Nasib Umkm di negri Konoha

Daftar Isi


Program pelatihan bagi pelaku UMKM di Indonesia kerap digembar-gemborkan sebagai upaya “pemberdayaan ekonomi rakyat”. Namun di balik narasi mulia itu, tersembunyi kenyataan getir: sebagian besar program tersebut justru menjadi ladang pemborosan anggaran dan alat pencitraan birokrasi. Dana publik menguap dalam bentuk acara di hotel, konsumsi mewah, dokumentasi, dan seminar penuh jargon — sementara akar masalah UMKM, seperti modal usaha, pendampingan, dan akses pasar, justru tak tersentuh.

Fenomena ini memperlihatkan wajah ironis dari kebijakan ekonomi rakyat. Banyak pelatihan hanya sebatas seremoni, bukan intervensi nyata. Peserta diberi materi umum seperti “branding” atau “strategi pemasaran digital”, lalu pulang tanpa pendampingan lanjutan. Tidak ada pengukuran dampak, tidak ada peningkatan omzet, bahkan sebagian peserta tidak pernah mempraktikkan isi pelatihan. Para pelatih dan pejabat berlomba tampil di depan kamera, sementara pelaku usaha di lapangan tetap berjuang sendirian menghadapi biaya bahan baku, penurunan daya beli, dan kesulitan akses modal.

Lebih ironis lagi, peserta pelatihan sering kali hanya mereka yang “itu-itu saja” — orang yang sudah dekat dengan dinas atau pandai berbicara. Mereka berpindah dari satu acara ke acara lain, menikmati fasilitas dan sertifikat, tanpa benar-benar membangun usaha produktif. Di sisi lain, pelaku usaha kecil di pelosok nyaris tak tersentuh informasi. Akibatnya, UMKM besar di kota makin kuat, sedangkan UMKM kecil di daerah makin tersingkir dan akhirnya mati perlahan.

Masalah mendasar lain terletak pada lemahnya basis data dan sistem pemantauan. Tanpa data akurat, program tidak tepat sasaran dan rawan tumpang tindih. Banyak daerah hanya menjalankan kegiatan demi penyerapan anggaran, bukan berdasarkan kebutuhan nyata lapangan. Maka lahirlah pola pikir semu: semakin banyak pelatihan, dianggap semakin berhasil. Padahal, yang sesungguhnya meningkat hanyalah laporan kegiatan, bukan kualitas hidup pelaku UMKM.

Kritik paling tajam seharusnya diarahkan pada cara pandang pemerintah: pelatihan tidak bisa menggantikan pendampingan dan akses modal. Pelaku UMKM tidak butuh teori manis atau motivasi semu, mereka butuh pasar, peralatan, bahan baku, dan kemudahan perizinan. Selama orientasi masih pada kegiatan seremonial, pemberdayaan hanyalah nama indah bagi eksploitasi halus — di mana UMKM dijadikan simbol kesuksesan semu dan sapi perah bagi anggaran.

Akar permasalahannya jelas: program dirancang dari atas ke bawah tanpa memahami denyut ekonomi rakyat. Dana habis di meja rapat dan ruang hotel, bukan di bengkel kecil dan kios pasar. Pemberdayaan sejati seharusnya lahir dari lapangan, dengan data yang jujur, pendampingan yang nyata, serta kebijakan yang menumbuhkan daya tahan ekonomi lokal. Tanpa perubahan paradigma ini, pelatihan UMKM akan terus menjadi pepesan kosong — gemerlap di luar, hampa di dalam