Filosofis dan Identitas Budaya Sunda
Jatidiri sebuah etnis adalah manifestasi kolektif dari sejarah panjang, nilai-nilai filosofis, dan adaptasi kultural terhadap gelombang perubahan zaman. Suku Sunda, sebagai salah satu entitas budaya terbesar di Nusantara, dengan populasi yang secara konsisten menempati urutan kedua terbesar di Indonesia—merepresentasikan sekitar 15 persen dari total penduduk nasional—menghadirkan sebuah narasi identitas yang kaya dan terus berdinamika. Secara geografis, mayoritas masyarakat Sunda mendiami wilayah Jawa Barat yang secara konsisten mencatatkan pertumbuhan ekonomi regional yang solid, mencapai angka di atas 4,9 persen hingga pertengahan tahun 2025, sebuah indikasi bahwa semangat kultural mereka beriringan dengan laju modernisasi dan pembangunan. Namun, melampaui statistik demografi dan ekonomi, esensi jatidiri Sunda terletak pada fondasi filosofis yang telah diwariskan lintas generasi, sebuah fondasi yang kini diuji relevansinya di tengah arus globalisasi.
Inti dari filosofi hidup Urang Sunda terpancar dalam konsep keseimbangan kosmis yang terangkum dalam kearifan lokal. Konsep "Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh" (saling menyayangi, saling mengasah ilmu, dan saling mengayomi) adalah trilogi etika sosial yang menjadi kompas moral. Silih Asih mengajarkan pentingnya welas asih dan keramahtamahan, yang tercermin dalam perilaku komunikasi khas Sunda yang dikenal sebagai someah. Someah bukan sekadar ramah, melainkan sebuah filosofi kerendahan hati dan kesopanan yang diwujudkan melalui ekspresi wajah yang berseri dan tutur kata yang santun, termasuk penggunaan kata punten (permisi) dan mangga (silakan) yang menyeimbangkan status sosial lawan bicara. Penelitian sosiokultural terkini menegaskan bahwa nilai-nilai ini tidak pudar, bahkan menjadi brand personality yang kuat, menciptakan citra masyarakat yang terbuka dan bersahaja.
Lebih mendalam, jatidiri Sunda diikat oleh lima karakter dasar yang menjadi cetak biru pribadi ideal, yang disebut "Cageur, Bageur, Pinter, Bener, Singer". Cageur (sehat) tidak hanya berarti kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan spiritual dan mental, sebuah anugerah yang harus dijaga. Bageur (baik) mengimplikasikan perilaku moral yang ramah, murah hati, dan santun terhadap sesama. Bener (benar) merujuk pada integritas dan kejujuran, melakukan apa yang seharusnya sesuai dengan kewajiban. Pinter (pintar) mencerminkan wawasan luas dan keilmuan yang bermanfaat, menempatkan kaum berilmu pada posisi yang dihormati. Akhirnya, Singer (mawas diri) merupakan kemampuan refleksi, kepekaan terhadap kesalahan, toleransi, dan tenggang rasa. Kelima karakter ini membentuk sebuah kesatuan yang dianggap mampu merepresentasikan perilaku ideal warga negara yang beradab dan bertanggung jawab. Dalam konteks pendidikan karakter saat ini, nilai-nilai ini diimplementasikan secara aktif dalam proses pembelajaran, menunjukkan upaya sadar untuk melestarikan dan merevitalisasi identitas ini di kalangan generasi muda.
