Apakah rakyat sudah muak dengan sikap dan arogansi anggota DPR?
Dalam sejarah perjalanan demokrasi Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki posisi strategis sebagai representasi kehendak rakyat. Namun, idealisme yang seharusnya melekat pada lembaga ini seringkali berubah menjadi sekadar slogan kosong. Fenomena yang berulang dalam kehidupan politik Indonesia menunjukkan bahwa DPR kerap lebih sibuk mengurusi kepentingan partai dan kelompok tertentu dibandingkan dengan melayani kepentingan publik secara menyeluruh. Pertanyaan besar pun mengemuka: apakah rakyat kini sudah benar-benar muak dengan sikap dan arogansi para wakilnya di Senayan?
Ketidakpuasan masyarakat terhadap DPR bukanlah isu baru. Berbagai survei nasional tentang tingkat kepercayaan publik menunjukkan konsistensi penurunan dari waktu ke waktu. Lembaga legislatif yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas pemerintah justru sering terjebak dalam pusaran skandal, mulai dari korupsi berjamaah, perjalanan dinas yang menguras anggaran, hingga pembahasan undang-undang kontroversial yang dianggap minim partisipasi publik. Rakyat kerap merasa dijadikan sekadar objek formal dalam demokrasi prosedural, bukan subjek yang aspirasinya benar-benar diperjuangkan.
Arogansi anggota DPR tercermin dalam berbagai sikap mereka, baik di ruang publik maupun dalam kebijakan yang diproduksi. Tidak jarang masyarakat menyaksikan perdebatan di ruang sidang yang lebih menyerupai pertunjukan emosional daripada diskusi substantif. Saling interupsi, nada tinggi, bahkan perilaku tidak sopan kerap menghiasi layar televisi. Kondisi ini menimbulkan ironi besar: wakil rakyat yang seharusnya menjadi teladan justru mempertontonkan perilaku yang jauh dari nilai-nilai moral yang diharapkan. Lebih menyakitkan lagi, ketika kritik publik dialamatkan kepada DPR, sebagian anggotanya merespons dengan defensif dan bahkan merendahkan suara rakyat, seakan-akan kedudukan sebagai legislator memberi mereka legitimasi untuk berada di atas rakyat itu sendiri.
Salah satu akar kekecewaan masyarakat adalah maraknya kasus korupsi yang menjerat anggota DPR. Data resmi penegak hukum menunjukkan bahwa ratusan anggota dewan pernah terjerat kasus rasuah sejak era reformasi. Tidak jarang pula kasus tersebut berkaitan langsung dengan proyek besar yang seharusnya menjadi fasilitas publik. Ketika rakyat menghadapi kesulitan ekonomi, keterbatasan akses pendidikan, dan pelayanan kesehatan yang timpang, para wakil mereka justru sibuk membagi “kue anggaran” untuk kepentingan pribadi. Kontradiksi ini memperlebar jurang kepercayaan antara rakyat dan para elit politik.
Selain korupsi, kecenderungan DPR dalam memproduksi undang-undang yang kontroversial juga menambah daftar panjang kekecewaan publik. Beberapa regulasi yang lahir dalam beberapa tahun terakhir dipersepsikan lebih condong melayani kepentingan investasi besar daripada kepentingan rakyat kecil. Minimnya partisipasi publik dalam proses legislasi kerap menjadi sorotan. Rapat-rapat yang dilakukan secara tertutup, percepatan pembahasan tanpa kajian mendalam, serta penolakan terhadap masukan masyarakat sipil menimbulkan kesan bahwa DPR semakin menjauh dari prinsip demokrasi deliberatif. Tidak mengherankan jika aksi-aksi protes mahasiswa dan masyarakat sipil seringkali diarahkan ke gedung DPR sebagai simbol perlawanan terhadap arogansi politik.
Tingkat kepuasan publik yang rendah terhadap DPR dapat dilihat dalam survei persepsi kepercayaan terhadap institusi negara. Dalam beberapa laporan, DPR menempati posisi paling bawah atau mendekati dasar, jauh tertinggal dari lembaga-lembaga seperti TNI atau bahkan lembaga keagamaan. Artinya, rakyat tidak hanya sekadar kecewa, melainkan sudah mulai kehilangan kepercayaan fundamental terhadap fungsi representasi. Bila kondisi ini terus berlanjut, konsekuensi yang lebih serius dapat terjadi, yakni erosi legitimasi demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak bisa berjalan sehat jika wakil rakyat gagal merepresentasikan suara rakyat.
