Joget Para Wakil Rakyat Euforia Elite yang menginjak nginjak logika Publik
Beberapa hari terakhir publik dihebohkan oleh viralnya video sejumlah anggota DPR RI yang berjoget bersama di dalam gedung parlemen usai Sidang Tahunan MPR/DPR. Momen tersebut memperlihatkan beberapa anggota dewan tampak tersenyum dan bergoyang mengikuti lagu “Gemu Fa Mi Re”. Bagi sebagian netizen, aksi tersebut terlihat ringan, mungkin sekadar hiburan penutup acara penting kenegaraan. Namun bagi banyak rakyat yang sehari-hari bergulat dengan beban ekonomi, momen joget itu terasa ironis dan memicu kekecewaan mendalam.
Di tengah kondisi PHK massal, naiknya berbagai jenis pajak dan biaya hidup, banyak masyarakat merasa bahwa para wakilnya seolah “terlalu bahagia” menjalani peran yang mestinya sarat empati di tengah krisis. Salah satu komentar warganet menyebut, “wakil rakyat joged-joged, rakyatnya sengsara di PHK dan bayar kenaikan pajak”. Komentar semacam ini mencerminkan gap emosi yang makin lebar antara elit dan rakyat.
Wakil Ketua DPR Adies Kadir mencoba meluruskan bahwa aksi joget tersebut bukan dilakukan saat acara resmi berlangsung, melainkan setelah seluruh rangkaian sidang dan pidato kenegaraan selesai. Beliau menyebutnya sebagai momen spontan untuk menutup sidang tahunan. Meski demikian, penjelasan ini belum cukup meredam suara kritis masyarakat. Beberapa media mencatat bahwa warganet tetap menyoroti ketidaksensitifan momen tersebut, terlebih beredar pula narasi soal rencana kenaikan gaji DPR yang disebut-sebut mencapai lebih dari tiga juta per hari, setara atau bahkan lebih besar dari UMR di banyak kota.
Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya sensitivitas sosial dalam setiap gestur publik para pejabat. Sebuah tindakan yang mungkin dianggap sepele atau hiburan internal dapat dimaknai jauh berbeda oleh masyarakat luas yang sedang mengalami tekanan finansial. Di era digital, di mana setiap momen terekam dan viral hanya dalam hitungan menit, seorang pejabat publik tidak hanya dinilai dari kebijakan, tapi juga dari gestur simbolik.
Lebih jauh, kejadian ini mengundang kritik mendasar tentang prioritas dan empati wakil rakyat. Banyak yang bertanya: mengapa begitu mudah tertawa dan menari ketika rakyat masih berjuang menghadapi PHK, harga sembako yang naik, dan tekanan ekonomi pasca pandemi? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar reaksi emosional, melainkan sinyal adanya jarak sosial dan psikologis yang sudah terlalu jauh antara kursi kekuasaan dan realitas keseharian warga.
Momen joget anggota DPR mungkin dianggap ringan dan bersifat humanis oleh sebagian kalangan. Namun dalam konteks sosial saat ini, ia menunjukkan pentingnya pejabat publik untuk lebih peka terhadap persepsi rakyat. Bukan berarti pejabat tidak boleh bergembira, tapi kepekaan terhadap waktu, tempat, dan situasi menjadi hal yang esensial. Karena di mata rakyat, gestur kecil pun bisa menjadi simbol besar tentang apakah wakilnya masih satu rasa dengan yang diwakili atau sudah hidup dalam ruang yang jauh berbeda