Kebijakan Tak Masuk Akal yang Membebani Rakyat
Triliunan Rupiah untuk Proyek Mangkrak: Kebijakan Infrastruktur Indonesia di Luar Nalar
Di tengah upaya menggeber pembangunan nasional, muncul kontradiksi besar: dana publik triliunan rupiah tersedot untuk proyek-proyek ambisius namun banyak yang mangkrak di tengah jalan. Proyek megah yang sudah menelan biaya masif justru tidak selesai atau tidak beroperasi sesuai tujuan, seolah kebijakan infrastruktur berjalan di luar nalar. Fenomena tersebut memicu keprihatinan karena efektivitas penggunaan uang rakyat dipertanyakan. Sebagai contoh, Bandara Internasional Jawa Barat di Kertajati dan pusat olahraga Hambalang di Bogor menyerap anggaran masing-masing sekitar Rp2,5–2,6 triliun, tetapi nyatanya beroperasi jauh di bawah kapasitas yang diharapkan bahkan sempat mangkrak total. Kasus-kasus seperti itu menjadi ujian bagi akuntabilitas keuangan negara: apakah belanja besar-besaran ini benar-benar memberi manfaat bagi publik? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mempertegas urgensi mengulas fenomena mangkrak secara menyeluruh. Keadaan ini kerap menjadi sorotan publik dan parlemen, menandakan urgensi perbaikan tata kelola anggaran infrastruktur.
Hambalang adalah salah satu ilustrasi paling mencolok dari penyalahgunaan dana publik. Awalnya dibangun sebagai Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) yang megah, proyek ini menyedot anggaran negara sekitar Rp2,5 triliun. Auditor negara pada 2012–2013 mencatat kerugian negara sekitar Rp706 miliar akibat praktik korupsi dan mark-up harga. Pihak KPK menemukan bahwa sejumlah pejabat tinggi, termasuk mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, terlibat sehingga pembayaran proyek membengkak hingga ratusan miliar. Kasus Hambalang berujung pada vonis penjara terhadap para pelakunya, menggambarkan betapa beratnya penyimpangan di balik proyek ini. Pembangunan pun dihentikan total. Pemerintah sempat mengusulkan melanjutkan sebagian fasilitas (14 bangunan) dengan tambahan biaya sekitar Rp800 miliar, namun realisasinya belum jelas. Kini puluhan fasilitas yang sempat terbangun seperti asrama dan stadion terbengkalai — ibarat bangunan hantu terbuka yang pernah dijanjikan untuk atlet nasional.
Kegagalan serupa terjadi pada Bandara Internasional Jawa Barat di Kertajati, Majalengka. Dibangun sejak 2014 dengan dana APBN/APBD sekitar Rp2,6 triliun, bandara ini belum menunjukkan performa optimal. Pada 2024 jumlah penumpang tercatat hanya sekitar 413 ribu jiwa (sekitar 3% dari target tahunan 12 juta), sedangkan kerugian operasional tahunannya mencapai Rp60 miliar. Bandara yang berdiri di atas lahan seluas 1.800 hektar itu terus merugi karena penggunaannya sangat minim — subsidi perawatan mencapai Rp6 miliar per bulan dan biaya listrik Rp450 juta per bulan untuk fasilitas yang sebagian besar tak terpakai. Sebagai perbandingan, lahan seluas itu idealnya bisa menghasilkan puluhan ribu ton beras per musim panen, yang kini hilang karena dialihfungsikan untuk bandara yang nyaris kosong. Konektivitas menuju Kertajati juga belum memadai: rute antar kota dari Bandung, Cirebon, atau Tasikmalaya ke bandara ini terbatas, sehingga banyak calon penumpang lebih memilih terbang dari Jakarta. Akibatnya, fasilitas penunjang di terminal juga minim — misalnya ketika penerbangan umrah pertama pada 2022 lalu, sebagian besar toko-toko di bandara masih tutup dan fasilitas umum kurang tersedia. Para pakar kini mendesak penyediaan transportasi publik yang memadai dari kota-kota besar agar Kertajati dapat diintegrasikan dengan jaringan angkutan nasional. Hingga kebijakan itu ditempuh, investasi besar-besaran di Kertajati terasa sia-sia dan mengakibatkan beban fiskal tambahan.