Arogansi anggota DPR juga tercermin dalam gaya hidup yang kontras dengan realitas rakyat banyak. Fasilitas mewah, gaji dan tunjangan besar, serta perjalanan dinas yang berlebihan menjadi sorotan publik. Ketika rakyat harus berhemat dalam menghadapi tekanan ekonomi, anggota DPR sering diberitakan menikmati fasilitas dengan dana negara. Fenomena ini melahirkan kesan ketidakadilan yang mencolok, seakan-akan wakil rakyat hidup dalam dunia paralel yang terpisah dari penderitaan konstituennya. Lebih parah lagi, ketika ada kritik terkait fasilitas tersebut, respons yang muncul justru defensif dan kadang disertai pernyataan yang menyinggung perasaan publik.
Dari sisi psikologis, perasaan muak yang muncul di kalangan rakyat adalah akumulasi kekecewaan yang tidak kunjung terjawab. Kekecewaan ini ibarat api kecil yang terus disiram dengan bensin setiap kali DPR mempertontonkan sikap arogan atau terjerat skandal baru. Lama kelamaan, api tersebut membesar menjadi kemarahan kolektif. Dalam ilmu sosial, kondisi ini dapat memunculkan distrust atau ketidakpercayaan sistemik yang membahayakan stabilitas politik jangka panjang. Jika rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada lembaga legislatif, maka legitimasi hukum dan kebijakan yang dilahirkan pun berpotensi dipertanyakan.
Namun demikian, tidak semua anggota DPR bisa digeneralisasi sebagai arogan atau korup. Masih ada segelintir wakil rakyat yang berusaha bekerja dengan integritas, mendengar suara konstituen, dan memperjuangkan kepentingan publik dengan sungguh-sungguh. Sayangnya, suara mereka sering tenggelam dalam dominasi perilaku kolektif yang negatif. Di mata rakyat, kebaikan individu akan sulit terlihat ketika lembaga secara keseluruhan lebih sering dikaitkan dengan citra buruk. Inilah yang menjelaskan mengapa meskipun ada anggota dewan yang bekerja serius, persepsi publik tetap cenderung negatif.
Rasa muak rakyat terhadap DPR sejatinya dapat menjadi momentum untuk mendesak reformasi kelembagaan. Transparansi dalam proses legislasi, penguatan sistem pengawasan internal, serta keterlibatan publik yang lebih luas harus menjadi prioritas. Tanpa perubahan fundamental, DPR hanya akan semakin kehilangan relevansi sosialnya. Jika suara rakyat yang seharusnya menjadi dasar legitimasi diabaikan, maka kehadiran DPR hanya akan menjadi beban demokrasi, bukan pilar yang memperkokohnya.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang apakah rakyat sudah muak dengan sikap dan arogansi DPR mungkin tidak lagi membutuhkan jawaban panjang. Indikator-indikator empiris dari survei kepercayaan publik, intensitas kritik di media sosial, serta gelombang protes mahasiswa sudah cukup menjadi bukti nyata. Rakyat tidak hanya sekadar kecewa, tetapi benar-benar letih menghadapi pola perilaku yang berulang dari wakilnya. Demokrasi Indonesia akan menghadapi tantangan serius jika DPR tidak segera mereformasi diri. Karena dalam demokrasi, legitimasi terbesar bukanlah berasal dari kursi atau fasilitas mewah, melainkan dari kepercayaan rakyat yang diwakili.
Dengan demikian, muak yang dirasakan rakyat bukan sekadar ekspresi emosional sesaat, melainkan refleksi mendalam atas ketidakpuasan struktural terhadap lembaga legislatif. Jika DPR terus berjalan di jalur arogansi dan abai terhadap aspirasi publik, maka bukan tidak mungkin rakyat akan mencari jalan lain untuk menyuarakan kehendaknya. Dalam sebuah negara demokrasi, hal itu bisa berwujud dalam gelombang perlawanan politik, penolakan kebijakan, hingga tuntutan reformasi lebih radikal. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa suara rakyat yang muak mampu mengguncang kekuasaan, dan hal itu seharusnya menjadi pengingat bahwa kekuasaan yang tidak lagi berpihak kepada rakyat pada akhirnya hanya akan berakhir di meja pengadilan sejarah.