Menelisik Carut-Marut Dalam Sajian Makan Bergizi Gratis

Daftar Isi

 


Ketika cita mulia bertemu realitas yang timpang, maka program kebijakan yang paling ideal pun bisa tampak rapuh. Program “Makan Bergizi Gratis” (MBG) lahir dengan naskah ambisius: menyediakan makanan siap santap yang kaya gizi tanpa biaya bagi siswa, ibu hamil, ibu menyusui, dan kelompok rentan agar ketimpangan gizi dapat dipangkas. Namun, dalam praktiknya sepanjang 2025, keruwetan dan kelemahan struktur operasional serta tata kelola telah memunculkan sederet persoalan mendalam. Kritik bukanlah penolakan tanpa alasan—melainkan panggilan agar kebijakan sebesar ini diperkuat dengan akuntabilitas, transparansi, dan efektivitas.

Program MBG secara resmi digulirkan sejak awal 2025, dengan peningkatan anggaran yang signifikan: dari anggaran awal yang relatif moderat menjadi ratusan triliun rupiah. Dalam laporan pemerintah, jumlah penerima manfaat terus meningkat, dan partisipasi sektor lokal—petani, nelayan, UMKM—diupayakan sebagai bagian dari rantai pasok. Namun, meski secara makro angka-angka tersebut terlihat menjanjikan, kritik terhadap operasional di lapangan makin nyaring terdengar.

Salah satu kritik paling tajam menyasar kualitas dan jenis menu yang sesungguhnya diterima penerima manfaat. Dalam beberapa daerah, laporan menyebut bahwa makanan siap santap—seharusnya fokus utama MBG—digantikan oleh bahan mentah atau camilan yang tidak memadai secara gizi. Sebagai contoh, ada sekolah di Tangerang Selatan yang menerima paket berupa bahan mentah alih-alih makanan siap makan, atau bahkan paket berupa camilan ringan, bukan hidangan utama berimbang. Dalam sejumlah kasus, ditemukan pula makanan instan atau makanan yang mendekati masa kedaluwarsa, bahkan menu yang dikirim sudah basi ketika sampai. Temuan seperti buah berulat dan nasi keras dalam paket yang disebar—sebagaimana dilaporkan oleh anggota legislatif—menjadi simbol kegagalan kontrol mutu yang seharusnya menjadi pilar utama program.

Kegagalan mengawal mutu secara konsisten ini menunjukkan bahwa prosedur teknis—standar mutu gizi, sanitasi dapur, dan pengiriman distribusi—belum sepenuhnya diterapkan secara menyeluruh. Misalnya, hanya sebagian kecil dapur MBG (SPPG) yang diketahui memiliki Sertifikat Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS), padahal sertifikasi tersebut seharusnya menjadi syarat mutlak sebelum dapur dioperasikan. Tanpa sertifikasi yang sehat sebagai persyaratan, maka risiko keracunan dan gangguan kesehatan bagi penerima—terutama anak-anak—tidak bisa diabaikan.

Keracunan massal sejumlah peserta akhirnya menjadi catatan suram dalam perjalanan program ini. Laporan menyebut ribuan siswa yang mengalami gangguan kesehatan setelah mengonsumsi menu MBG di berbagai daerah. Kritik DPR dan kelompok masyarakat sipil menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar insiden individual, melainkan alarm bahwa keamanan pangan, pengawasan, dan prosedur operasional tidak sesuai ekspektasi. Para pengkritik menyoroti bahwa data resmi klaim penyimpangan sangat kecil—sering dikatakan bahwa penyimpangan hanya 0,00017 persen—tapi kenyataan di lapangan menunjukkan kejadian keracunan berjilid. Bila data “penyimpangan” hanya berdasarkan laporan resmi yang terbatas, maka kasus-kasus “di bawah radar” bisa saja jauh lebih banyak.