Kasus mangkrak lainnya dijumpai di sektor jalan tol dan infrastruktur lain. Misalnya, Jalan Tol Gilimanuk–Mengwi di Bali yang digadang sebagai tol terpanjang Bali. Proyek sepanjang hampir 97 km ini dimulai pada 2022 dengan nilai investasi sekitar Rp24,6 triliun. Hanya segmen awal beberapa kilometer yang selesai diratakan, lalu berhenti total ketika investor utama mundur karena kesulitan modal. Alat berat dan pekerja meninggalkan lokasi, meninggalkan guratan aspal terputus serta lahan yang belum tersentuh. Pemerintah akhirnya harus mencari pola pendanaan baru untuk menyelamatkan sisa proyek tersebut. Menteri PUPR menegaskan proyek tol Bali ini tetap akan dilanjutkan meski dengan pendekatan kerja sama baru, sebagai respons atas mundurnya investor sebelumnya. Proyek strategis nasional Ibu Kota Nusantara (IKN) juga terancam mangkrak karena pendanaannya diblokir tahun 2025. Inpres efisiensi anggaran membuat seluruh alokasi Kementerian PUPR untuk IKN terkatung, sehingga pembangunan infrastruktur ibu kota baru nyaris tak berjalan. Akibatnya, harapan pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur yang bertumpu pada proyek ibukota baru ini ikut melambat; sektor konstruksi, logistik, dan jasa setempat merasakan langsung kontraksinya.
Kementerian PUPR mendefinisikan proyek mangkrak sebagai proyek yang belum dijalankan atau terhenti di tengah pelaksanaan padahal sudah terserap anggaran. Berdasar kriteria ini, secara agregat nilai proyek mangkrak di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah. Sebagai gambaran, catatan pemerintahan sebelumnya (2019–2024) menunjukkan sekitar 20% proyek investasi mangkrak, dengan nilai tak terealisasi sekitar Rp141,6 triliun dari total Rp708 triliun. Di ranah infrastruktur publik pun tercatat puluhan proyek prioritas mangkrak. Misalnya data pemerintah 2023 menyebut setidaknya 58 Proyek Strategis Nasional (PSN) senilai sekitar Rp470 triliun yang belum dimulai sama sekali, kendati targetnya harus selesai pada tahun tersebut. Kondisi ini berlawanan dengan perencanaan semula, sehingga proyek-proyek tersebut diusulkan dihapus atau diundur dari rencana awal. Belum lama ini (2025), Kementerian PUPR mengumumkan pemangkasan anggaran sekitar Rp81,4 triliun (dari pagu awal Rp110,9 triliun tinggal Rp29,6 triliun). Sebagai dampak, sekitar 21 proyek besar jalan, jembatan, bendungan, dan irigasi dihentikan sementara. Angka-angka ini menggambarkan besarnya skala masalah: anggaran infrastruktur yang seharusnya menggerakkan ekonomi ternyata berakhir mengendap karena proyek tidak berjalan.
Terdapat beberapa faktor mendasar yang memicu meluasnya proyek mangkrak. Pertama, perencanaan sering kali dilakukan tergesa-gesa demi mengejar target politik tanpa studi kelayakan menyeluruh. Pasca pergantian pemerintahan atau legislatif, prioritas pembangunan bisa berubah drastis sehingga proyek yang sudah dirancang sebelumnya terabaikan. Kedua, tumpang tindih regulasi dan buruknya koordinasi antar instansi memperlambat proses administrasi, mulai dari perizinan hingga pembebasan lahan. Proyek-proyek ambisius kerap dihadapkan pada hambatan politik lokal, misalnya penolakan warga atau kebuntuan negosiasi kompensasi lahan. Ketiga, budaya korupsi dan kolusi menjadi akar problem: kontraktor yang kalah tender atau pengembang bisa mengklaim kerugian lewat litigasi, sementara birokrat kadang menunda realisasi proyek karena konflik kepentingan. Lemahnya pengawasan internal membuat potensi pemborosan sulit dideteksi. Contoh historis membuktikan pola ini bukan baru: proyek Monorel Jakarta di awal 2000-an, yang sudah menyerap anggaran ratusan miliar, dihentikan di tengah jalan karena masalah pendanaan dan koordinasi. Tiang-tiang beton bekas proyek itu kini menjadi monumen infrastruktur mangkrak di ibu kota. Dengan kata lain, inefisiensi manajemen proyek dan tekanan politik sering mendominasi logika ekonomi, sehingga uang triliunan terpakai tetapi hasilnya tak optimal.