Aspek religiusitas dan hubungan dengan alam juga menjadi pilar utama jatidiri Sunda. Mayoritas masyarakat Sunda dikenal memegang teguh ajaran agama, yang diwujudkan dalam sikap Tawakal dan pasrah kepada Tuhan, namun tetap diikuti dengan ikhtiar dan kerja keras. Dalam praktiknya, religiusitas ini terjalin erat dengan tradisi budaya, misalnya dalam praktik gotong royong (silih tulungan) yang mencakup ritual syukuran komunal. Sementara itu, hubungan dengan alam didasarkan pada prinsip "Ngamumule Alam", yaitu menjaga dan melestarikan lingkungan. Filosofi ini memandang alam bukan sekadar objek eksploitasi, melainkan sahabat dan penopang kehidupan yang harus dihormati. Konsep Tritangtu dalam kearifan lokal Sunda, yang mengatur hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam, menuntut manusia yang memiliki kelebihan akal agar tidak merusak ketentraman makhluk lain, sebuah kesadaran ekologis yang sangat relevan dengan isu keberlanjutan global abad ke-21. Bahkan, ritual tahunan seperti Seren Taun yang masih dilestarikan oleh masyarakat adat, menjadi representasi nyata dari kesinambungan nilai-nilai lokal ini, menekankan pentingnya rasa syukur, kebersamaan, dan kedaulatan komunitas atas hasil bumi.
Namun, pengujian jati diri Sunda dalam era kontemporer tidak lepas dari tantangan modernitas. Arus migrasi, urbanisasi masif—terutama di kawasan megapolitan Bandung, Bogor, Depok, Bekasi—serta penetrasi budaya asing melalui media digital, menjadi faktor yang mengancam kelestarian bahasa dan etika sosial. Meskipun secara statistik bahasa Sunda masih digunakan secara luas, terdapat kekhawatiran yang sah mengenai penyusutan penutur ragam bahasa halus (basa hormat) dan menurunnya pemahaman terhadap undak usuk basa (tingkatan berbahasa), yang merupakan kunci utama dalam mempertahankan kesantunan dan tata krama khas Sunda.
Respons terhadap tantangan ini tidak datang dalam bentuk isolasi, melainkan melalui revitalisasi berbasis komunitas dan penguatan intelektual. Upaya-upaya pelestarian kini bergerak dari sekadar ritual menjadi penanaman nilai dalam kehidupan sehari-hari dan pembangunan. Misalnya, penekanan pada konsep kemandirian, yang digaungkan oleh para budayawan dan pemangku adat, menyoroti pentingnya nilai-nilai adat sebagai penopang kehidupan utuh manusia yang menolak sikap koruptif dan mendorong kedaulatan di atas tanah sendiri. Ini adalah upaya untuk menjadikan nilai Sunda tidak hanya sebagai identitas masa lalu, tetapi sebagai modal etis dalam pembangunan masa depan. Ketika Jawa Barat mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional, hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti kerja keras dan gotong royong telah bertransformasi menjadi semangat kewirausahaan dan produktivitas yang kompetitif. Kontribusi terbesar terhadap perekonomian regional datang dari sektor industri pengolahan, yang menyerap jutaan tenaga kerja, mencerminkan kemampuan masyarakat Sunda dalam beradaptasi dengan tuntutan industri modern sambil tetap menjaga etos kerjanya.
Secara keseluruhan, jatidiri Orang Sunda di era kontemporer dapat dilihat sebagai sintesis yang dinamis antara nilai-nilai luhur tradisi dan realitas modern. Identitas ini menolak untuk menjadi artefak yang statis, melainkan sebuah panduan hidup yang aktif. Sifat someah dan prinsip cageur-bageur terus menjadi pagar diri terhadap pengaruh asing yang tidak sesuai dengan etika dan moral bangsa. Tantangan yang ada adalah bagaimana memastikan bahwa peningkatan kesejahteraan material, yang tercermin dari angka pertumbuhan ekonomi yang positif, diimbangi dengan kekayaan spiritual dan kultural. Pada akhirnya, jatidiri Sunda adalah sebuah janji akan keseimbangan: keindahan alam yang lestari, kehangatan sosial yang terjaga, dan keutamaan moral yang tidak lekang oleh waktu, menjadi fondasi bagi Tatar Sunda untuk terus berkontribusi sebagai entitas budaya yang beradab dan berdaya saing di kancah nasional maupun global.
Baca Juga Jati diri Orang Sunda
