Garut yang Merana..
Garut, sebuah kabupaten yang dikenal dengan potensi alam nan indah serta budaya yang kaya, seharusnya mampu menjadi contoh keberhasilan pembangunan wilayah berbasis kearifan lokal. Namun, fakta di lapangan menyajikan kenyataan yang jauh berbeda: berbagai masalah sosial, struktural, dan ekologis justru menjerat Garut dalam lingkar stagnasi pembangunan. Kondisi ini bukan hanya sekadar persoalan teknis, tetapi cerminan dari sistem tata kelola yang rapuh dan kerangka kebijakan daerah yang cenderung gagal menjawab kebutuhan masyarakat secara nyata. Dari birokrasi yang berbelit, ketimpangan sosial, penanganan sampah yang buruk, kualitas SDM yang rendah, hingga korupsi, semua seakan menjadi bagian dari sebuah ekosistem persoalan yang saling terkait dan berlapis.
Pada tahun-tahun terakhir, birokrasi di Kabupaten Garut kerap menjadi sorotan karena proses perizinan usaha maupun layanan publik yang lambat dan tidak transparan. Banyak pelaku usaha kecil mengeluhkan proses administrasi yang panjang serta adanya indikasi pungutan liar dalam pengurusan dokumen, sehingga menurunkan minat investasi lokal. Rendahnya efisiensi birokrasi ini berkontribusi langsung terhadap lambatnya pertumbuhan ekonomi daerah dan memperlebar ketimpangan antarwilayah. Data BPS menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan masyarakat Garut masih berada pada level yang mengkhawatirkan dengan Indeks Gini yang stagnan di angka 0,38, menunjukkan distribusi kesejahteraan yang tidak merata antara kota dan desa.
Sementara itu, persoalan sosial juga semakin kompleks. Tingkat kemiskinan pada tahun terakhir masih bertahan di sekitar 9,86%, lebih tinggi dibandingkan rata-rata Provinsi Jawa Barat. Fenomena ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga karena rendahnya kualitas sumber daya manusia. Angka putus sekolah di beberapa kecamatan masih tinggi, dan banyak lulusan sekolah yang tidak terserap dalam lapangan kerja formal karena keterampilan yang tidak memadai. Hal ini diperparah dengan kurangnya akses pelatihan vokasional yang relevan dan minimnya fasilitas pendidikan bermutu di wilayah perdesaan. Kualitas kesehatan masyarakat pun ikut terdampak, terlihat dari kasus stunting yang masih di kisaran 26%, menggambarkan problem serius dalam pemenuhan gizi masyarakat miskin.
Di sisi lain, krisis lingkungan di Garut semakin terlihat nyata. Penanganan sampah di banyak kelurahan belum tertata baik. Timbunan sampah rumah tangga masih sering terlihat di bantaran sungai dan sudut-sudut pasar, menciptakan risiko penyakit serta mencemari aliran sungai yang menjadi sumber irigasi. Sistem pengelolaan sampah berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recycle) belum berjalan optimal karena keterbatasan fasilitas dan kurangnya kesadaran masyarakat. Drainase kota yang buruk menjadikan wilayah perkotaan kerap dilanda banjir meski hanya diguyur hujan sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 40% saluran drainase di wilayah kota Garut mengalami penyempitan akibat sedimentasi dan tumpukan sampah, yang menghambat aliran air hujan dan menyebabkan genangan di jalan utama.
Rusaknya infrastruktur jalan juga menjadi keluhan utama warga. Beberapa jalur utama, terutama menuju sentra ekonomi dan pariwisata, sering dalam kondisi berlubang dan tidak terawat. Hal ini menyebabkan biaya logistik lebih tinggi dan memperburuk mobilitas sosial-ekonomi masyarakat. Kerusakan jalan tersebut juga menunjukkan lemahnya perencanaan serta pengawasan proyek pembangunan oleh pemerintah daerah. Dalam banyak kasus, proyek peningkatan jalan tidak bertahan lama karena kualitas pekerjaan yang buruk dan minimnya pengawasan, mengindikasikan adanya penyimpangan anggaran atau korupsi.
Masalah korupsi sendiri menjadi sisi gelap lain dari stagnasi ini. Kasus-kasus penyalahgunaan anggaran daerah, mark up proyek, hingga gratifikasi menjadi catatan buruk yang berulang. Kepercayaan masyarakat terhadap perangkat pemerintahan otomatis menurun, menimbulkan sikap apatis dan ketidakpedulian terhadap kebijakan publik. Ketika masyarakat sudah tidak lagi percaya, partisipasi dalam pembangunan juga menurun, sehingga menciptakan siklus disfungsional yang sulit diputus. Transparansi anggaran yang belum maksimal serta belum terbangunnya sistem pengawasan berbasis akuntabilitas komunitas menjadi faktor pendorong budaya koruptif ini tetap subur.
