Yang perlu dihapus bukan strukturnya, melainkan kebodohan sistemnya.

Daftar Isi


Setiap kali kita frustasi menghadapi birokrasi yang rumit—izin usaha yang berlapis, surat pindah yang harus lewat tiga meja, atau bansos yang tersendat karena prosedur—muncul satu pertanyaan ekstrem: “Bagaimana kalau saja kita hapus tingkat-tingkat pemerintahan seperti kecamatan dan provinsi? Bukankah itu akan memangkas jalur birokrasi dan mempercepat semuanya?”
Gagasannya terdengar heroik. Tapi saya berpendapat: yang perlu dihapus bukan strukturnya, melainkan kebodohan sistemnya.

Indonesia terlalu besar untuk disederhanakan hanya dengan satu bacokan administratif. Menghapus provinsi dan kecamatan mungkin secara kasat mata terlihat efisien—gedung berkurang, pejabat berkurang, anggaran hemat. Tetapi pemerintahan tidak bekerja seperti merapikan folder di komputer. Negara adalah organisme sosial, bukan tabel Excel. Yang kita sebut “lapisan pemerintahan” bukan hanya struktur, tapi juga jaringan koordinasi, identitas lokal, dan jaminan representasi warga.

Coba bayangkan jika kecamatan dihapus. Layanan KTP, nikah, bantuan sosial, konflik warga, dan sebagainya langsung dilempar ke kabupaten/kota. Bukannya lebih cepat, justru akan lebih macet—karena kapasitas kabupaten tidak disiapkan untuk menangani urusan selapis lebih rendah secara langsung. Menghapus provinsi juga tidak serta-merta membuat hubungan pusat-daerah lebih efisien. Justru bisa menciptakan “bottleneck raksasa” di pusat karena semua koordinasi pembangunan lintas wilayah akan menumpuk di level kementerian.

Yang perlu hilang bukan lapisannya, tapi duplikasi prosesnya. Saat ini satu urusan sederhana seperti perizinan usaha sering melewati meja kelurahan, kecamatan, dinas teknis, dan provinsi—bukan karena struktur itu eksis, tapi karena prosesnya dibuat berbelit. Strukturnya sering jadi kambing hitam, padahal masalahnya ada pada prosedur dan pola pikir.

Vietnam sering dipuji karena berhasil “memangkas birokrasi”. Banyak yang mengira mereka meniadakan struktur, padahal yang mereka buang adalah ritual administratif—tanda tangan berlapis, permintaan berkas fisik yang tak perlu, dan syarat-syarat absurd. Mereka membangun sistem one-stop service, di mana warga cukup datang sekali, atau bahkan cukup klik sekali. Struktur pemerintahan tetap ada, tapi prosesnya digulung, bukan levelnya dibunuh.

Jika Indonesia ingin mengikuti jejak itu, digitalisasi pelayanan publik perlu jadi tulang punggung, bukan sekadar dekorasi. Bukan aplikasi yang sekadar menggantikan kertas jadi PDF, tapi sistem terpadu yang memangkas langkah. Transparansi digital akan otomatis membunuh kultur calo, pungli, dan penghambat ad hoc yang sering justru lebih menentukan daripada pejabat formal.

Jadi, menurut saya, solusi bukanlah penghapusan kecamatan dan provinsi, tapi reposisi peran mereka. Biarkan provinsi fokus pada koordinasi antar-daerah, bukan menjadi “gerbang izin”. Biarkan kecamatan berubah menjadi pusat layanan terpadu, bukan sekadar kantor stempel.

Kalau mau hemat anggaran dan mempercepat pelayanan, ada dua langkah ekstrem yang justru lebih masuk akal:

Satukan layanan administratif ke dalam satu platform nasional, seperti Vietnam: urus apapun lewat satu portal, bukan satu dinas satu aplikasi.
Gabungkan jabatan struktural yang tumpang tindih, bukan wilayahnya. Kepala seksi yang hanya tanda tangan dua surat sebulan? Hilangkan. Atau jadi fungsional. Tapi jangan hapus akses warga ke negara hanya demi tampak efisien di atas kertas.
Masyarakat tidak peduli berapa lapis pemerintahan yang ada. Yang mereka pedulikan hanya satu hal: “Kalau saya butuh negara, seberapa cepat negara menjawab?”

Kalau jawabannya hanya bisa diraih setelah melewati tujuh meja, delapan materai, dan sembilan senyum yang penuh birokrasi, maka negara gagal—meski struktur sudah dirapikan.

Jadi, mari berhenti menghapus gedung, dan mulai menghapus prosedur. Karena sesungguhnya birokrasi tidak rumit karena terlalu banyak level. Ia rumit karena terlalu banyak yang merasa penting.