Aneh tapi nyata Paradoks BUMN walau Modal Besar dan hak Monopoli Tapi Tetap Merugi
Fenomena Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia selalu menarik perhatian publik karena posisinya yang strategis sebagai penggerak ekonomi nasional. Namun di balik peran vitalnya, muncul fakta ironis: lebih dari setengah jumlah BUMN justru merugi meskipun memiliki modal besar dan hak monopoli di sektor-sektor penting. Data resmi menunjukkan bahwa sekitar 52% BUMN mengalami kerugian, sehingga negara kehilangan sekitar Rp50 triliun per tahun. Yang lebih mencengangkan, 97% dividen yang disetor kepada negara hanya berasal dari delapan perusahaan saja, dari total lebih dari seribu entitas. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang efisiensi, profesionalisme, dan arah kebijakan pengelolaan BUMN di Indonesia.
Pada dasarnya, BUMN didirikan untuk memenuhi dua fungsi utama: sebagai agen pembangunan dan sebagai entitas bisnis yang memberikan pemasukan bagi negara. Sebagai agen pembangunan, BUMN sering diberi mandat menjalankan proyek-proyek yang tidak selalu memberikan keuntungan jangka pendek, namun penting secara sosial dan strategis, seperti pemerataan infrastruktur atau distribusi barang publik. Di sinilah sering terjadi tabrakan antara misi sosial dan tujuan bisnis. Ketika tekanan politik lebih dominan dibanding urgensi efisiensi dan profesionalisme bisnis, perusahaan negara sering terjebak dalam proyek populis yang tidak menghasilkan keuntungan, bahkan menimbulkan kerugian tahunan.
Dari 1.046 perusahaan pelat merah yang tercatat, hanya sekitar delapan BUMN yang menyumbang hampir seluruh dividen kepada negara tiap tahunnya. Perusahaan-perusahaan seperti PT Pertamina, PT Bank Rakyat Indonesia, PT Telkom Indonesia, dan PT Bank Mandiri menjadi tulang punggung pendapatan BUMN. Sementara ratusan lainnya justru menjadi beban anggaran. Ini jelas memperlihatkan ketimpangan ekstrem dalam performa antar perusahaan negara. Padahal banyak dari BUMN tersebut beroperasi di sektor strategis dengan hak monopoli atau dukungan penuh dari negara, seperti logistik, pelabuhan, perkebunan, konstruksi, maupun manufaktur dasar. Dengan demikian, penyebab kerugiannya tidak bisa lagi semata-mata dikaitkan dengan faktor eksternal, namun lebih kepada kualitas manajemen internal, tata kelola, dan pengawasan.
Sejumlah kajian akademik menunjukkan bahwa akar masalah kinerja BUMN sering berkisar pada rendahnya good corporate governance, penempatan direksi berdasarkan kepentingan politik, serta tidak adanya mekanisme reward and punishment yang efektif. Laporan audit dari lembaga negara beberapa kali mengungkap temuan pemborosan anggaran, kesalahan investasi, hingga program-program yang dibuat tanpa studi kelayakan yang matang. Tak jarang, proyek dilakukan demi mengejar ‘citra baik’ institusi atau demi menyerap anggaran tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi. Hal ini diperparah oleh budaya birokratis yang masih kuat, di mana inovasi sering terhambat oleh struktur kaku dan hierarki administratif yang panjang.
Jika dilihat dari sisi anggaran, negara harus menutupi kerugian puluhan triliun rupiah per tahun dari perusahaan-perusahaan yang gagal tersebut. Dana ini seharusnya bisa dialokasikan ke sektor produktif lain seperti pendidikan, kesehatan, atau penelitian, namun habis digunakan untuk menutup postur kerugian perusahaan negara. Kontras dengan delapan BUMN besar yang menyumbang 97% dividen, mayoritas BUMN lain tidak hanya gagal menyetor dividen, tetapi bahkan terus diberi Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk bertahan. Data statistik selama bertahun-tahun menunjukkan pola yang berulang, di mana BUMN yang tidak efisien tetap dipertahankan, meskipun kontribusinya terhadap APBN sangat kecil.
Ada pula faktor eksternal yang turut mempengaruhi, seperti fluktuasi harga komoditas dunia, perubahan regulasi global, dan kompetisi dari sektor swasta yang lebih adaptif dan gesit. Namun, hal ini tidak cukup dijadikan pembenaran penuh mengingat BUMN seharusnya memiliki bantalan modal yang lebih kuat dan dukungan pemerintah di banyak lini. Semestinya BUMN dapat menjadi benchmark efisiensi dan inovasi karena memiliki akses sumber daya lebih besar dibanding perusahaan swasta nasional. Realitasnya, banyak BUMN malah tertinggal dalam hal teknologi, agility, dan orientasi jangka panjang.
