Carut Marut kota Garut yang Sembrawut

Table of Contents


Garut, sebuah kota kecil di Tatar Pasundan yang sering dijuluki Swiss van Java karena keindahan alamnya, kini tengah menghadapi persoalan serius yang merusak wajahnya sebagai kota yang seharusnya berdaya saing dan nyaman dihuni. Harapan untuk menjadi kota yang tertata rapi, indah, dan modern kian tergerus oleh kenyataan pahit bahwa tata kelola ruang kota Garut berjalan tanpa arah yang jelas, sehingga melahirkan wajah perkotaan yang semrawut, berantakan, dan jauh dari kata ideal. Jika dahulu Garut dikenal sebagai kota berudara sejuk dan asri, kini yang tampak adalah jalan sempit penuh sesak, pedagang kaki lima yang menutup jalur lalu lintas, pasar yang sumpek, sampah berserakan di sudut-sudut kota, kemacetan yang tak kunjung terselesaikan, ruang terbuka hijau yang sangat minim, hingga parkir liar yang menjamur tanpa kendali. Kritik tajam dan pedas atas kondisi ini mutlak diperlukan agar kota ini tidak terus terjebak dalam lingkaran masalah tata ruang yang tak berkesudahan.

Masalah jalan sempit adalah salah satu akar utama yang menimbulkan rantai persoalan lainnya. Di pusat kota Garut, lebar jalan yang terbatas sama sekali tidak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan bermotor yang terus meningkat setiap tahun. Data kepolisian daerah Jawa Barat mencatat bahwa jumlah kendaraan di Kabupaten Garut tumbuh lebih dari 7% per tahun, dengan dominasi sepeda motor. Dengan kondisi jalan yang rata-rata tidak pernah diperlebar sejak puluhan tahun lalu, maka kemacetan menjadi wajah sehari-hari yang tidak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Ironisnya, pelebaran jalan yang seharusnya menjadi prioritas justru terbentur masalah pembebasan lahan, kurangnya perencanaan jangka panjang, serta lemahnya keberanian politik pemerintah daerah dalam mengambil langkah tegas. Akibatnya, lalu lintas Garut menjadi cermin dari kegagalan tata kota: sempit, padat, dan penuh kekacauan.

Di sisi lain, keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang kian menjamur memperparah wajah kota. Sejatinya, PKL adalah bagian dari ekonomi rakyat kecil yang perlu diberdayakan. Namun ketika kehadiran mereka tidak diatur dengan baik, maka yang terjadi adalah penguasaan trotoar, bahu jalan, bahkan badan jalan oleh lapak-lapak darurat yang berjejer semrawut. Kota kehilangan wajah ramah pejalan kaki karena trotoar tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Pemerintah daerah seolah gamang dalam menata PKL karena khawatir berhadapan dengan resistensi sosial, padahal kota-kota lain yang berhasil menata ruang publik justru berangkat dari keberanian mengambil langkah yang tidak populis tetapi strategis untuk jangka panjang. Garut terjebak pada kompromi politik jangka pendek, dan akibatnya wajah kota dibiarkan kusam oleh tenda-tenda liar yang tidak teratur.

Persoalan lain yang mencolok adalah kondisi pasar tradisional yang sumpek dan jauh dari standar kebersihan layak. Pasar yang seharusnya menjadi pusat distribusi ekonomi justru menjadi pusat kemacetan, penumpukan sampah, dan kepadatan luar biasa. Jalan-jalan di sekitar pasar menjadi arena rebutan antara kendaraan, pejalan kaki, dan pedagang. Sampah yang tidak terkelola dengan baik menimbulkan bau menyengat, genangan air kotor, dan beragam masalah kesehatan. Padahal, kota yang sehat dan maju mestinya menata pasar sebagai ruang publik yang bersih, higienis, dan nyaman. Fakta bahwa pasar di Garut masih identik dengan kekumuhan adalah tanda gagalnya tata kelola ruang kota dalam menyediakan fasilitas dasar bagi warganya.

Sampah memang menjadi masalah laten lain yang mencerminkan buruknya manajemen kota. Sudut-sudut jalan utama dipenuhi tumpukan sampah yang tidak terangkut tepat waktu. Sungai-sungai di perkotaan seringkali menjadi tempat pembuangan akhir darurat, mencemari lingkungan dan meningkatkan risiko banjir. Pemerintah daerah seakan hanya sibuk mengurusi penanganan darurat tanpa menyentuh akar masalah, yaitu minimnya kesadaran masyarakat akan kebersihan, lemahnya sistem pengelolaan sampah terpadu, serta kurangnya infrastruktur pendukung seperti tempat pengolahan sampah modern. Di era ketika kota-kota maju berlomba menerapkan konsep smart waste management, Garut masih berkutat pada tumpukan sampah yang dibiarkan menggunung.