Keruwetan tata ruang kota menambah daftar panjang persoalan Garut. Pedagang kaki lima (PKL) yang tersebar tidak teratur di pusat kota menciptakan kesemrawutan lalu lintas dan mengganggu estetika kota. Penertiban acap kali hanya bersifat temporer dan tidak menyentuh akar masalah, yakni ketidaktersediaan lahan usaha formal yang terjangkau. PKL membutuhkan ruang, tetapi kebijakan penataan ruang tidak menyediakan zona ekonomi informal secara jelas. Akibatnya, mereka kembali mengokupasi trotoar dan badan jalan. Keadaan ini diperparah dengan tidak adanya sinkronisasi antara dinas perdagangan, perhubungan, dan Satpol PP dalam menyusun skema jangka panjang penataan kawasan.
Jika dicermati lebih dalam, Garut sesungguhnya memiliki modal besar untuk bangkit: potensi wisata alam, pertanian, dan keterampilan masyarakat yang masih bisa dioptimalkan. Tetapi semua potensi itu terkunci oleh hambatan sistemik, mulai dari lemahnya koordinasi antar-instansi, minimnya inovasi kebijakan berbasis data, hingga budaya politis yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok dibanding kesejahteraan masyarakat luas. Sementara daerah lain berlari cepat dengan digitalisasi layanan publik dan pemangkasan birokrasi, Garut masih berkutat dengan dokumen fisik, tanda tangan berlapis, dan proses administrasi yang lamban.
Agar keluar dari pusaran masalah ini, perlu dilakukan pembenahan menyeluruh yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan komunitas lokal. Reformasi birokrasi menjadi langkah mendasar yang harus dilakukan secara serius dan konsisten, termasuk digitalisasi layanan publik dan penerapan sistem pengawasan anggaran berbasis transparansi real time. Pendidikan dan pelatihan vokasional perlu ditingkatkan secara masif agar kualitas SDM meningkat dan relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Program pemberdayaan ekonomi lokal harus difokuskan pada peningkatan nilai tambah produk pertanian dan UMKM dengan memberikan akses modal, pelatihan manajemen, dan akses pasar lebih luas.
Di bidang tata ruang dan lingkungan, pemerintah perlu menerapkan kebijakan penataan kota berbasis konsep pembangunan berkelanjutan. PKL harus diberi ruang khusus dalam desain kota, bukan hanya sekadar ditekan, tetapi diintegrasikan secara sosial dan ekonomis. Pengelolaan sampah harus berbasis partisipasi masyarakat melalui penguatan bank sampah, insentif pengurangan sampah plastik, dan peningkatan infrastruktur pengolahan sampah. Drainase harus dibangun ulang dengan desain teknis yang mempertimbangkan intensitas hujan dan perubahan iklim. Jalan rusak perlu diperbaiki menggunakan kontraktor yang kredibel dan sistem pengawasan ketat, serta memanfaatkan teknologi modern dalam pelapisan jalan agar lebih tahan lama.
Lebih jauh lagi, penegakan hukum terhadap pelaku korupsi di daerah harus tegas dan menjadi efek jera. Budaya lapor masyarakat harus diperkuat melalui sarana whistleblowing system yang aman, sehingga masyarakat berani melaporkan penyimpangan. Pemerintah pusat juga perlu melakukan evaluasi berkala terhadap kinerja pemerintah daerah secara obyektif dan memberi sanksi pada kepala daerah yang terbukti gagal mengelola anggaran dan pelayanan publik.
Pada akhirnya, permasalahan Garut bukan hanya soal jalan berlubang atau sampah menumpuk. Ini adalah persoalan tata kelola, kebijakan yang tidak berpihak, dan budaya birokrasi yang usang. Butuh keberanian politik dan kemauan kuat dari semua pihak untuk keluar dari kondisi ini. Garut memiliki segala prasyarat untuk maju, tetapi jika tata kelola tidak berubah, maka potensi sebesar apapun hanya akan menjadi wacana dan retorika. Transformasi sistemik adalah kata kunci, sebab tanpa itu, Garut hanya akan terus menjadi contoh nyata bagaimana daerah kaya sumber daya bisa tertinggal karena kesalahan pengelolaan yang berkepanjangan.
Sudah saatnya Garut tidak lagi terjebak dalam narasi “potensi besar namun tertinggal,” melainkan bergerak menjadi model reformasi daerah yang berhasil. Dengan langkah yang terstruktur dan kesadaran kolektif yang kuat, kabupaten ini bisa menjadi simbol kebangkitan daerah yang berangkat dari kesadaran masalah dan kesungguhan mencari solusi. Jika pemerintah, masyarakat, dan seluruh lapisan mau berjalan seiring, maka masa depan Garut bisa berubah dari potret stagnan menjadi wajah cerah pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.