Masalah keduanya berkaitan dengan ketepatan sasaran dan efisiensi alokasi anggaran. Pendekatan universal—mencakup seluruh siswa atau kelompok rentan—memicu kekhawatiran bahwa sumber daya dialokasikan ke individu yang sebenarnya mampu. Praktik tersebut bisa mengurangi daya beli kebijakan ini untuk menjangkau mereka yang paling membutuhkan. Kritik tidak sedikit menyebut bahwa dana berjuta-juta dibelokkan dari kebutuhan pendidikan lain—misalnya peningkatan sarana sekolah, pelatihan guru, atau program pengayaan siswa—ke porsi konsumsi makanan gratis yang belum tentu berdampak besar jika pelaksananya lemah.

Anggaran MBG untuk 2026 dilaporkan mencapai Rp 335 triliun, yang dikritik sebagai porsi yang sangat besar; bahkan dikatakan mengambil sekitar 40 persen dari total anggaran pendidikan. Alokasi sebesar ini memunculkan pertanyaan serius: apakah prioritas kebijakan pendidikan dan kesejahteraan lain—seperti kualitas guru, sarana fisik sekolah, atau program belajar tambahan—tidak turut terganggu? Apabila sebagian besar anggaran diarahkan ke MBG sementara aspek pokok pendidikan tidak diperkuat, maka pertumbuhan kualitas manusia jangka panjang bisa tercerabut dari pondasi pendidikan yang kuat.

Selain itu, proses pendataan dan verifikasi penerima manfaat masih menjadi titik lemah operasional. Monitoring internal menunjukkan bahwa pendataan dilakukan pada dapur, sekolah, dan rumah tangga, tetapi akurasi data—siapa yang benar-benar butuh, kondisi ekonomi, akses transportasi—belum dipastikan secara independen. Di daerah terpencil, distribusi bahan pangan sering terlambat, rusak, atau tidak sampai sama sekali. Dengan demikian, sekelumit paket tidak sampai ke tangan siswa yang semestinya menerima dalam kondisi baik. Efisiensi rantai distribusi dan logistik menjadi aspek kritis yang kadang terabaikan dalam narasi kebijakan besar.

Selanjutnya, kekurangan regulasi dan tata kelola yang kokoh memperburuk potensi kesalahan. Meski pemerintah telah menetapkan kebijakan MBG, kerangka regulasi yang terkait—termasuk alur tanggung jawab pusat ke daerah, pengawasan teknis kesehatan dan pangan, audit independen—belum diperlengkap secara sistematis. Kajian independen menemukan bahwa belum terdapat instrumen regulasi yang memetakan pembagian fungsi antara pemerintah pusat, daerah, lembaga kesehatan, kementerian pendidikan, dan badan pengawas pangan. Tanpa kerangka yang jelas, koordinasi lintas lembaga menjadi simpang-siur; tanggung jawab pengawasan kadang tidak jelas apakah berada pada Kementerian Kesehatan, BPOM, atau Badan Gizi Nasional.

Akibatnya, praktik di lapangan pun terfragmentasi: dapur lokal mungkin tidak berkoordinasi dengan dinas kesehatan atau BPOM setempat; sekolah hanya menerima paket tanpa ikut mengecek mutu; penerima tidak memiliki saluran aduan efektif di tempat mereka. Sistem pengaduan publik atau mekanisme audit eksternal belum menjangkau semua titik rawan. Komisi independen atau lembaga pengawas tidak selalu diberikan akses penuh untuk meneliti keberhasilan ataupun kegagalan di lapangan. Ketiadaan transparansi informasi—misalnya rincian biaya, laporan audit, atau data hasil evaluasi—membuat akuntabilitas program berada dalam awan misteri. Kritik lembaga pengawas menilai bahwa MBG “cacat dari sektor anggaran, kebijakan teknis, pelaksanaan, hingga pengawasan,” serta bahwa “informasi program tertutup untuk publik.”

