Ironi petani Miskin di kabupaten Garut yang kaya akan sumber daya

Daftar Isi



Kabupaten Garut, yang elok terhampar di jantung Priangan, Jawa Barat, senantiasa memancarkan citra sebagai kawasan agraris yang subur dan menjanjikan. Dengan topografi yang didominasi pegunungan berapi purba, Garut dianugerahi tanah vulkanis yang kaya hara, curah hujan yang memadai, serta keanekaragaman hayati yang melimpah. Dataran tingginya menjadi produsen utama komoditas hortikultura unggulan seperti sayuran, buah-buahan, dan bunga, sementara dataran rendahnya tak henti menyediakan pasokan padi sebagai kebutuhan pangan pokok. Realitas geografis ini seolah menjadi jaminan kemakmuran bagi masyarakatnya, khususnya bagi mereka yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Namun, di balik lanskap hijau yang membuai mata, tersembunyi sebuah ironi yang begitu menghujam: Garut adalah daerah pertanian yang kaya sumber daya, tetapi sebagian besar petani yang menjadi tulang punggung sektor ini justru terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus. Ironi ini mengundang kita untuk merenungkan, mengapa sumber daya alam yang seharusnya bernilai tinggi ini gagal diterjemahkan menjadi kesejahteraan yang berkelanjutan bagi para pengelolanya?

Data statistik resmi dari tahun 2024 menunjukkan bahwa meskipun Kabupaten Garut berhasil menekan angka kemiskinan secara keseluruhan menjadi satu digit, yakni di bawah sepuluh persen, proporsi penduduk miskin yang bergerak di sektor pertanian masih signifikan dan menjadi perhatian utama. Angka ini mencerminkan sebuah jurang yang lebar antara potensi produksi komoditas dan daya beli para produsen itu sendiri. Fenomena ini bukan sekadar masalah lokal, melainkan cerminan dari kegagalan sistemik dalam mengelola nilai tambah dari hulu hingga hilir. Para petani di Garut, seperti juga di banyak daerah agraris lain, umumnya berfungsi hanya sebagai produsen bahan mentah. Mereka menanam, memelihara, dan memanen dengan penuh keringat dan risiko, namun pada titik penjualan pertama, nilai jual produk mereka sering kali jatuh ke tingkat yang paling rendah.

Penelitian lapangan terbaru, termasuk yang dilakukan pada petani padi lahan kering, memperlihatkan bahwa sebagian besar petani memiliki penguasaan lahan yang sempit, dengan rata-rata luas penguasaan di bawah satu hektar. Keterbatasan modal dan lahan ini secara inheren membuat mereka rentan terhadap gejolak harga dan praktik-praktik ekonomi yang merugikan. Lebih dari itu, ditemukan bahwa hampir separuh dari petani di sub-sektor tertentu masih masuk dalam kategori miskin, dengan pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan daerah. Untuk menyiasati keadaan ini, sebagian besar petani terpaksa melakukan diversifikasi pendapatan, tidak hanya mengandalkan hasil usaha tani utamanya, tetapi juga mencari penghasilan tambahan dari usaha di luar pertanian atau menjadi buruh serabutan. Kenyataan ini menegaskan bahwa hasil murni dari aktivitas pertanian inti mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga, bahkan untuk mempertahankan hidup yang layak.

Masalah mendasar yang membentuk ironi ini terletak pada minimnya nilai tambah yang berhasil dinikmati petani. Nilai tambah, dalam konteks ekonomi, adalah peningkatan nilai suatu produk melalui proses pengolahan, pengemasan, branding, atau pemanfaatan teknologi. Di Garut, komoditas unggulan seperti padi, cabai, bawang, dan komoditas perkebunan lain, sebagian besar dijual dalam bentuk raw material atau bahan baku segar tanpa proses lanjut. Sebagai contoh, cabai yang dipanen langsung dijual kepada pedagang pengumpul atau tengkulak. Margin keuntungan terbesar justru dinikmati oleh mata rantai distribusi dan pengolahan yang berada di luar jangkauan petani. Ketika produk pertanian Garut dibawa ke pasar kota besar atau bahkan diekspor, harganya meningkat berkali-kali lipat, tetapi kenaikan harga itu tidak kembali ke kantong petani di desa. Ini adalah hasil dari dominasi rantai pasok yang panjang dan rentan, di mana peran tengkulak dan distributor besar begitu kuat, sering kali mendikte harga beli dari petani.

