Melacak Akar Mitos: Mengurai Stigma "Orang Sunda Pemalas" dalam Perspektif Sosiokultural dan Data Produktivitas Kontemporer
Stigma yang melekat pada suatu kelompok etnis merupakan fenomena sosial yang kompleks, seringkali berakar lebih dalam pada narasi sejarah dan benturan budaya, alih-alih pada fakta empiris tentang karakter individu. Salah satu stereotip yang masih mengemuka dalam diskursus publik di Indonesia adalah label "pemalas" yang kerap dialamatkan kepada masyarakat Sunda, yang mendiami sebagian besar wilayah Jawa Barat. Untuk membedah anggapan ini, kita perlu menelusurinya melalui lensa historis, filsafat kebudayaan, dan meninjaunya dengan data statistik terkini mengenai etos kerja dan produktivitas regional.
Asal-usul narasi ini, menurut kajian sosiologis dan sejarah, terentang jauh hingga masa kolonial. Dalam catatan-catatan pemerintah Hindia Belanda, masyarakat pribumi sering digambarkan dengan citra yang kontras dengan etos kerja kapitalistik Eropa, yang menekankan akumulasi modal dan produksi tanpa henti. Masyarakat Sunda pada umumnya, yang hidup dalam sistem pertanian *huma* (ladang berpindah) atau sawah tadah hujan, memiliki siklus kerja yang berbeda—padat saat tanam dan panen, namun diselingi masa istirahat yang lebih panjang. Pola hidup yang selaras dengan alam ini, di mata kolonial yang mencari tenaga kerja murah dan patuh untuk perkebunan komersial, diinterpretasikan sebagai "kemalasan" atau keengganan untuk bekerja rodi. Keengganan ini, pada dasarnya, adalah sebuah bentuk resistensi pasif terhadap eksploitasi yang berlebihan, yang kemudian dicap sebagai sikap malas dan tidak ambisius.
Stigma ini diperkuat pula oleh unsur folklor populer, seperti tokoh Si Kabayan, yang meskipun cerdik, sering ditampilkan sebagai sosok yang enggan bekerja keras secara konvensional. Padahal, karakter Kabayan lebih merepresentasikan kearifan lokal dalam menyikapi hidup, di mana kecerdikan dan akal-akalan sering digunakan untuk menghindari kerja yang tidak bermakna atau menindas, sebuah cerminan kritik sosial yang halus. Namun, tokoh ini secara sempit diartikan sebagai validasi bagi stereotip negatif tersebut. Secara filosofis, masyarakat Sunda memiliki prinsip hidup yang berpegang pada konsep *ngaraga cukup* atau "hidup secukupnya," yang mengutamakan keseimbangan, harmoni, dan kebahagiaan sederhana (*cageur, bageur, bener, pinter*—sehat, baik, benar, pandai), ketimbang ambisi materialistik yang berlebihan. Prinsip inilah yang berbenturan dengan etos *protestan* ala Barat yang menjunjung tinggi kerja keras demi kekayaan.
Untuk menimbang validitas stigma ini di era modern, penting untuk melihat data objektif, terutama yang berkaitan dengan kontribusi ekonomi dan produktivitas kerja di wilayah Jawa Barat. Jawa Barat saat ini merupakan salah satu pusat industri manufaktur dan bisnis terbesar di Indonesia, menyumbang angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang signifikan bagi perekonomian nasional. Dengan populasi angkatan kerja yang sangat besar, wilayah ini sejatinya menjadi lokomotif pergerakan ekonomi. Namun, hasil Survei Angkatan Kerja Nasional yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) hingga awal 2025 menunjukkan adanya temuan yang kompleks: tingkat produktivitas per tenaga kerja di Jawa Barat, dihitung berdasarkan nilai PDRB dibagi jumlah pekerja, memang berada di bawah rata-rata nasional. Sebagai contoh, data menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di Jawa Barat berada di kisaran angka puluhan juta rupiah per pekerja per tahun, sebuah nilai yang, meskipun besar, masih di bawah angka rata-rata yang dicapai di tingkat nasional, bahkan di provinsi yang notabene memiliki Upah Minimum Regional (UMR) tertinggi di Indonesia.
Angka produktivitas yang relatif rendah ini, alih-alih menjadi bukti kemalasan etnis, justru membuka pintu untuk analisis struktural yang lebih mendalam. Jawa Barat memiliki konsentrasi industri padat karya dengan gaji yang relatif rendah di sektor manufaktur dan pertanian. Kesejahteraan pekerja, indikator kualitas hidup, dan kondisi lingkungan kerja yang kurang memadai seringkali menjadi pemicu utama rendahnya produktivitas. Studi-studi terkini menunjukkan bahwa tingginya angka pengangguran terbuka dan disparitas pendapatan yang lebar di provinsi ini lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural ekonomi, seperti kurangnya investasi dalam teknologi padat modal, ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan industri, serta kebijakan upah dan jaminan sosial, bukan oleh karakter bawaan pekerja.
Oleh karena itu, menyematkan label "pemalas" kepada seluruh etnis Sunda adalah sebuah *fallacy* sosiologis. Stigma ini adalah residu sejarah yang disederhanakan, yang mengabaikan kompleksitas budaya dan realitas struktural ekonomi kontemporer. Budaya Sunda justru memiliki nilai-nilai yang mendukung etos kerja yang kuat, seperti *silih asih, silih asah, silih asuh* (saling mengasihi, saling mengajari, saling memelihara) yang menekankan pada kolaborasi, harmoni, dan tanggung jawab sosial.
Sebagai kesimpulan, kajian ilmiah populer menegaskan bahwa stereotip "Orang Sunda pemalas" tidak memiliki dasar faktual yang kuat, melainkan terbentuk sebagai konsekuensi dari benturan budaya, kebutuhan agenda kolonial untuk mengontrol tenaga kerja, dan simplifikasi narasi kultural. Meskipun data statistik menunjukkan tantangan dalam hal produktivitas regional yang harus diatasi, akar masalahnya terletak pada faktor-faktor struktural dan kebijakan ekonomi-industri, bukan pada etos individu atau karakteristik etnis. Dengan pemahaman ini, masyarakat umum diajak untuk meninggalkan label yang ahistoris dan diskriminatif, serta melihat masyarakat Sunda sebagai bagian integral dan dinamis dari bangsa, yang terus berkontribusi pada kemajuan negara dengan caranya yang khas, menjunjung tinggi keseimbangan antara kerja keras dan kearifan hidup.
