Rendahnya Kualitas Konten konten Vidio kita Cermin Krisis SDM Kreatif di Era Digital

Table of Contents

 

Di tengah ledakan digital yang merambah ke segala sudut kehidupan, platform seperti YouTube, TikTok, dan Facebook Reels telah menjadi panggung baru bagi narasi publik, ruang unjuk kreativitas, serta wahana edukasi yang seharusnya dapat mengangkat taraf berpikir masyarakat. Namun, ketika kita menelusuri lautan konten yang diproduksi oleh para kreator asal Indonesia, yang kita temui justru adalah dominasi konten yang remeh, miskin makna, dan acapkali menjajakan konflik, sensasi semu, serta plagiarisme yang terang-terangan. Di saat negara-negara Asia lainnya seperti Vietnam, Tiongkok, dan Thailand berlomba menampilkan konten edukatif berkualitas tinggi dengan pengemasan estetis dan substansi kuat, Indonesia justru tenggelam dalam arus konten banal yang miskin gagasan dan menegaskan krisis kualitas sumber daya manusianya.

Masalah ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia adalah cerminan sistemik dari krisis pembangunan manusia yang belum tuntas. Rendahnya kualitas konten tidak lain adalah gejala permukaan dari problematika yang lebih dalam—yakni keterbatasan kapasitas intelektual, lemahnya daya literasi, minimnya pelatihan kreatif, dan absennya budaya berpikir kritis di kalangan masyarakat luas. Banyak konten yang lahir bukan dari niat menyampaikan ide, tetapi sekadar meniru tren, mengejar viralitas, dan memanen klik tanpa memperhitungkan nilai atau dampaknya. Narasi-narasi dangkal yang meniru template yang sudah ada tersebar masif karena mudah, murah, dan langsung memberi imbalan perhatian, meski hanya sesaat.

Sementara itu, negara seperti Tiongkok telah sejak lama memadukan kebijakan negara dengan peningkatan kualitas SDM digital. Mereka membangun ekosistem kreator dengan standar teknis tinggi, dukungan pelatihan, dan pembinaan konten sejak usia dini. Vietnam, yang dulu dipandang setara atau bahkan lebih tertinggal dibanding Indonesia, dalam dua dekade terakhir sukses menanamkan budaya literasi digital dan pendidikan teknologi kepada anak muda. Hasilnya, lahirlah konten-konten lokal yang tidak hanya membanggakan secara estetika, tetapi juga menyentuh ranah edukatif, budaya, dan bahkan sains populer. Thailand pun serupa, dengan konten yang menampilkan narasi budaya, kuliner, pendidikan bahasa, serta seni visual yang dipoles dengan pendekatan sinematik dan storytelling kelas tinggi. Di balik layar mereka, berdiri sumber daya manusia yang memahami pentingnya struktur naratif, nilai orisinalitas, dan tanggung jawab moral sebagai penyampai pesan di ruang digital.

Berbeda dengan itu, Indonesia terjebak dalam jebakan populisme digital yang dangkal. Sistem pendidikan yang terlalu menekankan hafalan dan ujian standar menghambat berkembangnya nalar kritis dan eksplorasi kreatif. Lingkungan sosial tidak cukup memberi ruang bagi eksperimen dan pencarian jati diri intelektual. Anak-anak muda yang seharusnya menjadi pionir konten bermutu justru terbentuk dalam budaya meniru, memburu angka followers, dan mencari perhatian lewat konten konflik, prank murahan, atau sensualitas kosong. Ditambah minimnya akses pelatihan kreatif formal, absennya kurikulum media literasi di sekolah, dan ketiadaan insentif bagi produksi konten bermutu membuat kondisi ini kian memburuk.

Namun, menyalahkan individu kreator semata adalah bentuk simplifikasi yang keliru. Ini adalah hasil dari akumulasi ketidaksiapan struktural. Pemerintah tidak cukup progresif dalam membangun ekosistem digital yang sehat. Platform media sosial belum mendorong kurasi algoritma berbasis kualitas, sementara institusi pendidikan masih tertinggal jauh dari kebutuhan era digital. Bahkan keluarga dan masyarakat tidak membangun kebiasaan apresiasi terhadap konten yang bernilai edukatif. Ketika tidak ada ekosistem yang mendukung dan menghargai kualitas, maka yang tumbuh justru adalah konten dengan mekanisme instan yang memperkaya pemilik platform tetapi memiskinkan intelektualitas masyarakat.

Solusinya tidak bisa setengah hati. Pendidikan harus dirombak dari dasar. Literasi digital, etika bermedia, berpikir kritis, dan apresiasi seni harus ditanamkan sejak usia dini, bukan hanya di kota besar, tapi juga sampai ke pelosok desa. Program pelatihan kreator konten perlu dibangun oleh pemerintah maupun sektor swasta, tidak hanya dalam teknis produksi tetapi juga dalam aspek naratif, orisinalitas, dan tanggung jawab sosial. Institusi kebudayaan dan pendidikan tinggi harus menjadi mitra aktif dalam membangun generasi kreator baru yang tidak hanya bisa membuat konten menarik, tetapi juga bermakna. Algoritma platform pun harus mulai diarahkan untuk mendukung konten berbasis nilai, bukan hanya berdasarkan engagement semu.

Di masa depan, hanya bangsa yang mampu mengolah narasi digitalnya dengan cerdas dan beradab yang akan dihormati dalam peta peradaban global. Jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang dihargai bukan hanya karena jumlah penggunanya, tetapi juga karena kontribusi intelektualnya di dunia maya, maka peningkatan kualitas SDM adalah prasyarat mutlak. Karena pada akhirnya, wajah sebuah bangsa di dunia digital adalah bayangan paling jujur dari kualitas manusianya di dunia nyata.