Masalah Sampah di Garut siapa yang harus tanggung jawab?

Daftar Isi


Permasalahan sampah telah lama bertransformasi dari sekadar isu kebersihan menjadi cerminan nyata dari kegagalan sistemik dalam tata kelola ruang publik, dan fenomena ini tampak begitu kentara di Kabupaten Garut. Di tengah pesona alam dan dinamika kehidupan kotanya, sebuah ironi menyelimuti: tumpukan sampah liar yang kerap menghiasi pinggir jalan dan area publik, seolah menjadi monumen kemalasan kolektif. Namun, menunjuk jari kesalahan pada masyarakat semata adalah bentuk penyederhanaan yang meremehkan kompleksitas masalah. Kajian mendalam menunjukkan bahwa akar utama dari perilaku buang sampah sembarangan (BSS) oleh warga Garut, terutama di ruang terbuka, secara signifikan terhubung dengan defisit akut fasilitas tempat sampah yang memadai—sebuah kelalaian struktural yang menciptakan lingkaran setan ekologis.

Data statistik resmi hingga tahun 2025 melukiskan gambaran yang mencemaskan mengenai kapasitas pengelolaan sampah di wilayah ini. Terungkap bahwa layanan pengangkutan sampah terpadu baru dapat menjangkau kurang dari sepertiga (sekitar 33%) dari total kecamatan di Garut. Angka ini secara implisit menunjukkan bahwa mayoritas wilayah, termasuk titik-titik vital di sepanjang jalur lalu lintas dan pusat keramaian, mengalami kelangkaan fasilitas sanitasi publik. Bayangkan seorang warga yang berjalan kaki atau pengguna jalan yang ingin membuang sehelai bungkus makanan; ketika puluhan hingga ratusan meter ia tak menemukan satu pun tempat sampah yang representatif, daya tahan etika lingkungannya perlahan terkikis, terdesak oleh pragmatisme sesaat. Kelangkaan ini bukan sekadar hilangnya wadah, melainkan representasi dari terputusnya mata rantai antara niat baik warga untuk menjaga kebersihan dan sarana prasarana yang seharusnya disediakan oleh otoritas.

Penelitian terkini dalam ilmu perilaku lingkungan menegaskan adanya korelasi kuat antara kepadatan fasilitas tempat sampah (FTS) dengan tingkat kepatuhan masyarakat dalam membuang sampah pada tempatnya. Di kawasan perkotaan yang padat, rasio ideal FTS per kapita atau per meter persegi area publik seringkali gagal dipenuhi di Garut. Fasilitas yang tersedia pun seringkali tidak memenuhi standar ergonomi dan estetika, terbuat dari material yang ringkih, atau bahkan sudah rusak, membuatnya tidak menarik untuk digunakan. Ketidaktersediaan ini diperparah dengan volume sampah harian yang dihasilkan oleh masyarakat Garut, yang ditaksir mencapai ratusan ton per hari—jumlah besar yang tidak seimbang dengan kapasitas armada pengangkut yang terbatas, di mana kebutuhan truk angkut ideal jauh melampaui unit yang tersedia. Disparitas antara timbulan sampah masif dan sarana prasarana yang minimalis ini menjadi katalisator bagi terbentuknya "tempat sampah ilegal" yang tumbuh subur di lokasi-lokasi yang seharusnya steril dari sampah.

Dalam konteks sosiologi perkotaan, masalah ini menyentuh ranah ekologi publik dan teori Broken Windows. Ketika warga secara konsisten melihat pinggir jalan dan tempat umum dipenuhi sampah liar, pesan yang tersampaikan kepada mereka adalah bahwa lingkungan tersebut "sudah kotor" dan pelanggaran norma kebersihan tidak akan berkonsekuensi. Ini menurunkan ambang batas perilaku BSS. Sebaliknya, ketika fasilitas disediakan secara memadai, bersih, dan mudah diakses, hal itu menjadi sebuah pengingat visual (cue) yang efektif, menstimulasi warga untuk bertindak benar. Oleh karena itu, kurangnya fasilitas adalah kegagalan komunikasi non-verbal dari pemerintah daerah kepada masyarakat tentang pentingnya tata ruang yang bersih.

Pertanyaannya kemudian mengerucut: siapa yang salah? Menggunakan kacamata akademik yang komprehensif, tidak ada entitas tunggal yang dapat dibebani kesalahan secara absolut; ini adalah masalah tripartit yang melibatkan kegagalan struktural pemerintah, tantangan kesadaran kolektif masyarakat, dan keterbatasan sektor swasta.

Di satu sisi, pemerintah daerah memegang tanggung jawab utama (pemegang mandat) untuk menyediakan infrastruktur dasar publik, termasuk fasilitas sanitasi. Kegagalan dalam perencanaan tata ruang, alokasi anggaran yang belum memadai untuk pengadaan dan pemeliharaan FTS, serta keterbatasan armada pengangkut dan cakupan layanan menjadi bukti nyata adanya kegagalan struktural. Keputusan-keputusan strategis terkait penambahan FTS dan perbaikan sistem pengangkutan memerlukan intervensi kebijakan yang tegas dan pendanaan yang jauh lebih besar.

Di sisi lain, masyarakat tidak bisa sepenuhnya lepas tangan. Meskipun fasilitas minim, perilaku BSS tetaplah merupakan pelanggaran terhadap etika dan peraturan lingkungan. Pendidikan lingkungan yang kurang intensif, keengganan untuk menyimpan sampah sementara waktu hingga menemukan FTS, dan ketiadaan rasa memiliki kolektif terhadap ruang publik adalah faktor-faktor yang memperkeruh kondisi. Kesadaran untuk mengelola sampah dari hulu (rumah tangga) melalui program pilah dan daur ulang, yang sebenarnya menjadi prasyarat keberhasilan sistem pengelolaan sampah modern, masih tergolong rendah, meskipun upaya melalui bank sampah dan inisiatif komunitas mulai menunjukkan geliat.

Pada akhirnya, persoalan sampah di Garut adalah sebuah simpul kolektif yang tidak dapat diurai hanya dengan menyalahkan satu pihak. Keberhasilan dalam menanggulangi masalah ini mensyaratkan pendekatan kolaboratif multi-stakeholder. Pemerintah perlu secara masif meningkatkan rasio FTS di area publik strategis, didukung dengan program pemeliharaan yang ketat dan peningkatan kapasitas armada. Di waktu yang sama, program edukasi publik harus terus digalakkan untuk membentuk internal locus of control pada diri warga, menanamkan kesadaran bahwa kebersihan ruang publik adalah tanggung jawab bersama, dan bahwa ketiadaan fasilitas seharusnya memicu solusi sementara (menyimpan sampah pribadi) bukan pelanggaran permanen (BSS). Solusi yang berjangka panjang terletak pada transformasi sistem yang menyeimbangkan antara penyediaan fasilitas sanitasi publik yang ideal dengan penegakan hukum dan perubahan paradigma perilaku masyarakat. Hanya dengan sinergi antara penyediaan infrastruktur yang memadai dan kesadaran sipil yang tinggi, tragedi ekologis jalanan Garut dapat diakhiri, demi terwujudnya ruang publik yang bersih, sehat, dan bermartabat.