7 mitos seputar Gunung Papandayan

Daftar Isi


Papandayan. Mendengar namanya saja, pasti langsung terbayang kawah belerang yang mengepul, aroma sulfur yang menyengat, dan tentu saja, hamparan Edelweis abadi di Tegal Alun yang selalu jadi goal wajib para pendaki. Gunung yang satu ini memang beda, treknya ramah pemula tapi pesonanya level dewa, apalagi buat kita-kita yang gila camping cantik. Nah, di balik segala keindahan yang Instagrammable itu, Papandayan, seperti gunung-gunung lain di Indonesia, juga punya segudang cerita dan mitos yang turun-temurun, bahkan sampai ke telinga para pendaki kekinian. Biar perjalanan kita makin seru dan penuh penghayatan, yuk, kita bongkar santai tujuh mitos paling hits tentang Papandayan yang wajib banget kita tahu, bukan buat ditakutin, tapi buat dihormati, karena menghormati alam adalah etika dasar pendaki sejati.

Pertama nih, yang paling ikonik, soal Hutan Mati. Area ini memang paling sering jadi spot foto, pohon-pohon kering kehitaman yang menjulang kaku, hasil sisa letusan Papandayan tahun 2002 silam, menciptakan lanskap yang dramatis, seolah kita lagi ada di planet lain. Mitosnya, tempat ini sangat angker, dihuni banyak 'penunggu' dengan aura yang mencekam, dan konon katanya, siapa pun yang datang dengan niat buruk atau tidak sopan, bisa jadi 'terjebak' atau mengalami kejadian aneh. Padahal, kalau kita lihat, Hutan Mati ini justru jadi simbol ketangguhan alam yang luar biasa; dari abu, alam bisa bangkit lagi. Jadi, daripada parno, mending kita kagum sama kekuatan alam di sana dan tetap jaga sikap, itu sudah lebih dari cukup.

Lanjut ke mitos kedua yang lumayan bikin merinding, yaitu soal Kemunculan Big Foot atau Yeti versi lokal. Cerita ini sempat heboh banget di kalangan warga lereng gunung. Konon, pernah ditemukan jejak kaki berukuran raksasa di area perkebunan, ukurannya jauh melebihi tapak kaki manusia biasa. Walau jejaknya menghilang ke arah puncak dan misterinya nggak pernah terpecahkan sampai sekarang, cerita ini jadi bumbu penyedap yang bikin pendakian makin terasa 'liar'. Kita sih nggak usah sampai niat cari jejaknya ya, cukup nikmati saja sebagai bagian dari legenda Papandayan yang kaya akan makhluk tak kasat mata.

Mitos ketiga, ini sering banget kita dengar di gunung mana pun, tapi di Papandayan diperkuat dengan kisah terkenal yang beredar di kalangan pendaki: Larangan bercerita horor atau menakut-nakuti teman saat di tenda. Dikatakan, kalau kita nekat melanggar, makhluk-makhluk halus penghuni gunung akan merasa terundang dan ikutan nimbrung, bahkan bisa mengganggu pendaki yang asyik bercerita itu. Ada kisah tentang seorang pendaki bernama Tongki yang iseng bercerita seram dan akhirnya mengalami hal-hal di luar nalar. Intinya sih sederhana, jangan usik ketenangan malam di gunung dengan obrolan yang nggak perlu. Mending bakar-bakar logistik, ngopi, atau bahas rencana perjalanan besok, lebih bermanfaat.

Mitos keempat, ini ada di area yang juga instagenic, yaitu Kawah Pengantin. Nama kawah ini sendiri sudah menyimpan kisah tragis. Konon, kawah ini tercipta dari sepasang pengantin yang jatuh ke dalamnya, dan uap belerang yang mengepul tebal dipercaya adalah jelmaan dari air mata atau tangisan sang pengantin wanita yang sedih. Karena kisah kelamnya ini, ada yang bilang kalau sepasang kekasih yang naik dan punya niat main-main atau tidak serius, hubungan mereka bisa 'ikut' berakhir seperti nasib pengantin di kawah itu. Buat yang lagi pacaran, santai aja, anggap ini sebagai pengingat untuk selalu setia dan serius menjalani komitmen, baik di gunung maupun di kehidupan nyata.

Kelima, cerita tentang Putri Papandayan atau Putri Bunian nan Cantik. Legenda ini mengisahkan adanya seorang putri cantik yang tinggal di kaki atau lereng gunung. Beberapa pendaki pria bahkan diklaim pernah mengalami pengalaman bertemu dengan sosok wanita yang sangat mempesona dan bersikap ramah, namun akhirnya menyadari bahwa wanita tersebut bukanlah manusia biasa, melainkan makhluk halus dari kerajaan gaib di sana. Dikatakan, mereka yang bertemu adalah orang-orang dengan niat baik dan hati yang tulus. Jadi, kalau ketemu cewek cantik sendirian di tengah hutan, jangan langsung digoda ya, siapa tahu dia 'penghuni' sana. Tetap fokus sama tujuan pendakian!

Mitos keenam, menyentuh Tegal Alun, padang Edelweis abadi yang memesona. Tempat ini adalah surga bagi para pendaki, tempat kita bisa lihat ribuan bunga Edelweis mekar. Mitosnya, di padang ini sering terjadi kejadian aneh, seperti bunga Edelweis yang tiba-tiba bergerak sendiri, atau pendaki merasa diawasi oleh sosok tak terlihat. Peringatan paling keras di sini adalah larangan mengambil, memetik, atau merusak Edelweis. Konon, pendaki yang nekat mengambil bunga ini akan mendapatkan kesialan atau tersesat saat turun. Sebenarnya sih, tanpa mitos pun, kita wajib banget menghormati Edelweis sebagai bunga yang dilindungi. Cukup dilihat, difoto, dan dibiarkan tumbuh di tempatnya, itu baru pendaki yang beradab.

Terakhir, mitos ketujuh, ini terkait dengan suara nyaring dari kawah yang konon adalah suara pandai besi. Papandayan sendiri berasal dari kata panday yang berarti pandai besi. Konon, di masa lalu, suara mendesis dan gemuruh kawah di puncak diyakini sebagai suara pandai besi raksasa yang sedang menempa senjata atau perkakas. Mitos ini memberikan kesan bahwa gunung ini adalah tempat bersemayamnya kekuatan gaib yang sangat besar. Padahal, kita tahu suara itu berasal dari aktivitas geotermal dan letupan uap belerang. Namun, anggap saja ini adalah cara leluhur kita menjelaskan fenomena alam yang dahsyat; mereka mengajarkan kita untuk selalu terkesima dan menghormati setiap deru napas dari gunung berapi.

Nah, itu dia tujuh mitos Papandayan yang sering beredar di telinga kita. Intinya, mendaki Papandayan bukan cuma soal menaklukkan ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut, tapi juga menaklukkan rasa penasaran dan menghormati cerita-cerita yang hidup di sana. Bawa pulang sampahmu, jaga sikapmu, dan nikmati setiap inci keindahan Papandayan. Ingat, setiap langkah yang kita ambil adalah bagian dari petualangan, dan menghormati mitos adalah cara kita beradaptasi dengan tradisi dan kearifan lokal. Salam lestari dan sampai jumpa di Tegal Alun!