Dampak kebijakan semacam ini bersifat sistemik dan bertingkat. Dari sisi ekonomi makro, sektor konstruksi merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap pertumbuhan: BPS mencatat konstruksi menyumbang sekitar 10% PDB (2019–2024), sebagian besar didorong oleh belanja modal pemerintah. Jika proyek-proyek vital mangkrak, efek pengganda ke ekonomi ikut terhambat. Belanja modal yang tersangkut di satu proyek tidak bisa dialihkan ke sektor lain. Penurunan drastis belanja publik diyakini menekan konsumsi rumah tangga dan investasi swasta: sebuah penelitian menemukan bahwa setiap pengurangan 1% belanja pemerintah dapat menurunkan konsumsi domestik sekitar 0,07% serta sedikit menggerus PDB. Proyek mangkrak yang menyisakan belanja tak efektif sering memicu kredit macet di industri konstruksi dan peralatan. Perusahaan konstruksi yang modalnya terikat menunda produksi, berdampak pada rantai pasoknya (misal pabrik semen, baja, dan alat berat). Bank yang memberikan pembiayaan proyek juga menghadapi risiko kredit tak tertagih jika penyelesaian proyek mandek. Di sisi sosial, ketidakpastian proyek-proyek besar ini meredupkan kepercayaan investor dan masyarakat terhadap iklim investasi. Singkatnya, membiarkan triliunan anggaran terkatung tanpa utilitas riil berdampak negatif bagi stabilitas ekonomi dan pembangunan nasional.
Melihat fakta di atas, jelas bahwa kebijakan membiarkan proyek bernilai triliunan rupiah mangkrak sulit dipertanggungjawabkan. Kritik publik yang keras terhadap kasus Hambalang, Kertajati, dan lainnya menegaskan perlunya reformasi. Pengawasan DPR dan lembaga pengaudit harus diperkuat: DPR berkewajiban mengusut dan mengawal kelanjutan anggaran, sementara KPK dan BPK diharapkan segera menindaklanjuti setiap temuan inefisiensi. Transparansi proyek perlu ditingkatkan, misalnya dengan pelibatan publik dalam penyusunan anggaran dan penggunaan sistem pengawasan berbasis digital real-time. Kementerian dan pemerintah daerah perlu menerapkan pencairan dana bertahap (tranche) berdasarkan pencapaian milestone yang terukur, agar setiap tahap proyek benar-benar layak sebelum anggaran berikutnya dicairkan. Langkah-langkah ini penting agar setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar tepat sasaran, bukan terbuang sia-sia. Berbagai lembaga internasional pun mengingatkan pentingnya tata kelola anggaran yang ketat bagi proyek infrastruktur. Fenomena proyek mangkrak dikenal pula di banyak negara sebagai "white elephant" yang membebani keuangan publik. Oleh karena itu, penerapan praktik terbaik internasional (seperti studi kelayakan eksternal, pengadaan terbuka, dan review independen) perlu diadaptasi. Hanya dengan reformasi fundamental inilah masa depan pembangunan infrastruktur bisa berkelanjutan. Pemerintah harus memastikan bahwa ambisi besar berbanding lurus dengan kebermanfaatan nyata, sehingga triliunan rupiah investasi memberikan dampak positif bagi rakyat. Jika pemerintah ingin meninggalkan warisan pembangunan yang nyata, pengalokasian anggaran infrastruktur harus berlandaskan visi jangka panjang dan pengendalian mutu yang ketat. Proyek-proyek mendatang perlu dirancang dengan hasil terukur dan keterlibatan publik, bukan sekadar pencitraan jangka pendek. Hanya dengan perubahan paradigma pengelolaan infrastruktur semacam ini, triliunan rupiah investasi ke depan bisa menjadi berkah nyata bagi kemajuan bangsa, bukan beban baru bagi pemerintah.