Dominasi Pesantren di Pulau Jawa dan Dinamika Pemerataan Pendidikan Islam di Indonesia

Daftar Isi


Data Kementerian Agama per September 2025 mencatat jumlah pondok pesantren di Indonesia telah mencapai 42.391 unit yang tersebar di seluruh 34 provinsi. Angka ini bukan hanya menggambarkan besarnya peran pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tetapi juga menunjukkan bagaimana ia telah menjadi salah satu pilar sosial dan kultural bangsa. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga membentuk karakter, solidaritas sosial, serta kemampuan adaptasi generasi muda terhadap perubahan zaman. Namun, di balik pertumbuhan jumlah yang mengesankan, terselip sebuah pola sebaran yang timpang. Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah pesantren terbanyak, yakni 12.977 atau sekitar 30,6% dari total nasional, disusul Jawa Timur dengan 7.347 pesantren dan Banten dengan 6.776. Jika ketiganya dijumlahkan, lebih dari setengah pesantren di Indonesia berada di Pulau Jawa. Fenomena ini menegaskan bahwa pusat gravitasi pendidikan Islam di Indonesia masih bertumpu pada wilayah yang sama sejak ratusan tahun lalu.

Konsentrasi pesantren di Pulau Jawa dapat ditelusuri melalui dua jejak utama: sejarah dan demografi. Sejak masa Walisongo, tradisi keilmuan Islam tumbuh pesat di pesisir utara Jawa, kemudian meluas ke pedalaman dan melahirkan sistem pendidikan berbasis asrama yang kini dikenal sebagai pesantren. Pola transmisi keilmuan berlangsung secara turun-temurun, membentuk jaringan kultural yang kukuh dan saling memperkuat. Pada saat yang sama, Pulau Jawa merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Permintaan terhadap pendidikan berbasis agama lebih tinggi di daerah padat penduduk, sehingga kehadiran pesantren tumbuh mengikuti kebutuhan masyarakat. Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan ini diperkuat oleh urbanisasi dan modernisasi yang memunculkan kelompok masyarakat baru: mereka yang menginginkan pendidikan agama kuat tanpa meninggalkan akses terhadap ilmu umum dan teknologi. Maka lahirlah pesantren modern yang menyatukan kitab kuning dan sains, halaqah dan laboratorium.

Meskipun demikian, dominasi Jawa menimbulkan konsekuensi lanjutan yang patut dicermati. Di luar Jawa, khususnya di wilayah timur Indonesia, jumlah pesantren masih relatif sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Muslim di wilayah tersebut. Ketimpangan ini dapat berimplikasi pada kesenjangan kualitas sumber daya manusia, terutama dalam hal literasi keagamaan dan pembentukan nilai-nilai sosial berbasis kearifan lokal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pesantren memiliki peran signifikan dalam mengurangi kenakalan remaja, memperkuat ketahanan keluarga, dan menumbuhkan ekonomi mikro melalui pelatihan kewirausahaan santri. Dengan kata lain, keberadaan pesantren tidak hanya menyentuh ranah pendidikan, tetapi juga kesejahteraan sosial. Maka pertanyaan mendesak yang perlu diajukan adalah: bagaimana memperluas manfaat pesantren secara merata tanpa merusak karakter khasnya?

Pemerintah sebenarnya telah meluncurkan berbagai program afirmasi untuk pesantren di luar Jawa, baik melalui bantuan operasional, program pemberdayaan ekonomi, maupun pelatihan kurikulum terpadu. Namun, sebagian besar pesantren masih menghadapi tantangan klasik: keterbatasan infrastruktur, kurangnya tenaga pengajar terlatih, dan akses minim terhadap teknologi. Sebuah pesantren di daerah terpencil mungkin hanya memiliki bangunan sederhana dan pengajar yang merangkap sebagai petani, sementara pesantren di kota besar telah memiliki gedung bertingkat, laboratorium bahasa, hingga platform digital pembelajaran daring. Ketimpangan ini bukan sekadar soal fisik, melainkan juga menyangkut kecepatan adaptasi terhadap perkembangan zaman. Ketika sebagian pesantren telah mencetak santri yang mampu berbicara tiga bahasa dan menguasai kecerdasan buatan, sebagian lainnya masih berjuang memahami materi pembelajaran berbasis kurikulum nasional.