Faktor-faktor struktural lain turut memperparah kondisi ini. Pertama, akses terhadap modal dan teknologi. Petani skala kecil kesulitan mendapatkan pinjaman modal dengan bunga ringan untuk berinvestasi pada teknologi pertanian modern yang dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas produksi. Penggunaan teknologi yang masih tradisional dan ketergantungan pada musim membuat hasil panen tidak optimal dan rentan terhadap kegagalan. Kedua, minimnya keahlian pascapanen dan pengolahan. Banyak petani tidak memiliki pengetahuan atau fasilitas yang memadai untuk melakukan penanganan pascapanen yang baik, seperti penyimpanan yang benar, sortasi, dan pengemasan. Akibatnya, terjadi penurunan mutu dan tingginya angka susut atau food loss yang mengurangi pendapatan. Penelitian tentang kesiapan petani dalam pengembangan agropolitan menunjukkan bahwa meskipun petani cenderung siap dalam aspek teknis produksi, mereka memiliki tingkat kesiapan yang rendah dalam kemampuan menemukan pasar dan mengelola produknya.

Ketiga, lemahnya kelembagaan petani. Kelompok tani sering kali belum berfungsi optimal sebagai sarana kolektif untuk meningkatkan posisi tawar, melakukan pembelian sarana produksi secara efisien, atau mengurus pemasaran terpadu. Keputusan penentuan harga dan penjualan masih sering bersifat individual, membuat petani mudah dipecah dan dikalahkan oleh kekuatan pasar. Keempat, stigma sosial dan regenerasi. Profesi petani masih identik dengan kemiskinan dan ketidakpastian, menciptakan stigma negatif yang membuat generasi muda enggan melanjutkan profesi ini. Padahal, Garut membutuhkan petani muda yang melek teknologi, mampu berinovasi, dan memiliki visi wirausaha untuk mengubah wajah pertanian dari sekadar cara hidup menjadi bisnis yang menguntungkan.

Untuk memecahkan ironi sumber daya yang tak bernilai tambah ini, diperlukan intervensi holistik yang berfokus pada hilirisasi dan penguatan kapasitas. Langkah pertama adalah mendorong industrialisasi pedesaan skala kecil. Pemerintah daerah, melalui kebijakan yang suportif, harus memfasilitasi pendirian unit-unit pengolahan hasil pertanian di tingkat desa atau kelompok tani. Produk unggulan Garut harus diolah menjadi produk turunan yang memiliki masa simpan lebih lama dan harga jual yang jauh lebih tinggi. Misalnya, cabai menjadi bubuk cabai atau saus, buah-buahan menjadi manisan atau olahan jus, dan kopi menjadi produk kemasan siap seduh dengan branding khas Garut. Pemberian insentif fiskal dan pelatihan teknis yang intensif sangat dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini.

Langkah kedua adalah pemangkasan rantai pasok dan digitalisasi pasar. Penggunaan teknologi informasi, seperti platform pasar daring khusus produk pertanian, dapat menghubungkan petani secara langsung dengan konsumen akhir atau industri pengolahan tanpa melalui banyak perantara. Hal ini akan meningkatkan transparansi harga dan memungkinkan petani memperoleh margin keuntungan yang lebih adil. Ketiga, penguatan kepemilikan dan akses modal. Program sertifikasi lahan dan skema pembiayaan khusus bagi petani gurem harus diintensifkan. Pendampingan untuk mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan penguatan koperasi sebagai institusi ekonomi petani juga mutlak diperlukan.

Ironi kemiskinan petani di tengah kelimpahan sumber daya Garut adalah tantangan yang mendesak untuk dipecahkan. Garut memiliki segala prasyarat alamiah untuk menjadi daerah yang makmur secara agraris. Namun, kemakmuran itu tidak akan terwujud hanya dengan menanam. Ia harus diwujudkan melalui penciptaan nilai tambah pada setiap komoditas, pemuliaan posisi tawar petani dalam rantai ekonomi, dan penghargaan yang layak atas keringat mereka. Transformasi Garut dari sekadar lumbung bahan baku menjadi sentra produk olahan pertanian berdaya saing tinggi adalah kunci utama untuk mengurai benang kusut ini, mengubah ironi menjadi realitas kesejahteraan yang berkelanjutan bagi seluruh masyarakat, khususnya bagi para petani yang selama ini menjadi penjaga sejati kesuburan bumi Priangan. Kegagalan untuk melakukan transformasi ini bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi juga pengingkaran terhadap potensi kemakmuran yang terhampar di hadapan mata.