Belajar dari Universe 25
Di sebuah laboratorium senyap, John B. Calhoun membangun Universe 25, dunia buatan bagi tikus dengan makanan dan air tak terbatas, suhu terjaga, dan tanpa predator, dengan satu batasan: ruang yang terbatas namun belum penuh. Eksperimen ini bertujuan menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi pada populasi yang terus tumbuh dalam keterbatasan ruang meski kelimpahan materi tersedia. Pada awalnya, populasi berkembang pesat, tikus membangun sarang, berkembang biak, dan membentuk interaksi sosial wajar. Namun saat populasi mendekati kepadatan tertentu, pola perilaku mulai berubah. Tikus jantan menarik diri dari fungsi sosial, menjadi “Beautiful Ones” yang hanya makan, tidur, dan membersihkan diri tanpa minat reproduksi maupun mempertahankan wilayah. Tikus betina menjadi agresif, menyerang atau menelantarkan anak-anak mereka. Kekerasan acak dan kanibalisme muncul, bukan karena kelaparan, melainkan akibat stres sosial dan kehilangan struktur hierarki alami. Populasi pun berhenti berkembang, kelahiran menurun menjadi nol, dan pada akhirnya, koloni punah dalam sunyi meski makanan tetap tersedia berlimpah. Fenomena ini dikenal sebagai behavioral sink, sebuah kematian kolektif dalam kerumunan akibat keruntuhan perilaku sosial yang menopang kelangsungan hidup.
Jika kita menoleh ke Pulau Jawa hari ini, dengan populasi sekitar 150 juta jiwa dalam luas wilayah yang hanya sekitar 6% dari keseluruhan Indonesia, kepadatan yang tinggi bukan lagi sekadar angka statistik melainkan realitas sehari-hari. Jalanan yang macet, pemukiman yang berhimpitan, sekolah-sekolah yang sesak, dan ruang publik yang sempit menjadi lanskap umum yang membentuk psikologi dan perilaku warganya. Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah apakah kepadatan penduduk dapat berujung pada penurunan kualitas sumber daya manusia seperti yang terjadi pada tikus di Universe 25, ataukah manusia memiliki kapasitas sosial dan intelektual untuk mengelola kepadatan menjadi kekuatan kolektif.
Fenomena di Jawa menunjukkan tanda-tanda bahwa kepadatan berpotensi mempengaruhi kualitas SDM jika tidak dikelola dengan baik. Anak-anak yang belajar di ruang kelas penuh dengan rasio guru-murid tinggi mungkin tidak mendapatkan perhatian personal yang cukup untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Ruang terbatas seringkali membuat anak-anak kekurangan tempat bermain yang aman, menggantikan interaksi fisik dengan gawai dan media sosial sebagai pelarian. Polusi udara dan suara menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, yang diam-diam mengikis kesehatan fisik dan mental. Ketika tekanan ekonomi semakin besar, keluarga berpenghasilan rendah berjuang untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak mereka, yang berdampak pada perkembangan kognitif dan emosi mereka. Kondisi semacam ini, bila tidak segera diatasi, berpotensi menimbulkan generasi dengan keterbatasan daya saing, menurunnya literasi emosional, dan lemahnya kreativitas yang menjadi inti daya saing suatu bangsa.
Namun tidak semua kepadatan populasi membawa dampak destruktif. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan menunjukkan bahwa kepadatan tinggi dapat dikelola dengan sistem pendidikan berkualitas, transportasi publik efisien, ruang publik yang terjaga, serta budaya disiplin dan literasi yang kuat. Faktor penentu bukan pada kepadatan semata, melainkan pada bagaimana sebuah masyarakat mengelola kepadatan tersebut melalui kebijakan publik yang visioner, tata ruang kota yang manusiawi, dan pemerataan akses pendidikan dan kesehatan. Kualitas SDM tidak akan jatuh hanya karena jumlah orang banyak dalam satu ruang, melainkan ketika manusia kehilangan kemampuan mengelola interaksi sosial dengan sehat, kehilangan ruang pribadi, dan hidup dalam ketidakpastian ekonomi yang menimbulkan stres kolektif.
Analoginya dengan Universe 25 tetap relevan sebagai pengingat bahwa tekanan populasi tinggi dapat menjadi pemicu disintegrasi perilaku sosial bila tata kelola masyarakat gagal menyediakan ruang hidup yang layak dan kesempatan berkembang yang merata. Jika masyarakat dibiarkan hidup dalam keterbatasan ruang yang penuh tekanan, dengan akses pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi yang timpang, maka potensi degradasi SDM sangat mungkin terjadi. Fenomena kekerasan, frustasi sosial, keterasingan di tengah keramaian, serta menurunnya keinginan berinovasi bisa muncul bukan semata karena faktor internal individu, melainkan karena ruang hidup yang tidak manusiawi.
Namun, berbeda dengan tikus, manusia memiliki kesadaran, nilai, dan kreativitas untuk mengatasi tekanan tersebut. Dengan penataan ruang yang lebih baik, pembangunan transportasi publik yang efisien, penyediaan ruang hijau, sistem pendidikan berkualitas dengan akses merata, serta dukungan kesehatan mental yang memadai, kepadatan dapat menjadi energi kolektif untuk produktivitas dan inovasi. Pulau Jawa dengan kepadatan penduduknya memiliki potensi menjadi pusat inovasi dan peradaban jika tekanan populasi diubah menjadi peluang dengan tata kelola yang bijak.
Dalam refleksi ini, Universe 25 menjadi cermin yang memberi kita peringatan bahwa ruang terbatas dengan kepadatan tinggi membawa risiko sosial yang nyata, namun kita tidak perlu mengikuti jejak kehancuran tikus-tikus tersebut. Justru, ini menjadi panggilan untuk bertindak dengan kebijakan strategis, pembangunan manusia yang berfokus pada kualitas, serta penataan ruang yang manusiawi agar kepadatan populasi di Jawa tidak menjadi lubang got perilaku, melainkan menjadi laboratorium sosial yang memancarkan energi kehidupan yang penuh potensi.