Potret Buram Drainase di Kabupaten Garut

Table of Contents

 


Sistem drainase memegang peranan krusial dalam menjaga ketenteraman kota dan kualitas hidup masyarakat. Di Kabupaten Garut, realitas di lapangan justru memperlihatkan ironi yang memprihatinkan: sistem drainase yang dijanjikan efisien nyatanya terabaikan. Saat hujan turun, jalan-jalan utama dan pemukiman seolah-olah berubah menjadi sungai mini, mengundang kekhawatiran tentang keselamatan, aksesibilitas, dan kesehatan publik. Gambaran ini bukan sekadar fenomena estetis namun mencerminkan kegagalan tata kelola infrastruktur yang memadai. Setiap ketika hujan ringan menitikkan air, titik-titik genangan muncul; saat hujan deras datang, volume air amat cepat membanjiri, memperparah kondisi lalu lintas, menimbulkan polusi air, bahkan mendorong potensi insiden keselamatan. Di balik tampilan yang tampak sederhana itu tersimpan tumpukan persoalan struktural, regulatif, bahkan sosial yang harus diluruskan.

Kualitas drainase terbatas pada saat ini merefleksikan akumulasi kekurangan sejak lama, baik dalam perencanaan maupun implementasi. Pertama, banyak kawasan tidak memiliki saluran pembuangan air yang memadai; di daerah pusat kabupaten maupun kecamatan, talang dan gorong-gorong terbukti berkurang kapasitasnya akibat sedimentasi, sedimentasi yang telah berlangsung bertahun-tahun tanpa penanganan menyeluruh. Bukan hanya itu, sistem drainase yang ada sebagian besar dirancang untuk hujan normal—sedangkan intensitas hujan di sebagian wilayah Garut kini meningkat akibat perubahan iklim yang memicu pola hujan ekstrem lebih sering. Akibatnya, saluran menjadi cepat meluap dan air merambat ke jalan-jalan, menciptakan genangan yang sulit surut. Hasil survei lapangan menunjukkan, misalnya, bahwa di sejumlah titik jalan utama di pusat kota, ketika hujan lebih dari 20 mm per jam, hampir seluruh permukaan aspal tergenang, hal ini mencerminkan kapasitas saluran yang jauh di bawah kebutuhan aktual.

Dampaknya meluas. Dari segi mobilitas, banjir di ruas jalan memperlambat arus kendaraan, mengakibatkan kemacetan panjang bahkan dalam waktu singkat, dengan konversi jalur menjadi aliran air dalam hitungan menit. Pihak sekolah, pelajar, pekerja di sektor informal, para pedagang—semuanya merasakan dampak langsung ketika wilayah mereka tergenang. Biaya transportasi meningkat, waktu tempuh membengkak, dan risiko kecelakaan lalu lintas meningkat karena visibilitas buruk dan permukaan licin. Dari perspektif kesehatan, air genangan menjadi media perairan tergenang yang stagnan, menunjukkan risiko tinggi sebagai tempat berkembangnya nyamuk vektor penyakit demam berdarah dan penyakit pernapasan akibat udara lembap. Studi epidemiologi setempat memperlihatkan, misalnya, bahwa insiden demam berdarah naik signifikan pasca hujan deras, dengan angka yang dapat meningkat hingga dua kali lipat dibandingkan musim kemarau—indikasi ini memperkuat keterkaitan antara drainase buruk dan beban kesehatan publik yang lebih tinggi.

Tidak kalah serius, kerusakan infrastruktur menjadi korban alur buruk ini. Permukaan jalan cepat tergerus, lubang-lubang muncul, dan trotoar retak. Biaya perbaikan meningkat dinaik; dinas terkait mencatat bahwa anggaran darurat untuk perbaikan jalan akibat genangan membengkak berkali-kali lipat dibandingkan anggaran perencanaan tahunan. Ironisnya, uang publik yang seharusnya mencerminkan investasi untuk infrastruktur tahan lama justru banyak tersedot hanya untuk menutup lubang dan menyedot genangan pasca-hujan. Dalam jangka panjang ini tidaklah berkelanjutan.

Secara struktural, akar masalah terletak pada kurangnya sinkronisasi antara instansi pengelola—dinas pekerjaan umum, tata ruang, dan dinas kesehatan—yang sering kali bekerja di jalur koordinasi yang terpisah. Tanpa adanya sistem pemantauan terpadu, data tentang titik-titik rawan genangan tidak terintervensi secara tepat waktu. Penelitian menunjukkan bahwa sistem drainase yang efektif memerlukan pemetaan digital berbasis geospasial dan analisis aliran limpasan, namun pengaplikasian teknologi semacam ini di Garut masih terbatas; kendati tersedia potensi integrasi sistem informasi geografis (SIG), implementasi riilnya baru sebagian kecil saja. Hal ini menyebabkan respon terhadap kerusakan atau hambatan sirkulasi air bersifat reaktif dan sporadis, bukan preventif dan terencana.

Dari sisi kelembagaan, aspek regulasi turut memperburuk. Kawasan permukiman informal di tepian bantaran sungai atau di lahan terbatas membutuhkan pendekatan berbeda, namun sering kali tidak ada pertimbangan zonasi yang efektif. Akibatnya, banyak rumah serta bangunan semi permanen dibangun tanpa memperhatikan drainase lingkungan. Saat musim hujan tiba, air hujan tidak tertangani dengan lancar, melimpas ke jalan bahkan masuk ke dalam rumah. Di sisi lain, warga yang merasakan langsung dampak negatif sulit memperjuangkan dana perbaikan yang memadai; mekanisme partisipasi anggaran publik belum sempurna diarahkan ke titik-titik ini, meskipun aspirasi masyarakat nyata disampaikan. Ketimpangan inilah yang semakin memperlebar jurang antara pemukiman mapan dengan wilayah periferal—padahal kebutuhan drainase adalah kebutuhan dasar yang mestinya terjamin merata.

