baru—bahwa kemajuan tidak hanya diukur dari gedung dan jalan, tetapi dari kemampuan manusia menjaga bumi yang menjadi tempat berpijak. Garut yang bersih, sehat, dan berdaya bukanlah utopia, melainkan hasil dari keberanian mengubah cara berpikir tentang sampah dan sumber daya manusia secara bersamaan.
