Kesejahteraan Guru yang Merana di Negeri yang Berteriak Ingin Pendidikan Berkualitas
Pendidikan sering dipuja sebagai jalan emas menuju peradaban yang lebih baik, sebuah kendaraan untuk keluar dari jeratan kemiskinan, ketimpangan, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hampir setiap pidato pejabat negeri ini selalu menyelipkan kalimat manis tentang pentingnya guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, ironinya begitu telanjang di hadapan kita: kesejahteraan guru masih jauh dari kata layak, bahkan di negara yang berulang kali menyatakan bahwa peningkatan mutu pendidikan adalah prioritas utama. Jurang antara retorika dan realita semakin melebar, dan di tengahnya berdiri jutaan guru yang berjuang bukan hanya untuk mendidik, tetapi juga untuk bertahan hidup.
Di Indonesia, jumlah guru yang mencapai lebih dari 3 juta orang adalah fondasi bagi keberlangsungan pendidikan nasional. Namun, survei dan laporan resmi menunjukkan fakta memilukan: banyak di antara mereka menerima gaji di bawah upah minimum regional. Guru honorer, yang jumlahnya tidak sedikit, kerap hanya menerima bayaran antara 300 ribu hingga 700 ribu rupiah per bulan. Angka itu jelas tidak sebanding dengan beban kerja, tanggung jawab, dan ekspektasi tinggi yang ditimpakan kepada mereka. Lebih tragis lagi, banyak guru honorer harus mencari pekerjaan sampingan, mulai dari berdagang, menjadi ojek daring, hingga buruh harian, demi menutup kebutuhan hidup sehari-hari. Fenomena ini seakan menegaskan bahwa profesi guru tidak lagi dihormati sebagai profesi mulia, melainkan sekadar simbolis dalam pidato-pidato resmi.
Konsekuensi dari ketidaklayakan ini sangat serius. Kualitas pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kualitas hidup pengajarnya. Bagaimana mungkin seseorang yang harus memikirkan bagaimana membayar kontrakan, membeli kebutuhan pokok, atau menanggung biaya sekolah anaknya, bisa secara penuh mencurahkan energi, kreativitas, dan intelektualitasnya untuk mencerdaskan anak bangsa? Kesejahteraan yang minim melahirkan siklus baru: guru kehilangan motivasi, profesi guru tidak lagi menarik bagi generasi muda, dan pada akhirnya, kualitas pendidikan stagnan atau bahkan menurun. Kita seakan sedang berjalan di tempat, tidak beranjak keluar dari lingkaran hitam rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Padahal, data menunjukkan bahwa kualitas pendidikan suatu bangsa berkorelasi kuat dengan kesejahteraan para pendidiknya. Negara-negara dengan kualitas pendidikan tinggi seperti Finlandia, Korea Selatan, dan Singapura menjadikan guru sebagai profesi prestisius. Di sana, gaji guru bukan hanya cukup untuk hidup layak, tetapi juga memberikan martabat sosial dan daya tarik bagi lulusan terbaik universitas. Finlandia, misalnya, hanya menerima sekitar 10 persen pelamar terbaik untuk program pendidikan guru, setara dengan ketatnya masuk fakultas kedokteran. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena profesi guru dihargai, dijamin kesejahteraannya, dan diberikan otonomi penuh untuk berinovasi di ruang kelas.
Sebaliknya, di Indonesia, profesi guru justru menjadi pilihan terakhir banyak orang. Survei menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil siswa berprestasi yang bercita-cita menjadi guru, sebab imbalan yang diterima dianggap tidak sepadan dengan pengorbanan. Ketika kualitas calon guru sudah dipengaruhi oleh persepsi negatif tentang profesi ini, bagaimana mungkin kita bisa berharap lahirnya pendidik-pendidik yang mumpuni? Sistem yang membiarkan kesejahteraan guru terpuruk sejatinya sedang mengorbankan masa depan bangsa.
Lebih jauh, perbedaan mencolok antara guru berstatus aparatur sipil negara (ASN) dan guru honorer menimbulkan kesenjangan yang merusak solidaritas profesi. Guru ASN dengan masa kerja yang panjang dapat memperoleh gaji pokok, tunjangan sertifikasi, dan berbagai fasilitas lain. Namun, di sisi lain, guru honorer yang jumlahnya masih lebih dari satu juta orang kerap diperlakukan seperti tenaga cadangan, tanpa kepastian status dan masa depan. Ketidakadilan struktural ini menimbulkan kekecewaan mendalam, bahkan dalam beberapa kasus melahirkan aksi demonstrasi menuntut kejelasan status kepegawaian.
