Revolusi Laut adalah Jalan Keluar dari Kemiskinan Nelayan Indonesia

Table of Contents


Di negeri yang 70 persen wilayahnya adalah laut, ironi terbesar justru lahir dari gelombang dan jaring yang tak pernah mampu mengangkat martabat orang-orang yang hidup dari ikan. Nelayan Indonesia hidup dalam bayang-bayang kemiskinan struktural yang telah diwariskan turun-temurun. Setiap hari mereka berlayar menghadapi ombak dan badai, bukan semata untuk menangkap ikan, tetapi untuk mempertahankan keberadaan. Sementara hasil tangkapan mereka dihargai murah, para tengkulak dan rantai distribusi yang panjang mengambil porsi terbesar dari kerja keras yang tak pernah tidur itu.

Kontras mencolok terlihat ketika kita menoleh ke negara-negara seperti Norwegia, Islandia, atau bahkan sebagian wilayah Alaska. Di sana, nelayan bukan simbol kemiskinan, melainkan profesi terhormat, dengan penghasilan tinggi, teknologi modern, dan perlindungan hukum yang kuat. Kapal-kapal nelayan mereka dilengkapi radar, sonar, pendingin beku industri, dan sistem distribusi efisien yang langsung menghubungkan laut dengan pasar dunia. Sementara itu, di pelabuhan-pelabuhan kecil Indonesia, nelayan masih mengandalkan es batu seadanya, perahu tanpa alat navigasi, dan harapan semu bahwa harga ikan hari ini tidak dipermainkan oleh tengkulak.

Di atas permukaan laut yang membentang luas dan sama-sama biru, perbedaan nasib para nelayan di berbagai negara begitu mencolok. Laut menyediakan ikan, tetapi cara manusia mengambilnya, mengolahnya, dan menjualnya menentukan apakah nelayan hidup sejahtera atau terus bergulat dengan kemiskinan. Ketimpangan ini nyata antara nelayan Indonesia dan mereka yang bekerja di negara-negara maju seperti Alaska (AS), Jepang, dan Norwegia.

Nelayan Alaska, contohnya, adalah bagian dari industri perikanan yang sangat terorganisir, berteknologi tinggi, dan dilindungi sistem kuota serta sertifikasi lestari. Kapal-kapal penangkap ikan cod seperti Northern Leader bukan lagi perahu kecil yang melaut dengan jaring sederhana, melainkan kapal seharga lebih dari Rp1,4 triliun, dilengkapi dengan radar, sonar, mesin pemroses ikan otomatis, sistem pendingin, dan kru terlatih. Seorang awak kapal ini dapat memperoleh pendapatan sekitar Rp700 juta hingga Rp1,5 miliar per musim, tergantung musim tangkap dan posisi kerja. Bahkan profesi nelayan di sana tergolong kelas menengah, tidak lagi identik dengan kemiskinan.

Di Jepang dan Norwegia, situasinya serupa. Pemerintah sangat aktif dalam memberikan subsidi, riset laut, sistem pelatihan, perlindungan harga jual, serta menjaga keberlanjutan stok ikan. Jepang terkenal dengan sistem pelelangan ikan yang sangat efisien dan menjamin harga tinggi untuk kualitas unggul. Seorang nelayan Jepang bisa membawa pulang Rp30 juta hingga Rp100 juta per bulan, tergantung musim dan lokasi. Di Norwegia, nelayan mendapat dukungan asuransi, akses pasar ekspor, dan peralatan modern untuk memaksimalkan hasil dengan tetap menjaga ekosistem laut. Pendapatan nelayan Norwegia rata-rata bisa mencapai Rp800 juta per tahun atau lebih.

Bandingkan dengan nelayan Indonesia, yang sebagian besar masih menggunakan jaring sederhana, perahu tanpa GPS, tanpa pendingin, dan tanpa sistem distribusi hasil tangkap yang efisien. Banyak dari mereka harus menjual ikan ke tengkulak dengan harga murah karena tidak memiliki akses langsung ke pasar. Rata-rata pendapatan nelayan tradisional di Indonesia hanya sekitar Rp1 juta hingga Rp3 juta per bulan, bahkan di beberapa wilayah pesisir timur bisa lebih rendah. Seringkali mereka melaut selama berhari-hari hanya untuk memperoleh hasil yang tak sepadan dengan risiko yang dihadapi—termasuk cuaca buruk, konflik wilayah tangkap, hingga perampasan oleh kapal asing ilegal.

