Terjebak dalam Panggung Seremonial
Dalam dinamika pembangunan sebuah negara, seremonial kerap dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya membangun citra dan identitas. Namun, ketika seremonial menjelma menjadi kegiatan yang berulang, berlebihan, dan menghabiskan porsi anggaran negara dalam jumlah yang signifikan, ironi pun lahir. Negara yang seharusnya hadir sebagai penggerak produktivitas, justru terjebak dalam euforia simbolik. Di satu sisi, rakyat menghadapi keterbatasan akses kesehatan, pendidikan, dan pangan, sementara di sisi lain, anggaran digelontorkan demi pesta kembang api, acara peringatan, rapat akbar, hingga proyek pencitraan yang tak jarang hanya berumur sehari. Fenomena ini memperlihatkan paradoks yang menyayat: di tengah kemiskinan yang masih mencengkeram sebagian besar warga, negara lebih sibuk merayakan dirinya ketimbang mengupayakan kesejahteraan.
Besarnya anggaran yang terserap untuk seremonial terlihat dari pola belanja publik yang sering kali menempatkan acara perayaan, perjalanan dinas, dan penyelenggaraan forum-forum megah sebagai prioritas. Data belanja pemerintah dalam laporan keuangan tahunan menunjukkan proporsi belanja pegawai dan kegiatan pendukung birokrasi yang terus meningkat, sementara belanja modal produktif, seperti infrastruktur kesehatan dan pendidikan, tidak tumbuh sepadan. Laporan audit keuangan juga sering mengungkapkan pengeluaran miliaran hingga triliunan rupiah untuk acara-acara kenegaraan yang sifatnya seremonial, padahal pada saat bersamaan, masih ada ratusan ribu sekolah yang membutuhkan renovasi dan fasilitas dasar kesehatan yang minim. Ironi ini tampak nyata dalam kontradiksi antara realitas kemewahan panggung negara dan kenyataan keseharian rakyat kecil.
Seremonial bukan sekadar soal biaya teknis penyelenggaraan, melainkan juga soal budaya politik. Tradisi birokrasi yang lebih menghargai simbol dibanding substansi, lebih mementingkan kesan dibandingkan pencapaian nyata, membuat seremonial tumbuh subur. Dalam psikologi politik, seremonial memang memberi citra stabilitas dan kemegahan. Namun, jika orientasinya lebih banyak tertuju pada pencitraan, maka negara secara tak sadar menciptakan jarak antara dirinya dan rakyat. Acara megah dengan panggung megah tidak bisa menutup fakta bahwa puskesmas di pedesaan sering kekurangan tenaga medis, atau bahwa irigasi sawah rusak bertahun-tahun tanpa perbaikan. Dengan demikian, seremonial bukan sekadar pesta, tetapi juga menjadi bentuk kelalaian struktural terhadap kebutuhan produktif bangsa.
Kritik terhadap fenomena ini tidak semata-mata datang dari kalangan akademisi, tetapi juga dari masyarakat luas yang merasakan langsung dampaknya. Banyak suara rakyat yang menilai seremonial hanya menjadi sarana pemborosan. Ironinya, acara seremonial sering kali dikemas dengan jargon pengabdian kepada rakyat, padahal rakyat justru tidak pernah merasakan manfaat nyata dari pengeluaran tersebut. Bahkan, terkadang seremonial itu sendiri hanya dihadiri oleh kalangan elite, sementara rakyat hanya menjadi penonton atau sekadar dekorasi tambahan untuk memperindah suasana. Keadaan ini menguatkan kesan bahwa negara lebih mementingkan citra di mata dunia atau kepuasan elite politik, ketimbang merancang solusi konkret atas masalah yang mendera masyarakat.
Jika dianalisis lebih dalam, seremonial yang berlebihan menyedot potensi anggaran produktif. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk membangun irigasi pertanian, penguatan riset sains, atau subsidi pendidikan, justru larut dalam pesta tahunan. Padahal, kebutuhan dasar masih jauh dari tercukupi. Sebuah laporan pembangunan manusia mencatat bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal dibandingkan banyak negara tetangga, dengan indeks literasi dan numerasi yang rendah. Di bidang kesehatan, angka gizi buruk dan stunting masih tinggi, dengan jutaan anak yang pertumbuhannya terhambat. Jika anggaran miliaran rupiah dari seremonial dialihkan ke program intervensi gizi, ratusan ribu anak dapat diselamatkan dari risiko stunting. Inilah bentuk nyata bagaimana seremonial tidak hanya soal simbol, tetapi berimplikasi langsung pada masa depan generasi bangsa.
