Apakah Bahasa Pemrograman Lebih Relevan untuk Diajarkan Terlebih Dahulu?

Table of Contents

 


Seiring berkembangnya teknologi, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) semakin banyak diperbincangkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan. Banyak negara, termasuk Indonesia, mulai mengevaluasi kemungkinan mengintegrasikan AI dalam pembelajaran sekolah menengah bahkan dasar. Namun, pertanyaannya adalah: apakah tepat mengajarkan AI langsung kepada siswa, tanpa terlebih dahulu membekali mereka dengan dasar yang lebih fundamental—yakni bahasa pemrograman?

AI: Buah dari Bahasa Pemrograman

AI bukanlah entitas mandiri yang tumbuh tanpa akar. Sebaliknya, AI adalah buah dari pohon besar bernama ilmu komputer, dan batang utamanya adalah bahasa pemrograman. Model seperti ChatGPT, sistem pengenal wajah, hingga mobil otonom, semuanya dibangun melalui barisan kode, algoritma, dan logika matematika yang kompleks.

Menurut studi oleh Zawacki-Richter et al. (2019) yang menganalisis 146 artikel ilmiah tentang AI dalam pendidikan, ditemukan bahwa mayoritas penerapan AI dalam pendidikan masih sangat tergantung pada keterampilan teknis, khususnya penguasaan bahasa pemrograman dan logika algoritmik. Tanpa pemahaman ini, siswa cenderung hanya menjadi pengguna pasif teknologi AI, bukan pencipta atau pengembangnya.

Bahasa Pemrograman: Pondasi untuk Memahami AI

Mempelajari AI tanpa pemrograman ibarat mempelajari fisika kuantum tanpa memahami matematika dasar. AI tidak hanya soal "menggunakan alat pintar", tetapi tentang bagaimana algoritma bekerja, bagaimana sistem belajar dari data, serta bagaimana logika dan struktur kode memengaruhi output yang dihasilkan.

Menurut kurikulum dari MIT dan Stanford, dua institusi terkemuka dalam pengembangan AI, pembelajaran AI di tingkat universitas selalu dimulai dengan penguasaan bahasa pemrograman, khususnya Python, serta konsep dasar seperti data structures, control flow, dan machine learning algorithms. Hal ini menunjukkan bahwa pemrograman bukan sekadar alat bantu, tetapi merupakan fondasi utama.

Tantangan di Pendidikan Dasar dan Menengah

Mengajarkan AI langsung kepada siswa tanpa pengantar yang memadai akan membuat pembelajaran bersifat dangkal. Dalam praktiknya, siswa mungkin hanya diajak mencoba aplikasi AI seperti ChatGPT atau Scratch dengan fitur AI, tanpa mengerti apa yang terjadi di balik layar. Ini bisa menciptakan ilusi pemahaman—siswa merasa “mengerti AI”, padahal mereka hanya berinteraksi dengan antarmuka pengguna.

Penelitian dari Tuomi (2018) menekankan bahwa agar siswa tidak hanya menjadi konsumen teknologi, pendidikan harus membekali mereka dengan computational thinking, logika pemrograman, dan pemahaman sistemik. AI baru bisa benar-benar dimengerti dan dikembangkan setelah siswa menguasai keterampilan dasar tersebut.

Pendekatan Kurikulum yang Direkomendasikan

Alih-alih langsung mengajarkan AI, pendekatan yang lebih efektif adalah sebagai berikut:

Tahap 1 – Computational Thinking dan Logika DasarDimulai sejak SD dan SMP: mengenalkan pola pikir logis, algoritma sederhana, dan penyelesaian masalah sistematis.

Tahap 2 – Bahasa Pemrograman DasarDi tingkat SMP/SMA: memperkenalkan bahasa seperti Python, konsep variabel, perulangan, fungsi, dan struktur data.

Tahap 3 – Aplikasi AI SederhanaSetelah dasar kuat: siswa mulai dikenalkan pada machine learning sederhana, proyek AI dengan dataset kecil, dan pemodelan.

Kesimpulan

AI memang penting, tetapi ia adalah hasil, bukan pondasi. Mempelajari AI tanpa menguasai bahasa pemrograman seperti mencoba menulis novel dalam bahasa asing tanpa tahu abjadnya. Oleh karena itu, sebelum memasukkan AI dalam kurikulum sekolah secara luas, pendekatan yang lebih bijak dan efektif adalah membekali siswa dengan kemampuan berpikir komputasional dan bahasa pemrograman terlebih dahulu. Dengan demikian, siswa tidak hanya memahami AI secara permukaan, tetapi mampu menjadi inovator yang memahami, membentuk, dan mengembangkan teknologi AI masa depan.