Persoalan lain yang memperburuk keadaan adalah birokrasi yang berbelit dalam proses sertifikasi dan kenaikan status guru. Banyak guru harus melewati prosedur administratif yang panjang dan melelahkan hanya untuk mendapatkan tunjangan yang sebenarnya hak mereka. Proses sertifikasi sering kali tidak mengukur kompetensi secara substansial, melainkan hanya menambah tumpukan dokumen yang melelahkan. Waktu yang seharusnya dipakai untuk menyiapkan bahan ajar berkualitas justru habis untuk memenuhi kewajiban administratif yang kaku. Akibatnya, bukan hanya kesejahteraan finansial yang terhambat, tetapi juga semangat mengajar yang terkikis sedikit demi sedikit.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan jika dilihat dari perspektif jangka panjang. Indonesia tengah berada dalam fase bonus demografi, di mana proporsi penduduk usia produktif sangat tinggi. Namun, jika kualitas pendidikan tidak membaik karena kesejahteraan guru diabaikan, bonus demografi ini justru berpotensi berubah menjadi bencana demografi. Generasi muda yang seharusnya menjadi motor kemajuan akan terjebak dalam keterampilan rendah, daya saing lemah, dan pada akhirnya memperpanjang rantai kemiskinan struktural. Kita tidak sedang berbicara tentang masa depan jauh, melainkan tentang satu atau dua dekade ke depan, ketika dunia kerja semakin kompetitif dan menuntut kualitas sumber daya manusia yang unggul.
Statistik resmi menunjukkan bahwa skor Indonesia dalam tes internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) masih tertinggal dibandingkan banyak negara lain di kawasan Asia. Rendahnya capaian literasi, numerasi, dan sains siswa Indonesia sering dijadikan cermin kegagalan sistem pendidikan. Namun, jarang sekali ada kesadaran bahwa salah satu akar persoalan terletak pada kondisi guru yang tidak diberdayakan secara optimal. Tidak ada sistem pendidikan yang bisa melampaui kualitas guru yang mengajarnya. Jika guru tidak dimuliakan, maka sulit membayangkan adanya lompatan signifikan dalam capaian pendidikan nasional.
Kesejahteraan guru sejatinya bukan sekadar soal gaji, melainkan juga penghargaan sosial, kepastian karier, serta ruang untuk berkembang. Namun, gaji yang layak adalah fondasi pertama yang tidak bisa ditawar. Tanpa itu, segala bentuk pelatihan, sertifikasi, atau kurikulum baru hanyalah kosmetik belaka. Kita bisa berganti kurikulum berkali-kali, mengubah metode belajar dari tatap muka ke digital, bahkan menjejalkan jargon revolusi industri 4.0 ke ruang kelas, tetapi jika guru tetap dihargai dengan upah di bawah garis kemiskinan, maka semua itu tidak lebih dari sekadar ilusi perubahan.
Sebagian pihak berargumen bahwa keterbatasan anggaran negara menjadi alasan utama. Namun, jika kita melihat secara jujur, alokasi anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen dari APBN seharusnya cukup besar untuk memperbaiki kesejahteraan guru. Masalahnya bukan pada jumlah, melainkan pada distribusi dan prioritas. Terlalu banyak anggaran yang terserap untuk proyek-proyek infrastruktur pendidikan atau birokrasi, sementara kebutuhan mendasar guru justru terabaikan. Reformasi anggaran pendidikan harus dimulai dengan menjadikan kesejahteraan guru sebagai prioritas utama, bukan sekadar embel-embel di laporan tahunan.
Harapan masih ada, tetapi membutuhkan komitmen politik yang kuat. Pemerintah harus berani menata ulang sistem rekrutmen guru, mempercepat pengangkatan guru honorer dengan mekanisme yang adil, serta memastikan gaji minimum guru setara dengan standar hidup layak. Selain itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan martabat guru di mata masyarakat, melalui kampanye publik yang menegaskan peran vital mereka dalam membentuk masa depan bangsa. Pendidikan karakter, inovasi, dan daya saing global tidak akan pernah tercapai jika fondasi utamanya, yaitu kesejahteraan guru, terus diabaikan.
Pada akhirnya, kesejahteraan guru adalah cermin dari keseriusan bangsa ini dalam membangun peradaban. Jika guru terus merana, maka yang merana bukan hanya profesi itu sendiri, tetapi juga masa depan anak-anak kita. Kita tidak bisa berharap melahirkan generasi emas dengan membiarkan pahlawan pendidik hidup dalam perunggu. Saatnya berhenti membiarkan kata-kata manis tentang guru hanya bergema di panggung seremonial. Sudah waktunya membuktikan bahwa guru benar-benar pahlawan bangsa, bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam kenyataan hidup yang mereka jalani sehari-hari. Tanpa itu, mimpi keluar dari lingkaran hitam rendahnya kualitas sumber daya manusia hanya akan menjadi slogan kosong yang terus terulang tanpa pernah menjadi kenyataan.