Jalan sunyi mencari ilahi

Table of Contents

 


Di setiap lorong sunyi sejarah manusia, selalu ada jiwa-jiwa yang memilih untuk berjalan perlahan, meninggalkan hiruk-pikuk pasar dunia, dan menapaki jalan yang tak dihampari permadani kemewahan, melainkan debu kesederhanaan. Mereka bukan penguasa istana, bukan pula pedagang yang mengukur nilai dari timbangan emas dan perak, melainkan pengembara batin yang mencari bukan harta, bukan tahta, melainkan Dia—Yang Tak Terbatas oleh ruang dan waktu. Di dalam khazanah Islam, jiwa-jiwa seperti ini disebut sufi, dan jalan yang mereka tempuh dinamakan tasawuf.

Tasawuf adalah samudra yang tak berbatas, di mana gelombangnya bukanlah air asin, melainkan zikir yang mengalun lembut di bibir hati. Ia adalah ilmu yang mengajari manusia untuk membersihkan cermin jiwanya dari debu kesombongan, noda iri, dan kabut hawa nafsu, agar pantulan cahaya Ilahi dapat bersinar tanpa penghalang. Di hadapan tasawuf, akal bukanlah ditinggalkan, tetapi dibimbing. Sebab akal adalah kaki yang berjalan di bumi, sementara hati adalah sayap yang terbang menuju langit. Sufi mengerti bahwa tanpa kaki, sayap tak akan pernah kokoh; tanpa sayap, kaki tak akan pernah mencapai horizon cahaya.

Sufi bukanlah sekadar gelar yang tersemat karena pakaian wol atau sorban putih yang membungkus kepala. Ia adalah keadaan batin, sebuah perjalanan seumur hidup yang tak diukur oleh jarak, melainkan oleh seberapa dekat seseorang kepada Tuhan. Ia lahir dari kerendahan hati untuk mengakui bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara, dan bahwa segala yang tampak adalah bayangan dari yang Hakiki. Sufi tidak hidup untuk menolak dunia, melainkan untuk menempatkannya di tempat yang benar: di telapak tangan, bukan di dalam hati.

Di dalam lorong tasawuf, setiap langkah adalah doa, setiap tarikan napas adalah tasbih, dan setiap hembusan adalah tahlil. Zikir bukan sekadar pengucapan kata, melainkan kesadaran penuh akan kehadiran-Nya di setiap detak nadi. Mereka yang berjalan di jalan ini tahu bahwa dunia penuh dengan suara—tetapi mereka memilih untuk mendengarkan suara yang paling halus: bisikan rahmat dari Sang Pencipta. Dalam kesendirian mereka, bukan kesepian yang dirasa, melainkan keintiman yang tak dapat diungkap dengan bahasa manusia.

Sufi memandang hidup seperti seorang pelukis memandang kanvas: setiap warna, baik terang maupun gelap, adalah bagian dari lukisan yang dirancang oleh Allah. Mereka tidak menolak kesedihan, sebab kesedihan mengajarkan kerendahan hati. Mereka tidak mabuk oleh kebahagiaan, sebab kebahagiaan adalah titipan yang suatu saat akan kembali kepada-Nya. Segala sesuatu diterima dengan ridha, bukan karena pasrah buta, tetapi karena keyakinan bahwa segala takdir adalah surat cinta dari Allah yang dibungkus dalam rahasia.

Tasawuf mengajarkan bahwa hati manusia bagaikan telaga. Jika airnya keruh oleh amarah, dengki, dan keserakahan, ia tak akan pernah mampu memantulkan langit. Maka sufi membersihkan telaganya melalui muhasabah diri, menangisi dosa di tengah malam, merendahkan diri di hadapan manusia, dan mengangkat pandangan hanya kepada Allah. Mereka memahami bahwa musuh terbesar bukanlah setan yang berbisik di telinga, melainkan ego yang bersemayam di dada. Melawan ego adalah jihad yang paling berat, dan kemenangan di medan ini tidak diumumkan dengan teriakan, melainkan dirayakan dalam hening yang penuh syukur.

Dalam tasawuf, ilmu bukan hanya dipelajari dengan membaca, tetapi dengan mengalami. Sufi dapat menghabiskan malamnya membaca ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi ia juga membaca alam semesta—daun yang gugur, hujan yang turun, burung yang terbang—semuanya adalah ayat-ayat tak tertulis yang menyampaikan pesan Ilahi. Sufi tidak memisahkan dunia lahir dan batin; keduanya adalah dua wajah dari satu kebenaran. Seperti matahari yang memberi cahaya pada siang dan bulan yang memantulkan sinarnya pada malam, kehidupan duniawi dan kehidupan ruhani saling melengkapi.

