Apakah aturan Pajak di Indonesia sudah Adil.
Dalam lanskap ekonomi Indonesia kontemporer, menyusun pilar keadilan bukan hanya soal membayar pajak, melainkan menyuntikkan esensi moral pada sistem fiskal. Namun realitas yang tampak justru menyiratkan paradoks yang menyayat—UMKM dan rakyat berpenghasilan rendah seakan bekerja sebagai benteng sementara, sementara konglomerat dan pemilik modal besar menikmati keleluasaan, bahkan celah untuk menghindar dari beban yang sama.
UMKM yang aksinya membentuk tulang punggung ekonomi—menyumbang mayoritas unit usaha negara, menyerap tenaga kerja dalam jumlah masif, dan menopang hampir dua pertiga dari Produk Domestik Bruto nasional—dipaksa menghadapi sistem pajak yang menyederhanakan administrasi namun tanpa keadilan horizontal. Tarif final sebesar 0,5 % dari omzet bruto memang menyederhanakan pelaporan dan pembukuan, tetapi sama beratnya bagi UMKM bermargin rendah maupun tinggi, padahal kemampuan finansial mereka sangat berbeda.
Regulasi ini bahkan menciptakan insentif tersamar: pelaku usaha dipaksa menjaga omzet agar tetap di bawah ambang tertentu demi menghindari tarif normal—meski konsekuensinya adalah menjaga usaha dalam zona ketidakoptimalan yang merugikan pertumbuhan. Pergeseran kebijakan baru—menuju tarif normal bagi UMKM mulai 2025, seperti diatur dalam revisi norma pajak—menambah beban tanpa pendampingan yang memadai, menimbulkan ancaman terhadap kelangsungan usaha yang baru saja bernapas ke ranah formal.
Di ranah online, kebijakan PMK baru mewajibkan marketplace untuk memungut pajak—tarif flat 0,5 % dari omzet bruto, baik untuk pedagang skala mikro maupun besar. Skema ini memang mereduksi administrasi UMKM, tetapi dengan cara yang seragam, tanpa memperhitungkan disparitas kemampuan bayar. Pedagang dengan omzet besar tetap dikenai pajak yang sama, sementara yang sangat kecil tetap harus berhati-hati mengurus surat pernyataan pembebasan agar tidak secara tak semestinya dipungut.
Sementara itu, di balik gemerlap pendapatan digital dan kapitalisme global, terdapat praktik manipulasi data dan pengalihan keuntungan oleh pelaku usaha besar dan konglomerat. Mereka tidak hanya mampu memanfaatkan kelengkapan sistem yang longgar, tetapi sering kali lolos dari pengawasan karena skema insentif, tax holiday, atau tax allowance yang spektakuler—tanpa pertanggungjawaban publik.
Sistem pajak yang seharusnya mengedepankan prinsip “ability to pay” malahan tidak berpihak kepada yang lemah. UMKM merasakan dampak langsung dari pungutan—kalau tidak secara langsung, maka lewat beban administratif, kebutuhan pembukuan, atau risiko kesalahan teknis. Orang kecil merasa pajak menjadi pisau yang lebih tajam ketika diarahkan pada mereka. Di sisi lain, pemilik modal besar tampak mutlak terlindungi—memiliki akses untuk melakukan struktur ulang keuntungan, pendirian entitas di luar negeri, atau memanfaatkan celah regulasi tanpa disadari oleh sistem.
Lebih ironis ketika melihat struktur birokrasi dan sistem pajak yang masih jauh dari ideal. Rasio pajak terhadap PDB Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga, menunjukkan ketidakmampuan sistem dalam memaksimalkan potensi penerimaan. Rendahnya kepatuhan pajak, terlebih di sektor informal, berakar dari ketidakpahaman, rendahnya kepercayaan terhadap manfaat pajak, dan birokrasi yang kerap membenci, bukan memfasilitasi.
Birokrasi itu belum sepenuhnya tersistem secara modern—kalau pun ada jargon revolusi seperti “Coretax”, implementasinya belum mencakup transparansi sistemik atau peningkatan akuntabilitas. Tanpa modernisasi sistemik, sistem pajak terus menjadi labirin bagi rakyat biasa, dan arena yang dipenuhi ritual untuk pemilik modal besar.
Poin yang menyakitkan adalah korupsi dalam sistem. Kasus-kasus pejabat pajak menerima gratifikasi dan suap—kadang dalam jumlah yang menyedot triliunan—adalah testimoni tragis: sistem yang seharusnya melindungi keadilan malah dirusak dari dalam. Ketika publik membaca berita skandal pajak, mereka tidak hanya merasa dikhianati, tetapi kehilangan harapan bahwa pajak suatu saat mendukung mereka, bukan memperbudak.
Semua ini menciptakan citra sistem yang abusif dan sembrawut. Pajak tak lagi menjadi solidaritas fiskal, melainkan instrumen yang menyudutkan. UMKM, dengan kapasitas terbatas untuk administrasi formal, merasakan beban moral extra—karena sementara mereka mematuhi, banyak yang kaya malah bermain-main di celah kurang dipantau.
Keadilan pajak sejatinya harus lahir dari kelembagaan yang sehat: sistem yang progresif, memperhitungkan kapasitas bayar, dilengkapi kerangka transparansi menyeluruh, dan dikawal oleh birokrasi bersih. “Level playing field” bukan hanya jargon, melainkan kewajiban moral. Tanpa reformasi struktural, sistem hanya akan menambah lubang ketimpangan—menyudutkan banyak dan membiarkan sedikit perkasa tetap leluasa.
Untuk mengurai ketimpangan ini, reformasi perlu bermula dari penurunan ambang batas PMK dan PP yang seragam; memperketat sistem pelaporan yang progresif; memperkuat pengawasan atas korporasi besar; dan melibas praktik manipulasi laba dan insentif yang berlebihan. Lebih dari itu, sistem wajib melibatkan publik dalam dialog pajak agar bisa dipahami, dibenahi, dan dirawat sebagai instrumen bersama, bukannya beban tersembunyi.
Akhirnya, pajak harus kembali pada esensinya: sebagai instrumen keadilan ekonomi, solidaritas sosial, dan tanggung jawab bersama. Jika dibiarkan timpang, pajak malah akan mengeruk luka ketimpangan—bukan menyembuhkannya. Uluran keadilan bagi rakyat kecil dan pemilik modal besar sama-sama harus tegas, sistemik, dan tidak pandang bulu. Hanya dengan begitu, resonansi pajak akan kembali terdengar sebagai suara bersama, bukan gema yang hanya didengar oleh yang kuat