Ironi Bobotoh dan stadion yang jarang penuh.
Persib Bandung dikenal sebagai salah satu klub sepak bola terbesar di Indonesia dengan basis pendukung yang sangat masif. Fenomena Bobotoh, sebutan untuk suporter Persib, sering dijadikan contoh loyalitas dan fanatisme publik terhadap klub sepak bola lokal. Bahkan, berbagai survei nasional menunjukkan bahwa jumlah pendukung Persib dapat mencapai jutaan orang, mendominasi hampir seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat. Di media sosial, tagar #Persib dan #Bobotoh sering menempati tren teratas, menandakan antusiasme pendukung yang tinggi. Namun, terdapat ironi yang menggelitik: meski memiliki basis massa yang sangat besar, stadion tempat Persib bertanding sering kali terlihat kosong atau hanya terisi sebagian. Fenomena ini menjadi pertanyaan menarik dalam kajian sosial, budaya, dan manajemen olahraga modern.
Secara statistik, jumlah penggemar Persib di Jawa Barat diperkirakan melebihi 17 juta orang, jika dihitung dari populasi wilayah tersebut dan popularitas klub berdasarkan survei nasional. Persib bahkan pernah dinobatkan sebagai klub dengan jumlah fans terbesar di Liga 1 Indonesia. Namun, kondisi di tribun stadion tidak pernah merepresentasikan angka-angka tersebut. Kapasitas stadion utama Persib, seperti Stadion Si Jalak Harupat yang dapat menampung sekitar 27.000 penonton, jarang sekali terisi penuh, bahkan saat pertandingan penting. Menurut data pertandingan musim 2023, rata-rata jumlah penonton langsung hanya berkisar antara 10.000 hingga 15.000 penonton per pertandingan, angka yang ironis jika dibandingkan dengan jutaan suporter di luar stadion.
Fenomena ini dapat dijelaskan dari beberapa sudut pandang. Dari sisi ekonomi, meskipun fanatisme terhadap Persib sangat tinggi, tidak semua Bobotoh memiliki kemampuan ekonomi untuk membeli tiket dan biaya transportasi, terutama dari daerah-daerah yang jauh seperti Cirebon, Tasikmalaya, atau Sukabumi. Harga tiket pertandingan yang berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 200.000 mungkin tampak terjangkau bagi sebagian orang, tetapi bagi banyak masyarakat kelas pekerja dan pelajar di daerah, pengeluaran tersebut menjadi beban tersendiri. Ditambah lagi biaya perjalanan yang bisa memakan waktu berjam-jam dan ongkos transportasi, menjadikan datang langsung ke stadion sebagai kemewahan tersendiri.
Selain itu, faktor kenyamanan dan keamanan stadion turut berperan besar. Banyak laporan dari penonton yang mengeluhkan fasilitas stadion yang kurang memadai, seperti fasilitas toilet, akses parkir, dan ketertiban pintu masuk. Kejadian gesekan antarsuporter atau kerusuhan kecil juga menimbulkan rasa enggan bagi sebagian Bobotoh untuk hadir langsung. Meskipun berbagai aparat keamanan telah dikerahkan dan sistem pengamanan diperketat, persepsi negatif terhadap potensi kericuhan masih melekat kuat di kalangan penonton umum. Hal ini diperparah oleh beberapa insiden masa lalu yang memperlihatkan bahwa pertandingan Persib diwarnai oleh konflik, baik di dalam maupun luar stadion.
Di era digital, perubahan pola konsumsi hiburan juga memberikan pengaruh signifikan. Banyak Bobotoh memilih menonton pertandingan melalui televisi atau layanan streaming karena lebih praktis, nyaman, dan tidak memerlukan biaya besar. Akses ke informasi pertandingan telah menjadi sangat mudah, sehingga pertandingan dapat dinikmati dari rumah atau bahkan dari ponsel di tempat kerja. Dalam satu survei perilaku konsumen olahraga, lebih dari 60% responden menyatakan lebih memilih menonton pertandingan secara daring daripada datang langsung ke stadion karena alasan kenyamanan dan fleksibilitas. Ini menciptakan paradoks baru: suporter tetap mencintai klubnya, tetapi kecintaan itu tidak diterjemahkan dalam bentuk kehadiran fisik di stadion.
Dari sudut pandang sosiologis, adanya perubahan lanskap budaya suporter juga memiliki pengaruh. Generasi muda Bobotoh kini lebih mengekspresikan dukungan mereka lewat media sosial, konten kreatif, dan komunitas daring. Identitas suporter tidak lagi hanya diukur dari kehadiran di tribun, melainkan dari aktivitas digital, merchandise, hingga keterlibatan dalam diskusi online. Artinya, loyalitas kepada klub telah bergeser bentuk dari fisik ke digital. Fenomena ini dikenal dengan istilah “virtual fandom,” di mana keterlibatan emosional tetap tinggi, tetapi tanpa kehadiran langsung secara massal.
Hal lain yang penting adalah regulasi penyelenggaraan pertandingan yang sering berubah-ubah, termasuk pembatasan jumlah penonton karena alasan keamanan atau kebijakan dari operator liga. Dalam beberapa pertandingan, kuota penonton dibatasi hanya 50 hingga 75 persen dari kapasitas stadion. Bahkan pada pertandingan berisiko tinggi, seperti melawan rival klasik, jumlah penonton sering dibatasi lebih ketat. Hal ini membuat banyak Bobotoh kehilangan kesempatan untuk membeli tiket karena cepat habis, dan akhirnya kembali memilih menonton dari rumah.
