Sebuah Ironi Kota-Kota Jawa Barat yang Semrawut
Di Jawa Barat, ironi berjalan kaki bersama macet, banjir, dan kabel semrawut yang menggantung di atas trotoar yang retak. Bandung, ibu kotanya, menjadi potret paling jelas: kota tempat berdirinya Institut Teknologi Bandung (ITB) – salah satu pusat keunggulan teknik sipil dan tata ruang kota terbaik Indonesia – justru menjadi contoh nyata bagaimana ilmu perencanaan tidak selalu terwujud dalam ruang nyata.
Paradoks Geografis: Pusat Ilmu di Tengah Kekacauan Tata Ruang
ITB telah melahirkan banyak ahli teknik sipil, arsitek, dan perencana kota kelas nasional, bahkan internasional. Mereka belajar prinsip penataan ruang berkelanjutan, transportasi publik yang efisien, drainase kota, pengendalian banjir, hingga pemanfaatan ruang hijau.
Namun saat mereka berjalan keluar kampus di Jalan Ganesha, mereka akan langsung berhadapan dengan realitas: parkir liar memakan badan jalan, drainase yang tersumbat sampah plastik, transportasi publik yang tak terintegrasi, dan pertumbuhan kawasan tanpa kontrol ketat. Sebuah ironi geografis di mana ilmu dan praktik berjalan pada dua jalur berbeda.
Faktor Politik dan Tata Kelola: Ilmu Tidak Berdiri Sendiri
Penataan kota bukan sekadar soal ilmu tata ruang. Ia terkait erat dengan good governance, konsistensi kebijakan, keberanian eksekusi, dan budaya birokrasi yang bersih.
Seringkali para perencana kota lulusan terbaik hanya menjadi konsultan, memberikan desain ideal yang akhirnya dikompromikan oleh kepentingan jangka pendek, politik elektoral, keterbatasan anggaran, serta budaya masyarakat yang belum peduli dengan ketertiban ruang publik. Banyak rekomendasi penataan jalan, kawasan, dan sistem drainase hanya berhenti di atas kertas atau maket, tidak pernah benar-benar diterapkan sesuai rancangan.
Pertumbuhan Kota yang Tidak Seimbang
Bandung dan kota-kota sekitarnya di Jawa Barat berkembang pesat, tetapi pertumbuhan ini sering terjadi tanpa kendali ketat. Urbanisasi yang tinggi, migrasi dari desa ke kota, serta perkembangan kawasan komersial dan residensial sering kali melampaui kapasitas infrastruktur.
Kota tumbuh melebar, tetapi tidak dengan struktur transportasi publik dan ruang terbuka hijau yang memadai. Alhasil, jalan sempit semakin sesak, banjir mudah terjadi, dan kualitas udara menurun drastis. Ini adalah konsekuensi dari ketidakselarasan antara perencanaan ruang dan realitas lapangan.
Budaya Masyarakat dan Kepemilikan Ruang
Penataan kota yang baik juga membutuhkan budaya masyarakat yang tertib dalam menggunakan ruang publik. Parkir sembarangan, buang sampah sembarangan, mendirikan bangunan di sempadan sungai, dan perilaku lain yang mengabaikan kepentingan ruang bersama adalah tantangan nyata di Jawa Barat.
Ironisnya, banyak masyarakat yang secara individu peduli kebersihan rumahnya, tetapi tidak memiliki kesadaran kolektif terhadap ruang publik. Hal ini memperparah kerapuhan sistem penataan kota yang sudah terbebani oleh lemahnya penegakan hukum.
Jalan Keluar: Ilmu Harus Berjalan Bersama Kebijakan dan Budaya
Keberadaan ITB dan lulusannya sebenarnya adalah aset luar biasa. Namun, untuk memecahkan ironi ini, diperlukan sinergi antara ilmu penataan kota, keberanian kebijakan, penegakan hukum yang tegas, serta transformasi budaya masyarakat.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
Membangun sistem transportasi publik yang terintegrasi dengan disinsentif penggunaan kendaraan pribadi.
Penegakan tegas aturan tata ruang dengan pengawasan konsisten.
Edukasi masyarakat tentang pentingnya ruang publik dan kepatuhan tata tertib.
Melibatkan kampus seperti ITB secara nyata dalam pengambilan kebijakan tata ruang daerah, bukan sekadar konsultasi formalitas.
Sebuah Ironi yang Bisa Diselesaikan
Kota-kota di Jawa Barat tidak harus selamanya semrawut. Keberadaan pusat keunggulan akademik seperti ITB adalah modal besar, tetapi modal ini harus diterjemahkan menjadi kebijakan yang konsisten dan tindakan nyata di lapangan. Ironi ini akan terus menjadi luka terbuka jika ilmu hanya berhenti sebagai teori dan karya tulis, bukan menjadi pola nyata dalam membentuk kota yang tertib, manusiawi, dan berkelanjutan