Namun, tidak adil jika pemerataan hanya dipahami sebagai penyebaran fisik lembaga ke seluruh daerah. Pemerataan sesungguhnya adalah bagaimana menciptakan ekosistem yang memungkinkan setiap pesantren, di mana pun letaknya, mampu bertahan dan berkembang. Beberapa model kolaborasi menunjukkan hasil menggembirakan. Pesantren besar di Jawa mulai menjalin kemitraan dengan pesantren kecil di luar Jawa untuk program pertukaran santri dan pelatihan guru. Ada pula program pendampingan ekonomi yang menghubungkan pesantren dengan dunia industri, sehingga santri dapat belajar kewirausahaan berbasis kebutuhan lokal. Di berbagai daerah, santri telah menjadi motor penggerak pertanian organik, energi terbarukan, hingga pengembangan literasi digital melalui komunitas dakwah kreatif di media sosial.

Di tengah dinamika tersebut, masyarakat Indonesia kini dihadapkan pada peluang emas: menyatukan keunggulan tradisi pesantren dengan potensi inovasi masa kini. Pesantren klasik telah terbukti mampu membentuk pribadi yang tawaduk, mandiri, dan tahan banting. Pesantren modern membawa semangat keterbukaan, teknologi, dan kemandirian ekonomi. Jika keduanya saling bertemu, bukan tidak mungkin Indonesia melahirkan generasi ulama teknokrat, kiai ekonom, atau santri ilmuwan yang mampu menjembatani dunia spiritual dan dunia praktis. Namun semua itu baru mungkin terjadi jika potensi besar di Pulau Jawa tidak dibiarkan menjadi eksklusif, melainkan ditransformasikan menjadi sumber inspirasi dan dukungan bagi seluruh wilayah.

Apakah berarti Jawa harus mengurangi jumlah pesantrennya? Tentu tidak. Justru yang dibutuhkan adalah membuka akses jejaring, memperkuat solidaritas antarwilayah, dan mendesain program afirmatif yang tidak birokratis tetapi benar-benar menyentuh kebutuhan lapangan. Pemerintah daerah, ormas keagamaan, dan masyarakat sipil memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan simpul peradaban. Jika peradaban itu hanya tumbuh subur di satu pulau, maka kekuatan bangsa pun timpang.

Masa depan pendidikan Islam di Indonesia tidak ditentukan oleh jumlah pesantren semata, tetapi oleh seberapa mampu kita menjadikan pesantren sebagai ruang tumbuhnya manusia-manusia berkarakter dan berdaya saing. Data sebanyak 42.391 pesantren harus dibaca bukan sebagai kebanggaan statistik belaka, melainkan sebagai amanah. Di sanalah jutaan anak muda sedang ditempa untuk menjadi pemimpin masa depan. Sebagian dari mereka mungkin kini sedang mengaji di langgar sederhana dengan atap bocor. Sebagian lainnya mungkin sedang mengikuti kelas pemrograman di ruang berpendingin udara. Dua dunia yang berbeda ini mestinya tidak dipertentangkan, tetapi dijembatani. Jika kesenjangan itu berhasil dipersempit, maka pesantren bukan hanya akan menjadi penjaga moral bangsa, tetapi juga motor kemajuan bangsa.

Indonesia pernah membuktikan bahwa pesantren mampu bertahan melewati era kolonialisme, modernisasi, hingga digitalisasi. Kini tantangannya bukan lagi bertahan, melainkan melompat lebih jauh. Maka tugas kita bersama adalah memastikan bahwa lompatan itu tidak hanya dilakukan oleh pesantren di Jawa, tetapi juga di Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Papua. Sebab sebuah bangsa tidak akan tegak hanya dengan satu tiang, sekuat apa pun tiang itu. Yang membuatnya kokoh adalah kesetaraan pijakan tempat seluruh tiang berdiri. Pesantren adalah salah satu tiang itu. Dan sudah saatnya seluruh wilayah Indonesia merasakan kekuatannya secara seimbang.