Kemacetan lalu lintas menjadi potret lain yang kian membelenggu Garut. Kota ini seolah tidak lagi memiliki jam lengang, karena bahkan di luar jam sibuk sekalipun, antrean kendaraan sudah menjadi hal biasa. Parkir liar menambah beban, dengan kendaraan yang sembarangan berhenti di pinggir jalan tanpa aturan. Hal ini tidak hanya mengurangi kapasitas jalan, tetapi juga menciptakan keruwetan yang berlapis. Ketidakdisiplinan pengguna jalan dipertemukan dengan lemahnya penegakan hukum, sehingga kemacetan seolah menjadi takdir yang harus diterima. Padahal, kemacetan tidak hanya persoalan kenyamanan, melainkan juga berdampak langsung terhadap kerugian ekonomi. Studi Kementerian Perhubungan pernah mengungkapkan bahwa kemacetan di kota-kota menengah Indonesia dapat menyebabkan kerugian hingga miliaran rupiah per hari akibat terbuangnya waktu, energi, dan bahan bakar. Jika dibiarkan, Garut akan semakin jauh tertinggal karena produktivitas warganya tergerus oleh kemacetan.

Minimnya taman kota dan ruang terbuka hijau menambah daftar panjang kegagalan tata kelola ruang Garut. Kota ini nyaris tidak memiliki ruang publik yang representatif untuk warganya berinteraksi, berolahraga, atau sekadar mencari udara segar. Padahal, standar minimal ruang terbuka hijau perkotaan menurut peraturan nasional adalah 30% dari luas wilayah. Fakta di lapangan menunjukkan Garut jauh dari angka tersebut. Akibatnya, anak-anak kehilangan tempat bermain yang aman, remaja tidak memiliki ruang kreatif, dan warga secara umum kehilangan akses pada kualitas lingkungan yang lebih sehat. Kota yang seharusnya menjadi rumah bersama justru terasa menyesakkan karena ruang publik dibiarkan sangat terbatas.

Kondisi ini diperparah oleh tata kota yang terkesan tanpa visi jangka panjang. Pembangunan gedung, pertokoan, dan fasilitas lain sering kali tidak memperhatikan aspek tata ruang, sehingga menimbulkan ketidakteraturan. Drainase buruk menyebabkan genangan air setiap kali hujan deras turun. Jalan rusak dan berlubang di banyak titik menambah penderitaan warga yang sudah lelah dengan macet dan sempitnya jalan. Semua ini memperlihatkan bahwa Garut kehilangan arah dalam mengelola ruang perkotaannya, sehingga yang muncul adalah kota yang berantakan, tidak nyaman, dan jauh dari cita-cita modernisasi.

Kritik tajam terhadap kondisi ini bukan berarti menutup mata terhadap keterbatasan anggaran atau kompleksitas sosial. Namun, kota lain dengan keterbatasan serupa mampu menunjukkan terobosan jika ada keberanian politik, visi yang jelas, serta perencanaan matang. Garut membutuhkan kepemimpinan yang tidak sekadar menjalankan rutinitas birokrasi, melainkan berani memikirkan ulang wajah kota secara radikal. Penataan PKL harus dilakukan dengan tegas namun manusiawi, pasar perlu direvitalisasi dengan standar modern, sampah harus dikelola dengan sistematis, pelebaran jalan dan pembangunan jalur alternatif harus segera direalisasikan, serta taman kota dan ruang terbuka hijau harus menjadi prioritas, bukan sekadar wacana. Tanpa langkah nyata ini, Garut akan terus terjebak dalam siklus masalah yang tidak pernah selesai.

Lebih dari itu, partisipasi warga juga tidak kalah penting. Kota bukanlah hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan rumah bersama yang harus dijaga oleh seluruh penghuninya. Tanpa kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, tidak parkir seenaknya, dan menghargai ruang publik, sebesar apa pun kebijakan pemerintah akan sulit berjalan. Kota yang indah lahir dari budaya warganya yang disiplin, dan inilah pekerjaan rumah besar bagi Garut yang harus dimulai dari pendidikan dasar hingga kampanye publik yang berkelanjutan.

Kesimpulannya, carut-marut tata kelola ruang kota Garut mencerminkan kegagalan perencanaan, lemahnya implementasi kebijakan, dan minimnya partisipasi sosial. Wajah kota yang semrawut, penuh sampah, macet, dan miskin ruang publik adalah bukti nyata bahwa tata ruang tidak sekadar urusan teknis, melainkan persoalan serius yang menentukan kualitas hidup masyarakat. Jika kondisi ini terus dibiarkan, Garut tidak hanya kehilangan identitasnya sebagai kota asri nan indah, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk menjadi kota yang kompetitif di tengah persaingan global. Kritik tajam ini diharapkan menjadi cambuk agar pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama bergerak, menata kembali ruang kota dengan visi yang beradab, manusiawi, dan berkelanjutan. Sebab, masa depan Garut tidak boleh terus dikorbankan oleh tata kota yang amburadul, melainkan harus diperjuangkan agar menjadi rumah bersama yang layak dan membanggakan.