Bagi seorang sufi, zikir bukan sekadar repetisi kata, tetapi sebuah tarian batin di hadapan Sang Kekasih. Ada yang melantunkannya dalam kesunyian, ada yang dalam irama yang memabukkan hati, namun tujuannya sama: melarutkan diri dalam samudra kehadiran Allah hingga lenyap rasa ‘aku’ dan yang tinggal hanyalah ‘Dia’. Sufi memahami bahwa hakikat perjalanan adalah hilangnya jarak antara pencari dan yang dicari. Mereka menyebut momen itu sebagai fana: lenyapnya ego dalam cahaya cinta-Nya, lalu bangkit kembali dalam keadaan baqa: hidup dengan kesadaran penuh akan kehadiran-Nya di setiap detik kehidupan.

Namun, jalan ini bukan tanpa ujian. Sufi sering berjalan sendirian di tengah masyarakat yang sibuk mengukur hidup dengan timbangan harta dan pujian. Mereka bisa disalahpahami, dituduh menjauh dari dunia, atau bahkan dianggap menyimpang. Tetapi sufi tidak mencari pembenaran di mata manusia; ia mencari keridhaan di hadapan Allah. Ia tahu bahwa perjalanan ini adalah perjalanan pulang, dan setiap langkah, walau terasa berat, adalah langkah menuju rumah sejati.

Tasawuf tidak mengajarkan untuk meninggalkan pekerjaan atau kewajiban sosial. Seorang sufi bisa saja menjadi petani, pedagang, guru, atau pemimpin. Namun, apa pun perannya, ia menanamkan benih keikhlasan di setiap perbuatannya. Ia menimbang niat sebelum menimbang hasil, sebab ia tahu bahwa di hadapan Allah, niat yang murni lebih berat daripada pencapaian yang gemilang. Bekerja baginya adalah ibadah, tidur adalah istirahat untuk kembali mengabdi, dan berinteraksi dengan manusia adalah ladang untuk menanam kesabaran dan kasih sayang.

Di dunia yang penuh hiruk pikuk ini, tasawuf hadir sebagai pelita yang tak padam di tengah badai. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari memiliki segalanya, tetapi dari merasa cukup. Ia mengingatkan bahwa ketenangan bukan hadiah yang datang dari luar, melainkan bunga yang mekar di dalam hati yang telah disiram dengan zikir dan dijaga dari racun keserakahan. Sufi hidup di dunia, tetapi hatinya melayang di langit, seperti perahu yang berlayar di samudra luas namun tidak pernah membiarkan air masuk ke dalamnya.

Ketika seseorang memutuskan untuk menapaki jalan tasawuf, ia sedang memutuskan untuk mengenal dirinya lebih dalam, dan dengan itu, mengenal Tuhannya. “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya,” demikian kata hikmah yang berulang kali diucapkan di majelis-majelis para sufi. Pengenalan ini bukanlah sekadar pengetahuan intelektual, melainkan kesadaran yang hidup, yang memengaruhi cara pandang, sikap, dan rasa. Sufi melihat dirinya bukan sebagai pusat alam semesta, melainkan sebagai titipan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya.

Akhirnya, tasawuf adalah undangan untuk menyucikan hati, memperbaiki akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ia bukan sekadar teori atau ritual, tetapi jalan hidup yang menuntun manusia untuk menjadi lebih manusiawi sekaligus lebih Ilahi. Sufi adalah cermin yang memantulkan cahaya-Nya ke dunia, tanpa menahan sinar itu untuk dirinya sendiri. Ia berjalan di bumi dengan kaki yang berdebu, namun hatinya bercahaya laksana bintang.

Dan ketika perjalanan itu mencapai ujungnya, sufi tahu bahwa ia tidak akan membawa apa pun kecuali hati yang bersih. Sebab di hadapan Allah, emas tak bernilai, mahkota tak berharga, gelar tak berarti—yang tersisa hanyalah sejauh mana hati itu pernah mencintai-Nya. Maka setiap langkah di jalan tasawuf adalah latihan untuk pulang, agar ketika panggilan itu datang, ia pulang bukan sebagai tamu asing, melainkan sebagai kekasih yang dirindukan.

Tasawuf adalah seni pulang ke rumah, rumah yang tak terbuat dari batu atau kayu, melainkan dari cahaya dan kasih sayang Ilahi. Dan sufi, dalam kesunyian langkahnya, hanyalah seorang musafir yang tak pernah lelah mencari, hingga akhirnya ia menyadari bahwa yang ia cari selalu berada di dalam dirinya—sejak awal, hingga akhir.