Indonesia sebuah ironi Negara Besar Tanpa Fondasi Olahraga

Table of Contents


Indonesia, negara dengan lebih dari 280 juta penduduk, seharusnya menjadi kekuatan besar dalam dunia olahraga, tidak hanya di tingkat regional ASEAN, tapi juga Asia, bahkan dunia. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya—Indonesia berada di posisi tertinggal hampir di semua cabang olahraga populer. Dari sepak bola, bola basket, bola voli, hingga atletik dan renang, kekalahan 0 - 1 dari Thailand di Fiala Aff u23 menjadi bukti lemahnya prestasi olahraga kita, prestasi Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga yang jumlah penduduknya jauh lebih kecil seperti Thailand, Vietnam, bahkan Filipina. Lebih menyedihkan lagi, hampir 80 persen pemain di tim nasional sepak bola senior Indonesia saat ini berasal dari jalur naturalisasi. Fakta ini menampar kesadaran nasional bahwa kita gagal membangun akar olahraga dari rumah sendiri.

Akar dari persoalan ini tidak tunggal, tetapi saling berkait dan mengakar dalam sistem yang carut-marut. Pertama, tidak adanya sistem pembinaan atlet muda yang berkesinambungan dan terstruktur dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan membangun sistem olahraga nasionalnya dari sekolah—dengan liga antar sekolah yang jelas, terjadwal, dan kompetitif sepanjang tahun. Di Thailand dan Vietnam, olahraga adalah bagian dari sistem pendidikan, bukan sekadar ekstra kurikuler atau kegiatan opsional. Sementara di Indonesia, kompetisi antar pelajar atau antar kampus sering kali hanya sebatas acara seremoni tahunan, tanpa sistem pemantauan perkembangan atlet atau keberlanjutan latihan.

Kedua, tata kelola olahraga di Indonesia tidak hanya lemah tetapi juga sering kali berjalan tanpa arah. Federasi olahraga banyak yang dikuasai oleh kepentingan politik atau elit yang tidak punya kompetensi teknis di bidang olahraga banyak ketua ketua federasi dari orang orang Politik atau dari luar bidang tersebut. Tidak sedikit pengurus yang lebih mementingkan pencitraan dan kekuasaan ketimbang membangun sistem yang kuat untuk generasi muda. Akibatnya, kebijakan berubah-ubah, program pembinaan sering berhenti di tengah jalan seiring bergantinya kepengurusan, dan pelatih muda yang idealis justru tersingkir oleh sistem yang korup dan tidak meritokratis.

Ketiga, hampir tidak ada ekosistem kompetisi yang sehat untuk para atlet muda. Di Eropa, Amerika, bahkan Vietnam kini, anak-anak muda bisa bertanding setiap pekan dalam liga yang rapi, tersistem, dan tertata dari usia dini. Kompetisi menciptakan tekanan, pengalaman, dan kebiasaan bertanding—tiga hal yang tidak bisa digantikan oleh latihan semata. Di Indonesia, anak berbakat sering berhenti di usia 15 atau 17 tahun karena tidak ada wadah untuk bertanding secara berkelanjutan. Mereka tenggelam dalam dunia kerja, ditinggalkan oleh sistem, dan akhirnya mengubur potensinya.

Lalu bagaimana solusi untuk semua ini? Jawabannya bukan perbaikan kecil atau tambal sulam, tetapi harus ekstrem dan radikal. Pemerintah harus membentuk satu otoritas olahraga nasional yang benar-benar independen dan profesional, terpisah dari kepentingan politik dan birokrasi kementerian. Lembaga ini harus diberi mandat khusus dan kekuatan hukum penuh untuk merombak total sistem pembinaan olahraga sejak usia dini. Seluruh sekolah dari tingkat dasar hingga menengah wajib memiliki program olahraga terintegrasi, dengan liga tahunan yang terhubung hingga tingkat nasional. Setiap kabupaten harus memiliki minimal satu pusat pelatihan olahraga terpadu yang modern, lengkap dengan pelatih bersertifikat dan psikolog olahraga.

Di sisi lain, pembinaan harus diberi insentif jangka panjang. Atlet muda harus dijamin pendidikan, kesehatan, dan masa depan karier mereka, agar orang tua tidak ragu untuk mengizinkan anak-anaknya menekuni olahraga secara serius. Klub olahraga juga harus diwajibkan merekrut dan membina pemain dari usia muda, bukan hanya membeli pemain asing. Sanksi berat harus diberikan kepada klub dan federasi yang hanya mengandalkan pemain impor tanpa membina akar rumput. Media massa dan sponsor juga harus dilibatkan dalam membangun narasi baru bahwa olahraga bukan hanya hiburan, tetapi investasi bangsa.

Indonesia tidak kekurangan talenta. Yang kurang adalah kemauan politik, integritas tata kelola, dan keberanian untuk memulai dari bawah. Saat ini, kita tidak sedang berjalan lambat—kita sedang tertinggal dan jalan di tempat, sementara negara-negara tetangga sudah berlari. Jika tidak ada perubahan ekstrem dalam satu dekade ke depan, Indonesia hanya akan jadi penonton di panggung olahraga regional, bahkan mungkin tidak layak disebut sebagai negara olahraga sama sekali. Sudah waktunya bangkit, membongkar fondasi yang rapuh, dan membangun ulang sistem pembinaan olahraga nasional yang pantas bagi bangsa sebesar ini.