Buruknya Pengelolaan Wisata di Kabupaten Garut
Garut dikenal sebagai salah satu daerah dengan potensi wisata alam yang luar biasa di Jawa Barat, bahkan di Indonesia. Gunung-gunung yang megah, pantai-pantai yang eksotis, air terjun yang menawan, hingga kawah vulkanik yang memikat telah menjadikan Garut bak “permata tersembunyi” di peta pariwisata nusantara. Namun di balik panorama yang memanjakan mata, tersimpan ironi mendalam: pengelolaan tempat wisata yang carut-marut, jauh dari standar yang seharusnya menjadi wajah keramahan dan profesionalisme sektor pariwisata.
Akses jalan menuju banyak destinasi wisata di Garut menjadi salah satu penghalang terbesar. Beberapa jalur menuju objek wisata andalan—mulai dari pantai selatan hingga kawasan pegunungan—masih rusak parah, penuh lubang, sempit, dan minim penerangan. Infrastruktur transportasi yang tidak memadai tidak hanya menurunkan minat wisatawan untuk datang kembali, tetapi juga berdampak pada keselamatan dan kenyamanan. Dalam ilmu manajemen pariwisata, aksesibilitas merupakan faktor kunci yang berpengaruh langsung terhadap daya tarik dan pertumbuhan destinasi. Sayangnya, Garut seolah terjebak dalam siklus lambannya perbaikan infrastruktur yang membuat potensi wisata tak pernah berkembang optimal.
Promosi wisata Garut pun masih jauh dari kata efektif. Materi promosi yang tersebar sering kali tidak terkonsep dengan baik, minim narasi yang kuat, dan tidak jarang terkesan seadanya. Padahal, di era digital, branding destinasi membutuhkan pendekatan kreatif yang mampu menonjolkan keunikan, kisah budaya, dan pengalaman otentik yang ditawarkan. Kabupaten lain dengan potensi alam lebih kecil bisa menembus pasar nasional dan internasional berkat strategi promosi yang rapi dan konsisten, sementara Garut masih mengandalkan metode konvensional yang sulit bersaing.
Fasilitas di banyak tempat wisata di Garut juga kerap mengecewakan. Toilet umum yang tidak terawat, area parkir sempit, tempat sampah yang kurang, hingga minimnya papan informasi membuat pengalaman wisata menjadi kurang nyaman. Dalam konteks pariwisata berkelanjutan, fasilitas bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian integral dari citra destinasi. Buruknya kualitas fasilitas akan menciptakan kesan negatif yang bertahan lama di ingatan pengunjung.
Persoalan lain yang tak kalah merusak citra adalah maraknya praktik pungutan liar di sejumlah objek wisata. Mulai dari parkir liar dengan tarif seenaknya hingga “biaya tambahan” yang tidak resmi, fenomena ini menimbulkan rasa tidak aman dan ketidaknyamanan bagi wisatawan. Keberadaan pungli bukan hanya masalah etika, tetapi juga mencerminkan lemahnya pengawasan dan tata kelola di tingkat lapangan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menggerus kepercayaan wisatawan dan memicu turunnya jumlah kunjungan.
Lebih jauh, pengelolaan wisata di Garut sering kali tidak memiliki konsep keberlanjutan. Banyak destinasi dibuka secara mendadak tanpa perencanaan matang, dibiarkan berkembang tanpa standar pengelolaan lingkungan, lalu perlahan kehilangan pesonanya akibat kerusakan alam dan fasilitas yang tak pernah diperbarui. Wisata berbasis alam memerlukan keseimbangan antara eksploitasi ekonomi dan pelestarian lingkungan. Tanpa regulasi yang jelas, Garut berisiko kehilangan daya tarik utama yang selama ini menjadi modal utamanya.
Potret ini menunjukkan bahwa masalah pariwisata Garut bukan sekadar soal kurangnya dana, tetapi juga lemahnya visi, koordinasi, dan kemauan politik. Pengelolaan yang terintegrasi membutuhkan sinergi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, masyarakat lokal, dan komunitas pecinta lingkungan. Tanpa perubahan mendasar dalam perencanaan dan implementasi kebijakan, Garut akan terus berada di persimpangan: memiliki keindahan alam yang memikat dunia, tetapi gagal mengubahnya menjadi kekuatan ekonomi yang berkelanjutan.
Jika dibiarkan, carut-marut ini akan menjadi cerita berulang—destinasi yang viral sesaat, ramai sebentar, lalu perlahan ditinggalkan karena kekecewaan. Garut memiliki segala syarat untuk menjadi salah satu pusat pariwisata unggulan di Indonesia, namun semua itu hanya akan menjadi mimpi jika pengelolaannya tetap berjalan seperti sekarang: tanpa arah yang jelas, tanpa sentuhan profesionalisme, dan tanpa komitmen untuk menjaga pesona alamnya untuk generasi mendatang.