Fakta bahwa hanya segelintir perusahaan yang menjadi penopang utama pendapatan negara melalui dividen adalah bukti adanya gap manajerial yang sangat lebar. Di satu sisi, kita memiliki perusahaan kelas dunia seperti Bank BRI yang konsisten mencetak laba tinggi meski melayani segmen mikro, teladan peran negara dalam meningkatkan inklusi keuangan. Namun di sisi lain, ada BUMN yang seharusnya kuat karena memegang hak eksklusif distribusi energi atau logistik, namun terus merugi karena pembengkakan beban operasional dan salah kelola. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa bukan bentuk kepemilikan negara yang menjadi masalah utama, melainkan bagaimana perusahaan itu dikelola dan dipertanggungjawabkan.
Dalam sebuah studi yang meneliti perbandingan kinerja BUMN di negara berkembang, salah satu variabel penentu kinerja adalah tingkat independensi manajemen dari intervensi politik. Negara dengan BUMN yang performanya baik umumnya menerapkan sistem pengangkatan direksi berdasarkan sertifikasi profesional dan indikator prestasi, bukan berdasarkan kedekatan atau timbal balik politik. Di Indonesia, reformasi tata kelola BUMN memang sudah dilakukan, namun masih terkendala oleh budaya lama yang sulit diubah. Komite audit dan dewan pengawas kerap hanya menjadi formalitas, sedangkan keputusan strategis tetap dikendalikan oleh pihak eksternal. Akibatnya, banyak investasi BUMN yang tidak memiliki horizon keuntungan jangka panjang.
Selain masalah tata kelola, tantangan lain adalah rendahnya adaptasi terhadap transformasi digital. Di era industri 4.0, banyak sektor yang menuntut efisiensi melalui otomatisasi, digitalisasi proses, dan integrasi data. Perusahaan swasta telah melompat cepat, sementara sebagian besar BUMN masih berkutat pada sistem manual dan kurangnya investasi teknologi. Padahal, banyak potensi efisiensi biaya yang bisa dicapai jika digitalisasi dijalankan serius, terutama di sektor logistik, manufaktur, dan jasa keuangan. Kelemahan adaptasi ini menyebabkan kapasitas layanan BUMN tidak optimal meskipun memiliki modal besar.
Fenomena 52% BUMN merugi seharusnya menjadi alarm keras bahwa restrukturisasi total perlu dilakukan. Bukan hanya restrukturisasi organisasi, namun perubahan paradigma tentang peran BUMN. Jika tetap ingin mempertahankan BUMN sebagai agen pembangunan sosial, maka target laba tidak bisa dijadikan ukuran utama, melainkan outcome sosial yang terukur, sehingga publik memahami bahwa kerugian memang bagian dari mandat sosial, bukan akibat salah kelola. Namun, untuk BUMN yang memang ditujukan sebagai profit engine negara, tidak ada alasan untuk mempertahankannya jika terus merugi. Privatisasi sebagian, merger, atau likuidasi harus menjadi opsi realistis dan berani, demi kebersihan fiskal dan profesionalisme ekonomi.
Penelitian lain yang relevan menunjukkan bahwa penataan ulang portofolio BUMN bisa meningkatkan efek pengganda ekonomi (multiplier effect) jika difokuskan pada sektor strategis yang produktif, bukan tersebar ke ratusan bidang yang tidak efisien. Negara-negara seperti Singapura dan China telah menyatukan BUMN-BUMN mereka di bawah holding yang kuat, dengan fokus wilayah bisnis yang jelas, sehingga lebih mudah dikontrol dan dievaluasi. Indonesia juga telah memulai sistem holding BUMN, seperti holding tambang atau pangan, namun implementasinya masih menghadapi resistensi struktural dan ego sektoral antar perusahaan.
Melihat kenyataan bahwa 97% dividen hanya berasal dari delapan perusahaan, maka jelas terjadi ketergantungan yang sangat tinggi pada segelintir BUMN unggulan. Ketergantungan ini menjadi risiko fiskal bila misalnya salah satu dari delapan perusahaan tersebut mengalami penurunan kinerja drastis akibat krisis global. Inilah kenapa reformasi menyeluruh tidak bisa ditunda. Jika pola lama terus dipertahankan, potensi kerugian negara tidak hanya berhenti pada Rp50 triliun per tahun, melainkan bisa membesar seiring kompleksitas ekonomi nasional.
Sebagai kesimpulan, kenyataan bahwa banyak BUMN merugi meskipun memiliki modal besar dan hak monopoli adalah cerminan problem struktural dalam tata kelola dan paradigma perusahaan negara di Indonesia. Kinerja positif yang hanya bergantung pada delapan BUMN tidak cukup untuk menopang harapan negara terhadap peran BUMN sebagai lokomotif ekonomi. Tanpa komitmen kuat untuk memperbaiki governance, mengurangi intervensi politik, menerapkan standar profesionalisme, dan membangun sistem evaluasi yang objektif, maka kerugian demi kerugian akan terus terjadi. Reformasi BUMN bukan hanya soal efisiensi keuangan, tapi juga soal masa depan fiskal negara dan kredibilitas pemerintah dalam mengelola aset publik. Paradoks ini harus diakhiri agar BUMN benar-benar menjadi kebanggaan nasional, bukan beban anggaran yang terselubung