Banyaknya Sampah yang Tertinggal di Gunung gunung Indonesia
Ada satu pemandangan yang selalu bikin hati nyesek setiap kali naik gunung. Bukan kabut tebal, bukan jalur longsor, bukan juga oksigen tipis yang bikin napas megap-megap. Tapi… sampah plastik yang berserakan di sepanjang jalur pendakian. Bungkus mi instan yang terselip di akar pohon, botol minuman energi yang nyangkut di bebatuan, tisu basah yang entah sejak kapan nempel di semak-semak. Ironisnya, semua itu bukan ulah penduduk lokal atau wisatawan yang nggak ngerti etika alam. Sebagian besar—sadar atau tidak—adalah ulah kita sendiri: para pendaki.
Padahal kita sering merasa bangga menyebut diri “anak gunung”. Kita posting sunrise dengan caption tentang mencintai alam, kita upload foto di puncak sambil menulis “kita hanya tamu di bumi ini”. Tapi kadang-kadang, jejak yang kita tinggalkan justru lebih mirip jejak penjarah daripada tamu yang sopan. Kadang gue sendiri suka mikir, kenapa ya mendaki bisa rapi banget waktu packing barang, tapi nggak bisa rapi juga waktu packing sampahnya buat dibawa turun?
Gue nggak munafik, gue juga pernah kelepasan. Pernah suatu kali habis bikin kopi sachet di pos peristirahatan, bungkusnya nggak sengaja kejatuhan angin dan terbang entah ke mana. Itu doang, cuma satu bungkus. Tapi perasaan bersalahnya kebawa sampai turun gunung. Dari situ gue sadar: satu sampah kecil bukan cuma urusan visual, tapi urusan moral. Karena kalau gue mikir “ah cuma satu”, orang lain juga mikir begitu. Dan kalau ada seribu pendaki mikir “ah cuma satu”, jadinya apa? Satu warung plastik gratisan di tengah hutan.
Lucunya, banyak pendaki yang sanggup bawa carrier 70 liter penuh logistik pas berangkat, tapi pulangnya ngerasa keberatan cuma buat bawa plastik kosong. Padahal sampah turun itu jauh lebih ringan daripada logistik naik. Kadang gue mikir, mungkin persoalannya bukan soal berat fisik, tapi berat kesadaran. Kita lebih pinter bawa ego daripada bawa sampah sendiri.
Gue yakin sebagian besar dari kita sebenernya sayang sama gunung. Kita jatuh cinta sama dinginnya udara pagi, suara burung di pepohonan, hangatnya obrolan di tenda sambil rebus air. Tapi rasa cinta itu belum semua orang tunjukkan dalam bentuk yang paling sederhana: nggak ninggalin jejak kotor. Buat apa kita bangga berhasil mencium bau belerang di puncak gunung berapi, kalau napas berikutnya kita hirup bau tumpukan sampah sendiri?
Mungkin sebagian mikir, “ah, nanti juga ada relawan atau porter yang bersihin.” Tapi sadar nggak sih, gunung itu bukan hotel. Nggak ada room service yang bakal nyapu bekas jajan lo. Porter juga bukan petugas kebersihan pribadi. Mereka kerja buat bantu kita hidup di alam liar, bukan buat beresin kebiasaan jelek kita.
Dan kalau lo pikir sampah itu bakal hancur dengan sendirinya, lo salah besar. Plastik bungkus makanan bisa hancur ratusan tahun. Botol plastik bahkan bisa lebih lama dari umur kita. Jadi kalau lo ninggalin sampah di gunung, anggap aja nama lo bakal kekal abadi di sana, cuma bukan dalam bentuk monumen kebanggaan, tapi sebagai pengingat bahwa lo pernah egois.
Tapi gue nggak mau cuma nyalahin. Gue juga mau ngajak. Karena gue yakin kita bisa berubah. Kita para pendaki punya energi yang luar biasa. Kita sanggup jalan belasan kilometer dengan napas ngos-ngosan, sanggup hujan-hujanan, sanggup kedinginan sampai nggak bisa tidur. Masa gitu doang kita kalah sama selembar plastik?
Mulai dari hal kecil. Selalu bawa kantong sampah khusus di tas lo. Kalau bisa, warnanya mencolok biar gampang dilihat dan nggak kelupaan. Setiap habis ngemil, gulung rapat sampahnya, masukin ke kantung itu, bawa turun sampai pos pendakian atau sampai rumah sekalian. Kalau nemu sampah orang lain, anggap itu ujian kecil buat keikhlasan lo. Ambil satu dua bungkus, masukin juga. Nggak harus bersihin satu gunung, cukup jangan tambah kotor.
Dan kalau lo naik bareng temen-temen, biasain saling tegur. Nggak perlu marah-marah. Cukup ingetin pakai gaya bercanda, “Bro, plastiknya ketinggalan tuh. Tar kalo sampah lari sendiri baru serem.” Kadang candaan lebih nyentil daripada ceramah.
Gue percaya, semakin sering kita melihat gunung sebagai rumah kedua, semakin ringan tangan kita buat jagainnya. Karena rumah nggak cuma tempat buat singgah, tapi tempat buat dijaga. Kita datang ke gunung bukan buat ninggalin jejak sampah, tapi buat ninggalin jejak cerita. Cerita tentang pertemanan, perjuangan, sunrise pertama, bahkan tentang rasa takut atau lelah yang akhirnya bikin kita jadi manusia lebih sabar.
Jadi mulai sekarang, yuk bareng-bareng ubah stigma. Pendaki bukan cuma orang yang kuat fisik, tapi juga kuat mental buat bertanggung jawab sama jejaknya. Biar suatu hari nanti, saat kita turun gunung, alam nggak cuma bilang “terima kasih sudah datang”, tapi juga “terima kasih sudah sopan”.
Karena mendaki bukan cuma soal mencapai puncak, tapi soal cara kita pulang tanpa meninggalkan luka. Gunung sudah cukup sering jadi tempat pelarian kita dari hiruk-pikuk dunia. Sekarang saatnya kita jadi pelindungnya, bukan pelananya.
Jadi, kalau lo masih bangga disebut anak gunung, pastiin lo bukan cuma penakluk puncak, tapi juga penjaga jejak. Sebab pendakian terbaik bukan yang paling tinggi, tapi yang paling bersih.
