Ketidakefisienan Program Pengembangan UMKM yang Gagal Menyentuh Akar Masalah
Dalam dua dekade terakhir, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah diakui sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, sektor ini menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja. Namun, di balik angka yang menawan itu, terselip ironi yang tak terbantahkan: berbagai program pemerintah yang digadang-gadang untuk memperkuat UMKM justru sering kali tidak efisien, tidak tepat sasaran, dan bahkan terjebak dalam ritual seremonial yang hampa makna.
Masalah utama terletak pada perencanaan program yang tidak berbasis data akurat. Banyak kegiatan, baik yang diselenggarakan oleh kementerian, lembaga non-struktural, maupun pemerintah daerah, dilaksanakan tanpa riset kebutuhan yang jelas. Akibatnya, jenis bantuan dan bentuk intervensi sering kali tidak sesuai dengan kondisi riil pelaku UMKM di lapangan. Sebagai contoh, banyak program pelatihan kewirausahaan yang diberikan kepada pelaku usaha mikro di daerah yang bahkan belum memiliki peralatan produksi memadai. Di sisi lain, pelaku usaha yang telah mapan dan siap naik kelas justru kesulitan mengakses pembiayaan murah dan pasar yang lebih luas. Ketidaksesuaian antara kebutuhan dan intervensi inilah yang menjadi akar dari ketidakefisienan struktural dalam program pengembangan UMKM.
Dalam banyak kasus, pelatihan-pelatihan yang diklaim sebagai bentuk pemberdayaan hanyalah formalitas administratif. Modul pelatihannya berulang, materinya generik, dan sering kali tidak terkait langsung dengan kebutuhan sektor usaha peserta. Tidak sedikit pelaku UMKM yang mengaku sudah mengikuti berbagai pelatihan dari instansi berbeda namun belum pernah merasakan manfaat nyata. Pelatihan tersebut biasanya berlangsung selama dua hingga tiga hari, di hotel-hotel daerah, lengkap dengan spanduk besar, dokumentasi foto, dan laporan kegiatan yang rapi. Namun setelah acara selesai, tidak ada tindak lanjut, pendampingan, atau pengukuran hasil. Program semacam ini sejatinya hanya menjadi ajang seremonial yang menyerap anggaran besar tanpa menghasilkan dampak ekonomi berarti.
Data Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, efisiensi penggunaan anggaran di berbagai program pemberdayaan UMKM cenderung rendah. Laporan evaluasi anggaran tahun 2023 mengindikasikan bahwa sebagian besar dana terserap untuk biaya administrasi, honorarium, dan kegiatan non-produktif seperti pameran dan pelatihan. Ironisnya, proporsi anggaran yang benar-benar sampai kepada pelaku UMKM dalam bentuk bantuan modal atau fasilitas produksi relatif kecil, kurang dari 30%. Ini berarti sebagian besar energi dan dana negara habis pada proses yang tidak menambah nilai bagi pelaku usaha.
Pameran produk UMKM yang marak digelar di berbagai daerah pun menghadapi persoalan serupa. Pameran yang dimaksudkan untuk membuka akses pasar sering kali gagal menarik pembeli potensial. Kegiatan itu lebih sering dihadiri oleh sesama pelaku UMKM dan pejabat lokal ketimbang pembeli atau investor nyata. Produk yang dipamerkan beragam tetapi tanpa kurasi mutu dan diferensiasi pasar yang jelas. Dalam konteks ini, pameran bukan menjadi jembatan pasar, melainkan sekadar panggung simbolik untuk menunjukkan “keseriusan” pemerintah membina UMKM, padahal substansinya nihil.
Ketidakefisienan tersebut juga disebabkan oleh lemahnya koordinasi antarinstansi. Banyak kementerian, lembaga, dan dinas daerah memiliki program pengembangan UMKM masing-masing tanpa integrasi dan sinkronisasi. Akibatnya, terjadi tumpang tindih program, bahkan dalam satu wilayah yang sama. Satu kelompok usaha bisa menerima pelatihan dari tiga lembaga berbeda dengan isi yang hampir sama, sementara kelompok lain tidak mendapatkan perhatian sama sekali. Fragmentasi kebijakan ini bukan hanya menimbulkan pemborosan, tetapi juga memperlemah dampak kumulatif dari program pemberdayaan.
Pelaku UMKM sebenarnya memiliki kebutuhan yang relatif sederhana: akses terhadap modal, bahan baku, teknologi, dan pasar. Namun, justru pada aspek-aspek inilah program pemerintah kerap absen. Banyak pelaku usaha kesulitan memperoleh pembiayaan karena tidak memiliki agunan atau rekam jejak kredit yang formal. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) memang membantu sebagian, tetapi proses administrasinya sering kali tidak ramah bagi pelaku mikro di pedesaan. Di sisi lain, akses pasar pun tetap menjadi hambatan besar. Produk-produk lokal yang berkualitas sering tidak mampu menembus rantai pasok modern karena minim dukungan promosi digital, kemasan yang tidak standar, serta keterbatasan distribusi.