Selain masalah prioritas anggaran, seremonial juga mencerminkan pola pikir konsumtif yang diwariskan dalam budaya birokrasi. Banyak instansi merasa perlu mengadakan acara besar untuk menunjukkan eksistensi. Bahkan, peresmian proyek yang kecil pun kerap dibalut dengan panggung besar, undangan pejabat, dan penyewaan artis ibu kota. Alih-alih cukup dengan laporan sederhana, penyelenggaraan diatur sedemikian rupa hingga menghabiskan dana yang sebanding dengan pembangunan fisik itu sendiri. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah negara sedang membangun substansi, atau sekadar mempertahankan wajah glamor birokrasi?
Lebih jauh, seremonial yang berlebihan juga berdampak pada psikologi sosial. Rakyat yang melihat kemewahan acara negara di layar televisi atau media sosial sering kali merasakan jurang yang kian lebar antara mereka dan penguasa. Ketika rakyat harus berjuang untuk membayar biaya sekolah atau mencari pengobatan murah, negara justru memperlihatkan kegemerlapan pesta. Hal ini menimbulkan perasaan keterasingan, bahkan bisa berujung pada ketidakpercayaan terhadap negara. Dalam jangka panjang, ketidakpercayaan ini dapat menggerus legitimasi pemerintahan, karena rakyat melihat negara tidak hadir di tempat yang seharusnya, yakni dalam kehidupan nyata mereka.
Fenomena ini juga harus dipahami dalam konteks pembangunan ekonomi. Anggaran publik seharusnya diarahkan pada kegiatan produktif yang menciptakan nilai tambah, seperti pembangunan infrastruktur dasar, riset dan inovasi teknologi, serta pemberdayaan masyarakat. Ketika anggaran terbuang untuk seremonial, negara kehilangan momentum untuk mempercepat industrialisasi, meningkatkan daya saing, atau memperluas kesempatan kerja. Ekonomi yang stagnan atau tumbuh melambat pada akhirnya kembali membebani rakyat kecil, karena mereka yang paling rentan menghadapi dampak inflasi, pengangguran, dan keterbatasan akses layanan publik. Dengan kata lain, seremonial yang berlebihan bukan hanya pemborosan sesaat, tetapi juga menggerus potensi pertumbuhan jangka panjang bangsa.
Dalam perspektif etika politik, pemborosan anggaran untuk seremonial adalah bentuk ketidakadilan distributif. Anggaran publik berasal dari pajak rakyat, sehingga setiap rupiah seharusnya kembali kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan. Menggunakan pajak rakyat untuk pesta yang hanya dinikmati sebagian kecil elite, adalah pengingkaran terhadap prinsip keadilan sosial. Jika konsep keadilan dipahami sebagai alokasi sumber daya secara proporsional kepada mereka yang membutuhkan, maka seremonial justru bertolak belakang dengan keadilan itu. Masyarakat miskin yang setia membayar pajak konsumsi dari belanja sehari-hari mereka, tidak melihat pengorbanan itu berbuah nyata dalam kehidupan.
Tentu, bukan berarti seremonial harus dihapuskan sepenuhnya. Seremonial memiliki peran simbolis dalam mempererat identitas bangsa dan memperingati momen penting. Namun, seremonial seharusnya dijalankan dengan kesederhanaan, efisiensi, dan tetap mengutamakan substansi. Negara-negara maju sekalipun tetap melaksanakan upacara kenegaraan, tetapi sering kali dilakukan tanpa kemewahan berlebihan. Kesakralan suatu peristiwa tidak diukur dari jumlah anggaran yang dikeluarkan, melainkan dari makna yang tertanam. Jika negara mampu menyeimbangkan simbol dan substansi, maka seremonial dapat menjadi sarana refleksi, bukan sekadar pesta.
Ironi negara yang terlalu banyak seremonial pada akhirnya menyingkap wajah rapuh birokrasi yang lebih mencintai simbol daripada kerja nyata. Negara perlu segera menata ulang prioritas anggaran, mengurangi porsi seremonial yang boros, dan mengalihkan dana tersebut ke program produktif yang menyentuh kehidupan rakyat. Kesadaran politik dan sosial harus dibangun bahwa kekuatan sebuah bangsa tidak terletak pada gemerlap panggung perayaan, melainkan pada kokohnya fondasi kesejahteraan rakyat. Bila api kembang api mampu membakar miliaran rupiah dalam satu malam, seharusnya api dapur rakyat tidak dibiarkan padam karena kelalaian negara. Ironi ini hanya dapat diakhiri dengan keberanian politik untuk memilih keberpihakan: pada pesta yang fana, atau pada rakyat yang abadi.