Carut-marut pengelolaan pasar tradisional di Kabupaten Garut
Pada tataran regulasi, Peraturan Daerah Kabupaten Garut No. 2 Tahun 2009 menetapkan pasokan sarana prasarana pasar tradisional seperti kios, drainase, tempat pembuangan sementara, toilet, air bersih, fasilitas keamanan, hingga ruang terbuka hijau dan pusat informasi yang seharusnya terpenuhi Namun realitasnya, sebagian besar pasar tradisional, terutama yang belum menjalani revitalisasi, gagal memenuhi standar tersebut. Misalnya, Pasar Wanaraja kekurangan sarana dasar seperti saluran air, area muat‐bongkar, pos keamanan, hingga tempat pembuangan limbah. Akibatnya, pasar tampak kumuh dan tak nyaman, dan masyarakat cenderung beralih ke pusat perbelanjaan modern.
Dalam Aspek aset fisik meliputi aksesibilitas, zonasi, sarana dan prasarana terdapat indikator signifikan yang menunjukkan kualitas pasar tradisional yang jauh dari ideal. Hasil penelitian terhadap tiga pasar Cilimus, Cibodas, dan Cisurupan mengindikasikan nilai rata-rata dimensi aksesibilitas masih “sangat kurang”: transportasi umum (nilai rata-rata ~2,99), kondisi jalan (~2,58), kedekatan fasilitas umum (~2,55). Zonasi perdagangan—pemisahan area dagang basah, kering, dan layanan dinilai tidak baik, karena tidak ada penataan yang jelas. Kondisi prasarana juga hanya “cukup”: fasilitas tersedia namun belum memadai, struktur bangunan banyak rusak, paving blok aus dan licin, dan riskan saat hujan. Temuan ini mencerminkan kelemahan struktural yang bersifat fundamental dan meluas.
Dari sisi sanitasi dan kebersihan, isu becek, bau, dan tumpukan sampah menjadi keluhan warga bahwa limbah air dan sisa dagangan menggenang karena drainase kecil, tersumbat, dan kurang dirawat; ditambah desain pasar yang tidak ramah lingkungan serta minim anggaran, sehingga lantai pasar becek dan licin secara rutin. Di sisi lain, usaha Pemkab melalui Gerakan Nasional Membersihkan Pasar Nusantara (GERNAS MAPAN) di Pasar Guntur/Ciawitali mencoba menjawab masalah sampah dengan pendekatan partisipatif dan penataan TPS, meski akses jalan dan bau masih menjadi tantangan. Pasar Cisurupan bahkan dilaporkan dikepung oleh sampah menumpuk selama dua pekan, akibat kerusakan truk pengangkut sampah.
Masalah tata ruang dan PKL (pedagang kaki lima) juga kerap menimbulkan kekacauan visual dan fungsional. Di banyak titik, PKL berjualan di luar area pasar tanpa pengaturan, menutupi akses dan menciptakan parkir liar; polisi PKL dan parkir liar saling mengisi kekosongan regulasi. Bupati Garut merespons hal ini dengan mewacanakan penertiban PKL, memperbaiki drainase dan jalan pasar, serta merelokasi PKL ke dalam area pasar agar lebih tertib Pada 1 Agustus 2025 dilakukan ground breaking rehabilitasi drainase sepanjang 2 400 m (Rp 779 juta, 120 hari) dan perbaikan jalan pasar sepanjang 384 m (Rp 674 juta, 90 hari), dengan pengawasan profesional oleh Inspektorat dan Kejaksaan Negeri.
Selain itu, kapasitas Pasar Guntur sudah over capacity; dengan luas lahan 3,3 hektare dan total pedagang mencapai sekitar 3 010 orang, pasar yang awalnya dirancang untuk ~1 000 pedagang kini sangat penuh. Maka, opsi jangka panjang, seperti perluasan, relokasi, atau konstruksi bertingkat menjadi perlu dipertimbangkan. Sementara itu, keberadaan pasar modern yang berkembang pesat (sekitar 200 pasar modern versus 70 pasar tradisional pada 2015) memperparah tekanan terhadap pasar tradisional yang minim fasilitas.
Masalah SDM pedagang juga turut menyulitkan pengelolaan pasar, karena banyak pedagang yang belum memahami prinsip kebersihan, zonasi, atau pengelolaan sampah. Hal ini diperparah oleh minimnya fasilitasi edukasi—inisiatif GERNAS MAPAN dan inovasi seperti pembakaran sampah di Pasar Cibatu menjadi contoh positif, namun masih terbatas jangkauannya.
Secara ringkas, carut‐marut pengelolaan pasar tradisional di Kabupaten Garut meliputi: tata kelola regulasi yang tidak dijalankan (infrastruktur belum sesuai aturan daerah), akses jalan rusak dan becek, kios kecil dan sempit, sanitasi amburadul, fasilitas umum minim, praktik pungli/parkir liar, bau dan sampah tak terkendali, parkir tak tertata, kemacetan, SDM pedagang rendah, dan minimnya keberlanjutan pengelolaan. Masalah ini bersifat sistemik dan saling memperkuat.
Kesimpulan dan Refleksi Pasar tradisional di Garut saat ini berada di titik kritis: idealnya menjadi pusat ekonomi inklusif, penopang UMKM, dan ruang kultural—tetapi realitasnya terkikis oleh kelemahan pengelolaan, infrastruktur, dan partisipasi stakeholder. Upaya revitalisasi, penataan PKL, perbaikan drainase/jalan, revitalisasi TPS, hingga edukasi pedagang merupakan langkah awal yang menjanjikan. Namun, untuk mewujudkan keberlanjutan, diperlukan integrasi lintas sektor: regulasi yang ditegakkan, dana pemeliharaan rutin, desain infrastruktur yang menyeluruh, pelibatan komunitas pedagang, dan sistem pengawasan transparan. Revitalisasi fisik mustahil berhasil tanpa perbaikan tata kelola dan peningkatan kapasitas SDM lokal. Pasar tradisional harus dipandang sebagai entitas ekonomi-sosial yang hidup, bukan sekadar ruang dagang.
Hanya dengan pendekatan komprehensif dan berkelanjutan seperti itu, pasar tradisional di Garut dapat berubah dari “fenomena becek dan sempit” menjadi ruang publik yang sehat, nyaman, dan menjanjikan keberlanjutan ekonomi dan sosial bagi masyarakat luas.