Mengapa Negara Terlalu Sibuk Mengejar Statistik seakan terjebak dalam gagasan Trickle-down effect
DI negara kita, sebagai negara berkembang, kita sering melihat pemerintah gencar mempromosikan keberhasilan melalui angka-angka. Pertumbuhan ekonomi naik sekian persen, tingkat pengangguran turun, inflasi terkendali, nilai tukar menguat, dan sebagainya. Seperti yang sekarang di gaungkan BPS bahwa pertembuhan ekonomi kita naik 5.12 % walaupun indikasi di bawah atau kenyataannya tak menggabarkan semua itu, seperti angka penggangguran berkurang tapi nyatanya ribuan rakyat cari kerja, Setiap pidato kenegaraan, laporan tahunan, atau debat politik hampir selalu dipenuhi dengan deretan data dan statistik makro yang seolah-olah menunjukkan bahwa negara berada di jalur yang benar. Namun, di balik parade angka-angka tersebut, masyarakat bawah tetap saja bergelut dengan realitas yang keras: harga bahan pokok melonjak, lapangan kerja sulit diakses, pendidikan berkualitas mahal, dan pelayanan kesehatan belum menjangkau semua lapisan.
Pertanyaan mendasarnya adalah: mengapa negara begitu terobsesi pada statistik makro ekonomi dan tidak langsung fokus pada kehidupan nyata rakyat kecil? Walaupun Jawabannya tidak sesederhana yang kita tahu. Sistem pemerintahan modern memang dibangun dengan pendekatan yang sangat mengandalkan angka sebagai alat ukur dan alat legitimasi. Angka pertumbuhan ekonomi, misalnya, menjadi indikator utama dalam menentukan apakah sebuah pemerintahan dianggap berhasil atau gagal, baik di mata rakyat maupun dunia internasional. Investor asing tidak tertarik melihat berapa banyak anak yang bisa sekolah, mereka melihat seberapa besar pertumbuhan PDB dan seberapa stabil nilai tukar mata uang. Organisasi internasional seperti IMF dan Bank Dunia juga bekerja dengan kerangka yang serupa. Pemerintah pun akhirnya menyesuaikan diri dengan logika yang sama: selama angka terlihat baik, maka citra pun aman.
Namun, angka-angka itu bisa sangat menyesatkan. Misalnya, pengangguran yang diklaim menurun belum tentu mencerminkan peningkatan kesejahteraan. Banyak orang yang tidak lagi tercatat sebagai pengangguran bukan karena mendapatkan pekerjaan yang layak, melainkan karena mereka berhenti mencari kerja dan akhirnya dikeluarkan dari perhitungan statistik. Pertumbuhan ekonomi pun belum tentu inklusif. Bisa jadi ekonomi tumbuh pesat karena sektor tertentu seperti pertambangan atau keuangan mengalami lonjakan, tetapi manfaatnya tidak dirasakan oleh mayoritas rakyat yang bekerja di sektor informal atau pertanian tradisional.
Selain itu, para pengambil kebijakan seringkali hidup dalam lingkungan yang sangat berbeda dengan rakyat yang mereka layani. Mereka tinggal di kota besar, naik mobil dinas, memiliki akses kesehatan dan pendidikan terbaik, serta menerima laporan dari para staf dan birokrat yang juga hidup dalam realitas yang terpisah dari masyarakat miskin. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan lebih sering didasarkan pada asumsi, dokumen, dan proyeksi, bukan pengalaman langsung di lapangan. Pendekatan top-down ini membuat mereka percaya bahwa jika ekonomi nasional tumbuh, maka rakyat kecil secara otomatis akan merasakan manfaatnya. Ini adalah asumsi lama yang dikenal dengan istilah trickle-down effect — gagasan bahwa kesejahteraan akan "menetes" dari atas ke bawah. Sayangnya, dalam banyak kasus, yang menetes hanyalah sisa-sisa.
Mengapa negara tidak fokus langsung kepada masyarakat bawah? Jawaban lainnya adalah karena rakyat kecil sering tidak terorganisasi dan tidak memiliki kekuatan politik yang besar. Berbeda dengan korporasi besar yang memiliki lobi, koneksi, dan sumber daya untuk mempengaruhi kebijakan, masyarakat miskin sering kali tersebar, diam, dan tidak memiliki saluran yang kuat untuk menyuarakan kepentingannya. Akibatnya, mereka tidak menjadi prioritas, kecuali menjelang pemilu ketika suara mereka dibutuhkan. Ironisnya, setelah pemilu usai, suara mereka kembali tenggelam di antara angka-angka makro yang terus dikumandangkan sebagai bukti keberhasilan.
Pemerintah juga lebih senang memamerkan proyek-proyek besar dan simbol keberhasilan yang bisa dipublikasikan dengan mudah. Bandara baru, jalan tol, jembatan raksasa, dan grafik pertumbuhan PDB jauh lebih mudah dijadikan berita utama dibandingkan program perbaikan gizi balita atau peningkatan pendapatan petani. Padahal, dampak dari proyek-proyek besar itu belum tentu dirasakan langsung oleh masyarakat yang hidup di pelosok desa atau kawasan miskin kota. Dengan kata lain, citra lebih penting daripada substansi.
Akibat dari semua ini adalah munculnya apa yang disebut pertumbuhan ekonomi tanpa keadilan. Ekonomi mungkin tumbuh secara angka, tetapi kesenjangan semakin lebar. Kekayaan menumpuk di segelintir kelompok, sementara jutaan orang tetap hidup dalam kerentanan. Mereka yang bekerja keras di sektor informal tetap sulit menabung, sulit mendapatkan perlindungan sosial, dan tidak memiliki jaminan masa depan. Mereka yang tidak punya akses pendidikan yang layak akan terus tertinggal, menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus.
Jika negara benar-benar ingin membangun dari bawah, maka harus ada perubahan paradigma. Data makro tetap penting, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya penentu arah kebijakan. Pemerintah perlu memperhatikan data mikro dan kondisi riil di masyarakat. Pendekatan berbasis keadilan sosial harus dikedepankan. Alih-alih mengejar pertumbuhan semata, negara seharusnya fokus pada pemerataan, perlindungan sosial, dan pemberdayaan komunitas kecil. Transparansi, partisipasi publik, dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan juga harus diperkuat.
Yang tak kalah penting adalah pendidikan politik bagi rakyat. Masyarakat bawah harus disadarkan bahwa mereka punya kekuatan untuk menuntut perubahan. Mereka harus dilibatkan, didengar, dan diberi ruang untuk menyampaikan suara mereka secara kolektif. Hanya dengan begitu, negara bisa benar-benar menjadi alat bagi seluruh rakyat, bukan hanya untuk kepentingan statistik dan elite semata.
Pada akhirnya, negara bukan sekadar soal angka-angka dalam laporan ekonomi. Negara adalah tentang manusia: tentang bagaimana mereka hidup, makan, bekerja, belajar, dan bermimpi. Selama angka lebih diutamakan daripada kehidupan nyata, maka selama itu pula kita akan terus hidup dalam bayang-bayang kemajuan semu.