Bising yang Mencerminkan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Budaya Penghargaan terhadap Ketenangan
Dalam kehidupan sosial, suara bukan sekadar fenomena akustik, tetapi juga ekspresi budaya, psikologis, bahkan tingkat perkembangan suatu masyarakat. Suara bising yang berlebihan seperti sound system hajatan yang memekakkan telinga, kenalpot kendaraan yang dimodifikasi hingga menyalak di jalanan, serta musik keras yang diputar tanpa mempertimbangkan lingkungan sekitar, adalah gejala yang banyak ditemui di wilayah-wilayah dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah. Hubungan antara kebisingan dan kualitas SDM bukanlah asumsi subjektif semata, tetapi bisa ditelusuri secara ilmiah melalui perspektif psikologi sosial, sosiologi, dan neuropsikologi.
Kebisingan yang disengaja dan tidak memperhatikan kepentingan kolektif merupakan bentuk ekspresi egoisme sosial dan ketidakpekaan terhadap hak orang lain. Dalam banyak kasus, masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki pemahaman yang terbatas tentang konsep ruang publik, norma sosial, dan etika bersama. Mereka lebih berorientasi pada kepuasan sesaat dan ekspresi individual yang berlebihan, dibanding mempertimbangkan dampak sosial dari tindakannya. Suara bising dalam hal ini menjadi simbol dari kebebasan yang salah arah: kebebasan berekspresi yang tidak diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Hal ini diperparah oleh lemahnya penegakan hukum dan regulasi, serta absennya kesadaran kolektif tentang pentingnya ketenangan sebagai kebutuhan publik.
Penelitian dalam psikologi menunjukkan bahwa lingkungan yang bising secara kronis berkorelasi dengan tingkat stres yang lebih tinggi, gangguan tidur, penurunan performa kognitif, dan peningkatan agresivitas. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan bising memiliki risiko lebih besar mengalami gangguan konsentrasi dan penurunan prestasi belajar. Oleh karena itu, ketenangan bukan hanya persoalan kenyamanan, melainkan kebutuhan biologis dan psikologis yang berdampak langsung terhadap kualitas hidup dan produktivitas.
Berbeda dengan masyarakat di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, atau Swiss, di mana ketenangan dan keteraturan dipandang sebagai bagian dari peradaban dan etika bersama. Di negara-negara tersebut, suara keras bukan hanya dianggap sebagai gangguan, tetapi sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma sosial. Hal ini berakar pada sistem pendidikan yang menanamkan nilai respek terhadap orang lain sejak dini, serta kebijakan publik yang tegas terhadap gangguan lingkungan, termasuk polusi suara. Masyarakat negara maju juga cenderung memiliki kontrol diri yang tinggi, kemampuan regulasi emosi yang baik, serta orientasi terhadap kepentingan kolektif daripada hanya individu.
Nilai-nilai seperti empati, penghargaan terhadap waktu dan ruang orang lain, serta kesadaran akan pentingnya keseimbangan mental menjadi fondasi budaya tenang tersebut. Transportasi umum di Swiss misalnya, sangat sunyi bahkan saat penuh sesak. Di Jepang, menggunakan ponsel di kereta dianggap tidak sopan karena bisa mengganggu penumpang lain. Di Jerman, suara keras dari pesta malam hari dapat berujung pada intervensi polisi dan sanksi administratif. Semua ini menunjukkan bahwa ketenangan bukan sekadar kebiasaan, tetapi hasil dari peradaban sosial yang matang.
Fenomena bising di negara berkembang mencerminkan bukan hanya minimnya kesadaran ekologis, tetapi juga rendahnya tingkat refleksi diri dan pendidikan karakter. Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya soal penguasaan materi pelajaran, melainkan pembentukan akhlak sosial: bagaimana seseorang menyadari keberadaan orang lain dan batasan dirinya dalam ruang bersama. Kesadaran bahwa suara keras dapat menjadi bentuk kekerasan simbolik—menguasai ruang dengar tanpa izin—merupakan bentuk kecerdasan emosional yang belum tersebar merata di banyak lapisan masyarakat.
Oleh karena itu, untuk membangun masyarakat yang lebih tenang dan beradab, diperlukan intervensi yang sistemik: mulai dari pendidikan karakter di tingkat dasar, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran kebisingan, hingga kampanye kesadaran publik tentang pentingnya ketenangan bagi kesehatan mental dan sosial. Ketika masyarakat mampu saling menghargai ruang dan ketenangan satu sama lain, di situlah kita bisa menyebut diri kita benar-benar beradab. Sebab diam, dalam dunia yang bising, adalah bentuk tertinggi dari penghormatan.