Pada titik ini, ketidakefisienan program UMKM tidak hanya mencerminkan kelemahan administratif, tetapi juga menunjukkan persoalan paradigma. Pemerintah masih sering melihat pemberdayaan UMKM sebagai agenda proyek, bukan proses pembangunan ekonomi jangka panjang. Ketika pendekatan proyek mendominasi, maka ukuran keberhasilan menjadi kuantitatif—berapa banyak pelatihan digelar, berapa peserta hadir, dan berapa dana terserap—bukan kualitatif, seperti peningkatan omzet, produktivitas, atau daya saing pelaku usaha. Akibatnya, banyak program berhenti di laporan, bukan pada hasil nyata di lapangan.
Lebih jauh lagi, ketidakefisienan ini menandakan lemahnya sistem monitoring dan evaluasi. Hampir tidak ada mekanisme pengukuran dampak jangka panjang terhadap penerima program. Tidak ada data akurat tentang berapa persen pelaku UMKM yang benar-benar berkembang setelah mengikuti pelatihan atau menerima bantuan. Padahal, tanpa data berbasis hasil, kebijakan berikutnya hanya akan mengulang kesalahan yang sama. Ketika data sekadar menjadi pelengkap laporan, bukan dasar perencanaan, maka setiap program hanya menjadi kembang api: indah sesaat, tetapi cepat padam.
Dampak dari situasi ini bukan hanya pada pemborosan anggaran, tetapi juga pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Banyak pelaku UMKM kini memandang program pemerintah dengan skeptis. Mereka mengikuti pelatihan hanya demi sertifikat atau konsumsi gratis, bukan karena percaya akan manfaatnya. Dalam jangka panjang, kondisi ini menciptakan budaya ketergantungan dan pasifisme, di mana pelaku usaha menunggu bantuan alih-alih berinovasi dan berkembang secara mandiri.
Sebaliknya, berbagai studi menunjukkan bahwa ketika intervensi difokuskan pada kebutuhan nyata—seperti permodalan mikro berbunga rendah, akses ke e-commerce, dan pendampingan produksi—hasilnya jauh lebih signifikan. Program-program yang melibatkan data lapangan, kolaborasi dengan komunitas lokal, dan pelibatan swasta biasanya menghasilkan pertumbuhan omzet dan lapangan kerja yang nyata. Sayangnya, model seperti ini masih menjadi pengecualian, bukan kebiasaan.
Jika efisiensi menjadi ukuran utama, maka pembenahan sistemik harus dimulai dari desain kebijakan. Program pengembangan UMKM perlu berbasis pada peta data yang valid, baik mengenai jenis usaha, lokasi, kapasitas produksi, maupun kebutuhan spesifik tiap sektor. Selain itu, sinergi antarinstansi harus diperkuat untuk menghindari tumpang tindih. Pemerintah daerah harus memiliki peran lebih besar sebagai penghubung antara pelaku usaha dan lembaga pembiayaan, bukan sekadar pelaksana kegiatan seremonial.
Lebih penting lagi, pendekatan pembangunan UMKM perlu bergeser dari “pelatihan” menuju “pendampingan”. Pendampingan jangka panjang yang berbasis hasil nyata jauh lebih efektif daripada pelatihan dua hari yang hanya menghasilkan foto dan laporan. Pendampingan memungkinkan adaptasi, evaluasi berkelanjutan, serta membangun kepercayaan antara pelaku usaha dan pembina. Di sinilah peran universitas, koperasi, dan lembaga keuangan mikro dapat menjadi mitra strategis pemerintah.
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan ekonomi global, UMKM Indonesia menghadapi tantangan sekaligus peluang besar. Tanpa intervensi yang efisien dan tepat sasaran, pelaku usaha mikro akan terus terjebak pada ekonomi subsisten, jauh dari cita-cita menjadi penopang ekonomi yang berdaya saing tinggi. Maka, reformasi dalam desain dan pelaksanaan program UMKM bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Negara tidak boleh terus menutup mata terhadap kebocoran anggaran dan ketidakefektifan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak birokratis.
Pada akhirnya, pembangunan ekonomi bukanlah tentang seberapa megah acara pelatihan atau pameran digelar, melainkan seberapa banyak pelaku kecil yang benar-benar berdaya. Ketika program pemerintah berhenti menjadi proyek dan berubah menjadi proses pemberdayaan sejati, barulah kita bisa mengatakan bahwa negara hadir untuk rakyat kecil, bukan untuk laporan dan foto di media sosial. Hingga saat itu tiba, UMKM akan tetap menjadi korban dari ironi pembangunan—dipuji sebagai pahlawan ekonomi, tetapi ditinggalkan dalam kesunyian kebijakan yang seremonial.