Meningkatnya kesadaran masyarakat bisa menjadi titik balik. Kelompok warga, LSM lokal, dan akademisi mulai melakukan pemetaan partisipatif: mencatat lokasi-lokasi genangan, durasi, kedalaman, dan dampaknya serta diintegrasikan ke dalam peta digital sederhana. Data ini menjadi modal kuat ketika menyuarakan perbaikan sistem drainase kepada pemerintah kabupaten. Tercatat, dalam satu kali koordinasi dengan dinas terkait, data warga diterima sebagai bahan evaluasi, sehingga terdapat komitmen awal untuk memperlebar sejumlah saluran di area yang paling sering tergenang. Inisiatif semacam ini menunjukkan bahwa ketika warga diberdayakan, perhatian publik terhadap persoalan teknis menjadi lebih tajam, dan dukungan politik makin mudah diperoleh.

Elemen penting lainnya adalah pendekatan teknis berbasis solusi berkelanjutan—dikenal dalam literatur internasional sebagai pendekatan “drainase berkelanjutan” atau low-impact development. Konsep ini menekankan infiltrasi air (misalnya melalui sumur resapan, taman hujan) dan pelambatan arus air (misalnya dengan permeable paving), yang di masa lalupun jarang diadopsi di Garut. Banyak jalan aspal dan beton padat justru mempercepat limpasan tanpa distribusi tertib, meningkatkan beban saluran di titik-titik kritis. Jika sistem infiltrasi lokal dikembangkan—misalnya dengan taman kecil di median jalan atau area publik—maka volume limpasan bisa dikurangi, memperlancar aliran dan menghindari genangan. Selain itu, penggunaan vegetasi estetis di samping jalan bukan hanya mempercantik kota, tapi juga menyerap air hujan dan mengurangi kejenuhan saluran. Implementasi awal di beberapa kelurahan telah menunjukkan kalau resapan buatan sederhana bisa menurunkan kedalaman genangan hingga sepertiga dalam hujan singkat sekitar 30 menit.

Beban keuangan tentu menjadi pertimbangan utama. Namun, dibanding biaya langsungnya—penyedotan, perbaikan jalan, bahkan biaya kesehatan masyarakat—investasi awal dalam sistem drainase berkelanjutan terbukti hemat dalam jangka menengah. Misalnya, pembangunan sumur resapan kecil di setiap blok pemukiman menelan biaya relatif kecil, tapi mampu mengurangi volume limpasan hingga 20–30 persen, sehingga saluran utama tidak kelebihan beban. Jika dikalkulasi gabungan efektivitas biaya dan dampaknya terhadap kualitas hidup, pendekatan ini menghasilkan return on investment sosial yang cukup tinggi—fenomena yang telah divalidasi dalam berbagai studi populer di kota-kota lain di Indonesia. Garut bisa memetik pelajaran dari kota-kota seperti Bandung atau Malang, yang mulai menerapkan sistem drainase ramah lingkungan di kawasan padat.

Namun, semua upaya itu memerlukan komitmen kelembagaan yang kuat—baik dari pemerintah daerah maupun partisipasi warga. Dibutuhkan regulasi yang memudahkan pemasangan resapan atau revitalisasi saluran, anggaran terukur, serta sistem evaluasi. Penting juga membangun kesadaran kolektif bahwa jalan tidak sekadar jalur lalu lintas, tetapi elemen citra kota dan ruang publik yang harus nyaman, aman, dan tahan terhadap hujan lebat. Masyarakat perlu didampingi dalam menjaga saluran tetap bersih, terbuka, dan fungsional; selain itu, pendidikan publik tentang bahaya membuang sampah sembarangan di drainase harus terus digencarkan karena kemacetan saluran sebagian besar disebabkan sampah—fakta yang setiap hujan menjadi kambuh.

Jika kiprah kolektif ini dioptimalkan—dengan sinergi antara modernisasi teknis, pemetaan partisipatif, pendekatan ramah lingkungan, serta ketegasan kebijakan—Kabupaten Garut berpotensi mengubah wajahnya: dari kota yang tergenang menjadi kota yang tangguh dalam menghadapi hujan. Itu berarti tidak sekadar terbebas dari genangan, tetapi juga menghidupkan ruang publik, memberikan kepastian mobilitas, mengurangi risiko kesehatan, dan bahkan mendongkrak citra daerah. Tantangan ini bukan hal yang mustahil ditaklukkan, asalkan kita percaya bahwa tata air yang baik adalah pondasi bagi kota dan komunitas yang lebih sehat, nyaman, dan unggul.

Secara keseluruhan, gambaran sistem drainase di Kabupaten Garut menunjukkan masalah akut yang bersifat multifaset. Namun dalam tiap elemen tantangan tersebut terbuka ruang untuk solusi yang berbasis data, berbasis warga, dan bersifat berkelanjutan. Di masa depan, dengan sinergi stakeholders dan pendekatan inovatif, Garut bisa menegaskan dirinya sebagai teladan pengelolaan air hujan di daerah tropis—bukan lagi kota yang tenggelam saat hujan, melainkan kota yang cerdas, adaptif, dan tahan terhadap hujan deras.