Ketimpangan ini bukan semata karena keberuntungan geografis, tetapi akumulasi dari kebijakan, perhatian negara, dan investasi teknologi. Negara-negara maju menempatkan sektor perikanan sebagai bagian dari strategi nasional dan ekonomi maritim yang terukur. Di Indonesia, walaupun laut luas dan sumber daya melimpah, nelayan masih dibiarkan bergulat sendiri, sering kali tanpa pelatihan, infrastruktur pelabuhan yang layak, atau kebijakan perlindungan harga.

Ironinya semakin pahit ketika kita menyadari bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan kekayaan laut nomor dua terbesar secara global. Namun, nelayan Indonesia menjadi simbol kemiskinan, bukan kemakmuran. Negara lain memanen laut dengan pengetahuan, alat, dan kebijakan. Kita memanen laut dengan keberanian dan harapan—sering kali dengan tangan kosong.

Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompetitif, selisih antara kemiskinan dan kemakmuran bukan lagi soal sumber daya, tetapi soal cara memanfaatkannya. Jika Indonesia ingin mengubah nasib nelayannya, maka reformasi besar-besaran harus dilakukan—mulai dari pendidikan, teknologi, distribusi, hingga proteksi pasar. Laut sudah memberi, tinggal negara yang harus hadir.

Ya, menyedihkan — dan sekaligus memalukan.

Di negeri yang lautnya dijuluki "surga dunia", nelayannya malah hidup seperti buruh tak berdaya di tanah sendiri. Mereka berangkat sebelum fajar, pulang saat senja, menantang maut di lautan, hanya untuk membawa pulang penghasilan yang bahkan tak cukup membeli solar untuk esok hari. Anak-anak mereka tumbuh dalam siklus yang sama: sekolah seadanya, lalu ikut melaut, mewarisi keletihan yang tak pernah lunas.

Yang lebih memilukan, ini semua bukan karena mereka bodoh, malas, atau kurang usaha. Tapi karena sistem yang membiarkan mereka ditindas pelan-pelan: oleh pasar yang curang, oleh infrastruktur yang abai, oleh birokrasi yang tak pernah benar-benar peduli. Sementara dunia lain sudah membangun nelayan sebagai pengusaha laut, kita masih memperlakukan mereka sebagai sisa-sisa ekonomi pedesaan yang dilupakan.

Tapi justru di situlah harapan seharusnya tumbuh — karena jika ada kemiskinan yang lahir dari sistem, maka ada pula peluang untuk memperbaikinya.

Akar masalahnya bukan hanya pada kurangnya modal atau peralatan, melainkan sistem yang cacat. Nelayan kita tidak mendapatkan akses perbankan yang memadai, tidak memiliki koperasi yang kuat, dan tidak mendapatkan pelatihan bisnis maupun teknologi maritim. Mereka tidak punya kekuatan tawar karena sendirian menghadapi pasar yang dikuasai para perantara. Pemerintah pun seringkali hadir hanya sebagai penonton, memberi bantuan musiman yang tidak menyentuh akar persoalan. Infrastruktur cold chain yang buruk menyebabkan ikan cepat rusak, sehingga tidak layak ekspor, padahal perairan Indonesia sangat kaya dan dihuni ikan-ikan bernilai tinggi.

Untuk membalik keadaan ini, diperlukan revolusi maritim yang bukan sekadar slogan. Kita harus mulai dari pemberdayaan nelayan melalui koperasi modern yang mampu memiliki kapal bersama, sistem pembekuan, dan akses pasar langsung. Pemerintah harus mengubah pola bantuan dari sekadar hibah ke investasi berjangka panjang, disertai pelatihan manajemen hasil laut dan teknologi penangkapan berkelanjutan. Perbankan harus membuka jalur kredit mikro maritim yang terukur dan rendah risiko. Kita juga perlu membangun platform digital yang menghubungkan hasil tangkapan nelayan dengan pasar lokal dan internasional tanpa perantara yang menekan harga.

Nelayan Indonesia harus berhenti menjadi korban laut yang mereka kuasai. Mereka harus menjadi penguasa ekonomi maritim, bukan hanya penonton dalam negeri kepulauan yang mereka pelihara dengan peluh dan darah. Bila laut adalah anugerah, maka tugas negara adalah menjadikannya sumber kemakmuran yang adil, bukan sekadar sumber statistik ekspor. Jika revolusi agraria adalah impian petani, maka revolusi laut adalah hak nelayan — dan waktunya adalah sekarang.