Memacu Revolusi Hijau untuk Menyingkap Potensi Emas Pertanian Garut Melalui Tata Kelola Berkelanjutan
Kabupaten Garut, sebuah lanskap agraris yang terhampar di jantung Jawa Barat, telah lama dikenal sebagai lumbung pangan dengan kekayaan komoditas yang melimpah. Potensi ini bukan sekadar narasi geografis, melainkan fondasi ekonomi riil yang, bila dikelola dengan strategi adaptif dan progresif, mampu bertransformasi menjadi pilar utama kesejahteraan daerah dan kontributor signifikan bagi ketahanan pangan nasional. Sektor pertanian di Garut bahkan tercatat konsisten memberikan kontribusi tertinggi pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten, menembus angka di atas 30% pada tahun-tahun terakhir, sebuah indikator kuat betapa vitalnya denyut nadi pertanian bagi daerah ini.
Kekuatan utama Garut terletak pada diversifikasi komoditas yang didukung oleh kondisi agroklimat yang ideal, mulai dari dataran rendah hingga kawasan pegunungan. Pada subsektor tanaman pangan, padi tetap menjadi primadona dengan target produksi yang ambisius. Data resmi menunjukkan bahwa target produksi Gabah Kering Panen (GKP) Kabupaten Garut terus ditingkatkan, mencapai lebih dari 816 ribu ton pada tahun 2025. Angka ini merupakan lompatan optimis dari capaian tahun sebelumnya, yang menunjukkan adanya kepercayaan diri dalam optimalisasi lahan sawah produktif seluas puluhan ribu hektare dan pemanfaatan lahan tadah hujan. Keberhasilan mencapai, bahkan melampaui, target produksi padi pada tahun-tahun sebelumnya, meskipun dihadapkan pada tantangan cuaca ekstrem, menegaskan resiliensi sistem pertanian Garut.
Namun, potensi emas Garut jauh melampaui padi. Subsektor hortikultura, khususnya sayuran dan biofarmaka, menampilkan superioritas produksi yang jarang tertandingi. Berbagai penelitian terkini menempatkan Garut sebagai daerah sentra untuk komoditas strategis. Hasil analisis menunjukkan bahwa komoditas seperti kentang, cabai besar, cabai rawit, kubis, dan bawang merah memiliki keunggulan komparatif produksi yang sangat menonjol. Sebagai contoh nyata, bawang merah dari Garut memberikan kontribusi signifikan, yaitu hampir seperlima dari total produksi bawang merah di tingkat Jawa Barat, dengan lahan panen yang terkonsentrasi di kecamatan-kecamatan sentra. Sementara itu, kentang juga menjadi komoditas unggulan dengan target produksi yang diproyeksikan mencapai lebih dari 171 ribu ton pada tahun 2025. Keunggulan ini diperkuat pula oleh prospek pengembangan komoditas biofarmaka seperti jahe, kunyit, dan lempuyang, yang kian dicari seiring meningkatnya kesadaran akan kesehatan.
Transformasi sejati pertanian Garut tidak terletak pada volume panen semata, melainkan pada kualitas tata kelola pasca-panen, penguatan kelembagaan petani, dan penetrasi hilirisasi. Fluktuasi harga dan produksi, khususnya pada komoditas seperti cabai dan bawang merah, sering kali menjadi tantangan yang berulang, mengancam pendapatan petani. Di sinilah peran tata kelola yang baik menjadi krusial. Pendekatan berkelanjutan menuntut pergeseran fokus dari sekadar on-farm (budidaya) menuju integrasi off-farm (pengolahan dan pemasaran).
Langkah progresif yang perlu diakselerasi adalah penguatan rantai nilai melalui kemitraan agribisnis. Model koperasi agribisnis yang sukses di Garut telah terbukti mampu memutus rantai ketergantungan petani pada tengkulak, memberikan akses modal, dan memfasilitasi adopsi teknologi tepat guna, termasuk pengembangan agroindustri. Pemberdayaan petani kecil dan keterlibatan generasi milenial dalam pertanian digital dan pengolahan hasil menjadi kunci untuk memastikan regenerasi dan keberlanjutan sektor. Selain itu, upaya modernisasi tidak hanya menyentuh proses budidaya, tetapi juga mencakup inovasi produk. Visi untuk melakukan hilirisasi produk peternakan, misalnya, dari hasil kurban menjadi daging kalengan dengan potensi suplai regional dan nasional, menunjukkan adanya kesadaran untuk menciptakan nilai tambah yang jauh lebih tinggi.
Data terbaru dari Survei Pertanian Nasional menggarisbawahi besarnya jumlah unit usaha pertanian di Garut, yang mayoritas bergerak di tanaman pangan dan hortikultura. Namun, tingginya angka unit usaha ini belum sepenuhnya sejalan dengan tingkat kesejahteraan petani yang masih menghadapi tekanan pendapatan rendah. Oleh karena itu, investasi dalam Sumber Daya Manusia (SDM), terutama melalui pendidikan kejuruan agribisnis pengolahan hasil, menjadi imperatif. Sinkronisasi kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja, terutama di subsektor industri pengolahan, akan memastikan bahwa lulusan memiliki kompetensi yang relevan untuk menggerakkan inovasi dan industrialisasi hasil pertanian daerah.
Pada akhirnya, masa depan gemilang pertanian Garut terletak pada sinergi multisektor. Strategi pengelolaan yang adaptif harus mencakup optimalisasi lahan melalui praktik agroforestri, pemanfaatan teknologi informasi untuk manajemen pasokan dan harga, serta penguatan kelembagaan petani dalam skema kemitraan yang transparan dan adil. Dengan komitmen kolektif dari pemerintah daerah, pelaku usaha, dan petani, potensi agraris Garut tidak hanya akan menjadi penopang ekonomi lokal, tetapi juga menjadi model percontohan keberhasilan tata kelola pertanian berkelanjutan di Indonesia, mengubah komoditas unggulan daerah menjadi produk unggulan nasional yang berdaya saing global. Transformasi ini menjanjikan revolusi hijau kedua yang akan membawa kesejahteraan merata bagi seluruh masyarakat Garut.