Lebih jauh, klaim manfaat ekonomi dan sosial yang dikemukakan pemerintah—misalnya terciptanya lapangan kerja, penyerap produk petani lokal, serta peningkatan kehadiran siswa—belum cukup dibuktikan melalui studi independen yang terbuka. Angka penciptaan lapangan kerja sering disebut mencapai ratusan ribu, dan partisipasi petani UMKM dijadikan narasi kolaboratif. Tetapi sejauh mana efek multiplikator di masyarakat—di daerah terpencil, skala kecil, atau komunitas marginal—masih sulit diukur publik. Apakah semua daerah mendapat manfaat yang sama? Apakah petani lokal benar-benar mendapatkan nilai tambah ataukah terjebak dalam skema pasokan murah? Apakah peningkatan kehadiran siswa berdampak pada prestasi belajar secara signifikan? Tanpa evaluasi independen yang ketat dan publikasi terbuka, narasi manfaat yang indah bisa saja hanyalah ilusi retorik.

Kritik atas MBG juga menyinggung soal ketergantungan bantuan dan kemunduran upaya kemandirian gizi. Ada kekhawatiran bahwa masyarakat—terutama keluarga kurang mampu—bisa menjadi pasif dalam menjaga pola makan seimbang, mengandalkan makanan gratis daripada mengupayakan pemahaman gizi, budidaya pangan lokal, atau diversifikasi konsumsi. Alih-alih membangun kapasitas lokal untuk memastikan kecukupan gizi mandiri, pendekatan konsumsi gratis secara terus-menerus bisa mengurangi insentif keluarga untuk belajar merencanakan pola makan sehat dalam jangka panjang.

Untuk tidak hanya berhenti pada kritik, sejumlah langkah perbaikan dapat diusulkan. Pertama, penyusunan regulasi yang jelas dan komprehensif: harus ada payung hukum yang mengatur pembagian fungsi, mekanisme koordinasi pusat-daerah, dan sasaran prioritas yang konkret. Kedua, penerapan syarat mutlak bagi dapur MBG untuk memiliki sertifikasi kebersihan dan sanitasi (SLHS) sebelum beroperasi, dan audit independen rutin agar mutu dapat dipertahankan. Ketiga, model penerima manfaat perlu diprioritaskan agar program tidak terlalu universal—misalnya lebih memfokuskan pada siswa dari keluarga kurang mampu atau wilayah stunting tinggi—agar sumber daya digunakan secara lebih adil dan efektif. Keempat, sistem pengaduan dan partisipasi masyarakat lokal harus diperkuat agar masyarakat bisa memantau mutu layanan dan melaporkan penyimpangan. Kelima, evaluasi dampak secara independen dan terbuka harus menjadi kewajiban: data efektivitas program terhadap kesehatan, prestasi sekolah, dan ekonomi lokal perlu dipublikasikan secara lengkap agar publik dapat menilai keberhasilan. Keenam, intervensi gizi harus diiringi upaya edukasi keluarga, pelatihan pangan lokal, dan pembentukan sistem pangan lokal agar ketergantungan bantuan tidak menjadi kebiasaan.

Pada akhirnya, kritik atas MBG bukan sekadar provokasi; melainkan penagih janji bahwa pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang mau diuji. Program makan bergizi gratis bisa menjadi warisan kebijakan monumental—jika diteguhkan bersama akuntabilitas dan integritas. Tetapi jika dibiarkan carut-marut tanpa koreksi, maka impian nutrisi gratis bisa berubah menjadi mimpi buruk gizi publik. Jika retorika “gratis bergizi” hanya menjadi slogan kosong, maka rakyat akan merasakan bukan nutrisi, tetapi pahitnya ketidakadilan makanan yang tak benar. Pemerintah, pemangku kepentingan, dan publik harus bersinergi agar setiap suapan dalam MBG menjadi bukti bahwa kebijakan besar bisa dijalankan dengan hati, akal sehat, dan tanggung jawab yang tampak nyata.