Manajemen klub juga memegang peran krusial. Persib memang memiliki dukungan fans yang besar, tetapi strategi pemasaran pertandingan dan pendekatan terhadap suporter perlu diperkuat. Beberapa studi menunjukkan bahwa pengalaman stadion (stadium experience) adalah faktor utama yang mendorong seseorang untuk hadir langsung. Jika pengalaman menonton dianggap kurang nyaman, kurang menghibur, atau tidak aman, maka suporter akan mencari alternatif. Klub-klub besar di dunia biasanya menyediakan berbagai hiburan tambahan seperti fan zone, area anak, penjualan merchandise eksklusif, hingga interaksi langsung dengan pemain. Hal semacam ini masih jarang terlihat dalam pertandingan Persib, sehingga stadion kurang memberi nilai tambah selain pertandingan itu sendiri.
Dari sisi psikologi sosial, rasa keterlibatan kolektif sering muncul ketika ada momen besar, seperti final liga atau pertandingan hidup-mati. Namun, pada pertandingan reguler, semangat untuk hadir langsung menurun. Bobotoh yang tinggal jauh dari kota besar mungkin menunggu momen spesial untuk datang, bukan setiap pekan. Ini membuat stadion terlihat penuh hanya pada pertandingan penting, sementara pertandingan lainnya sepi. Fenomena ini lazim terjadi di banyak klub besar dunia, tetapi terasa lebih kontras bagi Persib karena ekspektasi tingginya jumlah fans.
Adapun data dari Liga Indonesia Baru mencatat bahwa rata-rata tingkat okupansi stadion pada pertandingan Persib hanya sekitar 45% sepanjang musim, kecuali pada pertandingan besar yang bisa mencapai 80% hingga 100%. Ini menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat tetap ada, tetapi bersifat fluktuatif. Ketika tim sedang berada di puncak performa, stadion bisa penuh, tetapi ketika performa menurun, tingkat kehadiran juga ikut menurun. Ini menandakan adanya hubungan erat antara kehadiran penonton dengan prestasi klub saat itu. Bobotoh dikenal kritis dan emosional; ketika tim bermain buruk, kekecewaan ditunjukkan salah satunya dengan absen dari stadion.
Di sisi lain, keterbatasan kapasitas stadion juga menjadi masalah tersendiri. Walaupun Bobotoh jumlahnya jutaan, stadion hanya mampu menampung puluhan ribu penonton. Seandainya pun Bobotoh ingin memenuhi stadion setiap laga, hanya sebagian kecil yang bisa ditampung. Ini menciptakan ilusi bahwa jumlah suporter tidak terlihat sebesar kenyataannya. Volume dukungan besar tersebut tersebar di rumah-rumah, warung kopi, kantor, dan tempat lainnya, sehingga tidak terkonsentrasi pada satu titik fisik. Oleh karena itu, visual kosongnya stadion bukan berarti minim dukungan, melainkan wujud dari keterbatasan fasilitas fisik.
Kebijakan distribusi tiket yang sering kali tidak merata juga menjadi kritik utama. Banyak tiket yang diborong oleh calo, sehingga suporter asli kesulitan membeli tiket dengan harga resmi. Fenomena percaloan telah menjadi permasalahan klasik dunia sepak bola Indonesia. Ketika suporter menghadapi kesulitan mendapat tiket secara adil, lama-kelamaan muncul rasa frustasi dan apatis. Hal ini memperburuk kepercayaan suporter terhadap sistem pertandingan yang dikelola pihak otoritas sepak bola nasional.
Ironi ini memberi pelajaran penting bahwa jumlah besar tidak selalu sejalan dengan keterlihatan fisik. Loyalitas tidak sekadar hadir di stadion, tetapi tergantung banyak faktor sosial, ekonomi, budaya, dan psikologis. Untuk mengatasi fenomena ini, perlu pendekatan lebih inovatif baik dari pihak klub maupun pihak penyelenggara liga. Memperbaiki fasilitas stadion, menekan praktik calo, menghadirkan pengalaman menonton yang nyaman, dan meningkatkan interaksi klub dengan komunitas lokal bisa menjadi solusi jangka panjang. Selain itu, edukasi tentang pentingnya budaya menonton langsung dan penghargaan kepada suporter yang hadir juga dapat mendorong peningkatan okupansi stadion.
Kesimpulannya, fenomena kosongnya stadion ketika Persib bertanding merupakan cerminan kompleksitas sosial dan budaya pendukung sepak bola modern. Bobotoh tetap merupakan kekuatan besar yang mencintai klubnya, namun ekspresi kecintaan itu telah berubah format sesuai zaman. Faktor ekonomi, akses, kenyamanan, keamanan, hingga perubahan gaya hidup digital menjadikan pilihan menonton pertandingan secara daring lebih populer. Persib, sebagai klub kebanggaan Jawa Barat, memiliki tantangan besar untuk menjembatani jurang antara basis dukungan masif dan kehadiran fisik di tribun stadion. Ironi ini sekaligus menjadi peluang untuk berbenah, agar kecintaan jutaan suporter kembali terasa nyata dan bergema, bukan hanya di dunia maya, tetapi juga di tengah riuh rendah stadion yang sesungguhnya.